Jumat, 12 Juni 2015

Red Lie - Chapter 6


Langkah Trisia mendadak terhenti begitu melihat sosok Tomi berhenti tepat di hadapannya. Trisia memejamkan mata dan menarik napas dalam kemudian mengembuskannya dengan keras. Lalu ia berbalik untuk menghindari Tomi yang masih bergeming menatapnya dalam-dalam. Sedetik kemudian, Trisia merasakan tangannya disentak, membuat secangkir teh di tangannya goyah dan menumpahkan beberapa tetes air ke lantai.

“Kau ini kenapa?” Suara Tomi terdengar lantang. Sejak kejadian malam itu, Trisia enggan berbicara pada Tomi, bahkan gadis itu selalu menghindarinya.

Trisia menatap Tomi jengkel seraya berdecak kesal, kemudian menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Tomi. Ia melangkah, meletakkan cangkir teh yang digenggamnya ke sebuah meja kecil di samping lemari. Kemudian meraih kardus sepatu yang ia letakkan di atas lemari. Lantas Trisia mengeluarkan sepatu hitam bertumit lima senti dari dalam kardus.

“Mau kemana kau dengan sepatu itu?” Tomi kembali bertanya. Hening. Dengan cepat, Tomi meraih secangkir teh yang diletakkan Trisia di atas meja, kemudian tanpa berpikir panjang ia menghempaskan cangkir tersebut ke lantai. Membuat suara gaduh dan menghancurkan cangkir itu berkeping-keping hingga air berceceran di lantai menyentuh karpet milik Trisia.

“Aku berbicara denganmu Tris. Mau kemana kau berpakaian seperti itu?” Penampilan Trisia memang berbeda kali ini. Kemeja bermotif polkadot berwarna biru laut yang dipadukan dengan rok hitam membalut tubuh mungilnya.

“Apa pedulimu padaku?” Trisia mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Tomi. “Andai aku mengenakan kain kafan pun, kau tak perlu peduli. Keluar kau dari kamarku!”

Tomi yang terkejut dengan sikap Trisia, mematung untuk beberapa saat. Menatap gadisnya dengan seksama. Gadis itu tampak berbeda. Setelah menguasai tubuhnya kembali, Tomi berbalik, membuka pintu kamar Trisia dan membanting pintu itu kuat-kuat.

Trisia harus mengakui bahwa ia adalah gadis yang lemah. Mata hijaunya berair, mengaburkan pandangannya yang masih terpaku pada pintu. Ia tak dapat lagi membendung tangisnya, membiarkan butiran-butiran air mata bergulir berjatuhan menjelajahi wajahnya. Kemudian Trisia mengalihkan pandangannya, pada pecahan cangkir yang masih berserakan di lantai sambil berpikir betapa tidak adilnya bahwa dalam situasi seperti ini, dialah yang harus rela menderita untuk pelampiasan setiap kemarahan Tomi.

“Tidak. Aku tidak boleh mengeluh.” Gumam Trisia pada dirinya. Kemudian Trisia menghapus air matanya, lantas membersihkan kepingan cangkir yang berserakan. Hancur. Sama seperti hatinya.
***

Apa yang terjadi dengan gadis itu? Sejak Tomi keluar dari kamar Trisia, pikiran itu terus mengganggunya. Gadis itu memang hampir selalu mengalah ketika sebuah pertengkaran tumbuh di tengah-tengah hubungan mereka. Namun akhir-akhir ini, Trisia mulai menunjukkan pemberontakan. Mungkin ini semua salah Tomi. Tomi yang terus menerus melimpahkan kekesalan hatinya pada Trisia.

Tomi menghela napas berat, menyandarkan tubuh pada pintu kamarnya yang bercat biru kusam dan terpajang poster anime bajak laut berukuran sedang. Tomi memejamkan matanya, membayangkan ributnya hiruk pikuk kota hujan. Sejenak perasaannya melayang-layang antara kembali pada orang tuanya dengan kehidupannya yang sudah pasti akan terjamin atau tetap bersama gadis yang dicintainya dengan keadaan yang membuatnya frustasi.

Tomi mengacak-acak rambut merahnya yang mulai memanjang. Kemudian matanya terfokus pada cermin persegi panjang yang memantulkan wajahnya yang memerah karena menahan amarahnya.

Bercerminlah pada kenyataan.

Otak Tomi seolah menyuarakan pendapatnya. Ya. Kenyataan ini memang tak adil baginya. Kenyataannya, Tomi tak pernah siap dengan perubahan hidupnya. Tomi memandang Trisialah penyebab hidupnya menjadi kacau balau seperti ini. Namun, di sisi lain, Tomi masih memandang Trisia sebagai gadis yang di cintainya.

Cinta?Apakah menyakiti Trisia adalah bagian dari mencintai?

Kali ini hatinya berbicara. Tidak. Seharusnya bukan begitu. Hanya saja Tomi tak dapat mengendalikan dirinