Selasa, 09 Juni 2015

Red Lie - Chapter 5


Trisia mendesah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah jendela kaca yang membingkai langit gelap dengan tetesan air langit yang turun dengan deras. Ini sudah jam sebelas malam, tetapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah sejak jam tujuh malam hujan terus mengguyur, merubah udara sekitar menjadi lebih dingin dari biasanya.
Seragam kerjanya yang berwarna pelangi bahkan tak cukup mampu mengusir dingin yang menyentuh kulitnya.
"Minumlah." Seseorang menyodorkan secangkir coklat panas yang aromanya begitu manis. Trisia membuyarkan lamunan kosongnya, memandang sesosok lelaki baik hati yang memberinya kehangatan di antara dinginnya malam.
"Thank you, Ryan." Ujar Trisia sembari menerima secangkir coklat dari teman kerjanya itu.
Trisia tak akan besar kepala menerima perhatian itu, Ryan baik pada semua orang. Wajahnya tampan dengan hidungnya yang mancung, alis yang tebal dan mata yang tajam. Posturnya yang menjulang di atas Trisia membuatnya tampak gagah. Namun gambaran tersebut akan menghilang setelah ia membuka suara. Cara bicaranya yang begitu feminin kadang kala membuat beberapa gadis mengurungkan niat mereka untuk menyukai Ryan.
Suara berisik di pintu mengalihkan perhatian Trisia yang tengah menyesap coklat panasnya. Seorang lelaki yang mengenakan kemeja biru tua memasuki cafe dengan rambut basah. Trisia mengernyit memerhatikan sosok tersebut. Sepertinya ia pernah melihatnya, tapi entah dimana. Trisia mencoba mengingatnya kembali, namun memori di kepalanya seolah sudah terlalu penuh.
"Tris, cappucino satu." Gadis berambut lurus sebahu yang juga mengenakan seragam serupa dengan Trisia tiba-tiba berdiri di hadapan Trisia dan membuyarkan lamunan singkatnya. Trisia mengernyitkan dahinya sebagai pertanda agar gadis itu mengulangi pesanannya.
"Cappucino satu." Ia mengulangi. Ibu jarinya mengarah ke balik bahunya, mengisyaratkan agar Trisia melihat pemandangan di belakang gadis itu.
Meja dua belas.
Meja yang ditempati oleh seorang lelaki dengan rambut yang nyaris botak yang sudah duduk sejak satu jam yang lalu dan tepat di hadapannya, duduk lelaki itu.
Lelaki yang sempat menyita perhatian Trisia beberapa saat yang lalu.
Mata Trisia sempat bertatapan langsung dengan lelaki itu, namun dengan cepat Trisia menghindar.
"Ganteng." Bisik gadis itu dengan tawa genit yang biasa dilontarkannya saat menemukan pelanggan yang berparas tampan.
"Yang botak?" Goda Trisia sambil tersenyum geli melihat tingkah rekannya itu.
Gadis itu menggeleng kuat-kuat. "Tentu saja yang memakai kemeja biru. Kau ini seperti tak paham seleraku."
"Sudah, cepat antarkan ini. Sebentar lagi ganti shift. Aku mau pulang." Ujar Trisia sambil meletakkan secangkir cappucino di atas nampan yang dibawa gadis itu.
Trisia meletakkan celemeknya, mengganti pakaian kerjanya dan bersiap untuk meninggalkan pekerjaannya. Namun sesuatu masih mengganjal pikirannya.
Sejak kejadian di club semalam, ia masih marah atas perlakuan Tomi. Terlebih ketika ia menatap pergelangan tangan kanannya yang masih berbekas sundutan rokok milik Tomi. Trisia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kaca Rainbow Café yang mulai sepi pengunjung di tengah hujan deras malam ini.
Ia menghela nafasnya dalam-dalam, melangkah ragu keluar dari tempat kerjanya.
Trisia menengadahkan kepalanya, menatap langit yang seolah tengah bersedih, air mata langit tak berhenti mengalir, justru semakin deras. Bahkan payung yang dipinjam Trisia dari sang pemilik cafe pun tampaknya tak akan mampu melindungi tubuhnya.
Trisia memilih untuk menunggu hujan sedikit reda dan duduk di salah satu kursi pengunjung yang memang sengaja diletakkan di teras café.
Ia menyangga dagu dengan tangan kirinya. Memandang beberapa luka di pergelangan tangan kanannya. Memori dalam kepala Trisia berputar seperti video yang direkam oleh ingatan Trisia.
"Kau pikir siapa kau berani menamparku di depan umum seperti itu?" Tomi membentak Trisia yang meringkuk ketakutan di atas karpet berwarna merah. Ia memeluk kedua kakinya, menyembunyikan wajahnya di antara lututnya.
"Tapi itu juga salahmu." Trisia bergumam pelan tanpa memandang wajah Tomi.
"Apa kau bilang? Katakan dengan keras!" Tomi kembali meneriaki Trisia. Namun gadis itu bergeming. 
"Kau berani membantahku Tris, kau harus diberi pelajaraan!"
Malam itu bagaikan neraka untuk Trisia. Sebuah cendera mata disematkan pada pergelangan tangan Trisia sebagai bentuk penghargaan atas kelancangannya menampar Tomi di hadapan umum. Kemudian satu lagi untuk lelaki yang mencoba melindunginya.
"Kau perempuan tidak berguna. Kau selalu menyusahkanku."
Sepenggal kalimat yang cukup menyakitkan mengakhiri penyiksaan malam itu. Kalimat yang cukup mencabik-cabik hati Trisia.
Suara isak Trisia mengalun perlahan ditemani hujan yang tampak sedikit mereda. Isak gadis patah hati yang terdengar menyedihkan. Trisia termenung menatap air yang menggenang di pelataran. Helaan napas panjang kembali terdengar di sela isak tangisnya. Merasa sesak oleh beban yang dipikulnya.
Trisia mengusap air mata yang berjatuhan membasahi pipinya, "Sudahlah Tris." Gumam Trisia pada dirinya sendiri.
Ia berdiri, kemudian membuka payungnya untuk segera menerobos butiran-butiran air langit yang kunjung habis.
***
Ia terus memperhatikan gadis itu. Gadis yang berdiri di balik meja pemesanan yang sempat bertatapan mata dengannya. Mata hijaunya yang cantik dan rambut ikalnya yang dikuncir ekor kuda, mengingatkannya pada gadis semalam.
Tentu saja tidaklah sulit menemukan seseorang bermata hijau di antara pribumi.
Waitress datang membawa menu pesanan lelaki itu. Cappucino panas dengan aromanya yang harum, membuat tubuh hangat ditengah suasana yang dingin.
Leo menyesap cappucinonya, kemudian menatap sahabatnya di hadapannya serius, "Jadi kau masih akan menggantungkan nasibmu pada keajaiban?"
"Entahlah, aku jadi merasa bersalah pada Tuhan. Tuhan selalu memberiku keajaiban dan aku tak pernah membalasnya dengan berdoa padaNya." Lelaki itu menjawab. "Tapi untuk urusan gadis," Dia menegaskan kata gadis dalam kalimatnya. "Aku benar-benar harus mengandalkan keajaiban." Ia terkekeh mendengar kalimatnya sendiri.
"Kenapa? Adam, kau ini laki-laki. Kau bisa mendapatkan perempuan mana saja. Selama kau punya ini," Leo menggesekkan ibu jari dengan telunjuknya untuk mengisyaratkan uang, "Perempuan mana saja pasti mau."
"Seperti Anastasia, misalnya?" Tukas lelaki yang dipanggil Adam itu.
Pertanyaan itu membuat Leo membeku. Hening.
Adam tersenyum geli melihat perubahan wajah Leo, "Kenapa? Apa aku salah bicara?"
Sial, kenapa harus nama itu lagi! Gumam Leo dalam hati, lalu menggelengkan kepala dan melepas helaan napas panjang. "Tidak. Kau memang benar. Tapi perempuan itu memang benar-benar brengsek. Bagaimana dia bisa menipuku mentah-mentah seperti itu. Sialan!"
"Itu karena kau menggunakan ini, " Sindir Adam memberikan isyarat uang dengan jemarinya. "Setelah itu mendadak kau menjadi bodoh dan tenggelam dalam cinta bodohmu itu. Sudahlah, kau tak perlu mengguruiku. Seperti kau sudah hebat saja dalam percintaan." Adam menertawakan sahabatnya yang tertipu ratusan juta oleh gadis yang baru saja meninggalkannya beberapa hari yang lalu itu.
Wajah murung Leo mendadak berubah ceria kembali, "Lihat," Leo menebarkan pandangan pada seluruh penjuru cafe. "Disini banyak perempuan cantik, Adam. Kau bisa memilih salah satu diantara mereka untuk kau bawa ke pesta kantor minggu depan."
"Memangnya kau sudah menemukan pasangan?" Tanya Adam menyelidik yang disambut dengan gelengan kepala Leo membuatnya terkikik geli.
Adam memutar kepalanya, melempar pandangan matanya ke penjuru café. Pengunjung di cafe yang memang berparas cantik itu kebanyakan berpasangan. Kemudian Adam memerhatikan gadis-gadis berseragam pelangi yang tersebar di penjuru ruangan. Waitress di cafe ini tak bisa disepelekan kecantikannya. Keseluruhan pegawai di cafe ini begitu memesona. Kemudian pandangan mata Adam berhenti pada seorang gadis.
"Bagaimana dengan yang itu?" Adam menunjuk seorang gadis yang tengah melepas celemek warna warni yang senada dengan pakaiannya.
"Tidak!" Sergah Leo tiba-tiba.
Adam mengernyitkan dahi menatap sahabatnya yang tiba-tiba.

"Kenapa?"
"Dia milikku. Aku yang akan pergi bersamanya ke pesta itu minggu depan." Leo menaikkan alisnya dan tersenyum jahil pada Adam.
Tak lama kemudian gadis itu telah merubah pakaiannya, berpamitan dan menebar senyum pada rekan-rekannya lalu melangkah keluar café.
Apa yang akan dilakukannya? batin Leo. Hujan masih turun dengan derasnya. Gadis itu menarik sebuah kursi yang ada di teras, duduk termenung melamunkan sesuatu.
"Hei," Adam menggoyang-goyangkan kelima jarinya tepat di depan wajah Leo yang pandangannya menerawang jauh. "Kau ini lihat apa?" Tangan Adam yang semakin mendekat seolah hendak mencengkeram wajah Leo, membuat Leo tersentak.
"Apa-apaan kau ini?" Gerutu Leo menepis tangan Adam. Semburat kemerahan di wajah Leo membuat Adam terkikik geli.
"Kau ini seperti gadis abg saja. Memalukan."
"Apanya yang seperti gadis abg?" Leo buru-buru menyesap minumannya untuk menetralkan kembali suasana hatinya.
" Itu," Adam menunjuk seorang gadis yang duduk sendirian di teras café, "dan itu." Adam beralih menunjuk wajah Leo yang seperti pencuri tertangkap basah.
Adam kembali melirik gadis itu. Gadis itu membuka payung lipatnya, sepertinya ia mulai bersiap untuk menerobos hujan.
"Kita taruhan seratus ribu. Dia akan menolakmu untuk mengantarnya atau tidak."
"Jangan bercanda. Tentu saja dia tak akan menolak seorang Leo." Leo membanggakan diri.
Kemudian Leo beranjak dari tempat duduknya dan segera menyusul gadis itu. Tepat setelah gadis itu turun di anak tangga pertama menuju pelataran, Leo menarik tangan gadis itu hingga membuat gadis itu terkesiap.
"Ijinkan aku mengantarmu."
Gadis itu menatap Leo bingung. Apakah dia salah orang? Batin gadis itu.
"Aku?" Ia menunjuk dirinya sendiri untuk meyakinkan.
"Hari sedang hujan. Apakah kau dijemput pacarmu? atau kau membawa kendaraan pribadi?"
"Tidak, aku jalan kaki. Disini dekat dengan tempat tinggalku, terima kasih."
"Kalau begitu aku akan mengantarmu. Hujannya masih lebat. Dan lagi, ini sudah larut." Leo memaksa.
"Maafkan aku, tapi aku bisa pulang sendiri," Ujar gadis itu mencoba melepas genggaman tangan Leo.
"Ayo, aku akan mengantarmu."
"Tidak. Dan lagi, kau orang asing bagiku. Aku tidak boleh sembarangan. Permisi."
Leo bagaikan tertampar mendengar perkataan gadis itu. Ia ditolak oleh seorang gadis? Padahal ia tak pernah mendapatkan penolakan sebelumnya -tentu saja penipuan bukan termasuk bagian penolakan. Leo menghela napasnya, tersenyum getir memandang punggung gadis yang semakin menjauh.
Aku harus bisa mendapatkannya.
Bersambung

3 komentar:

  1. Kurang panjang dde... :|
    ayo, Leo harus bisa mendapatkan Trisia. semangat \(^o^)/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kalo Leo sama Adam??? :v

      Hapus
    2. jadi ternyata... Leo dan Adam itu... yara...? (•̩̩̩̩_•̩̩̩̩)

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D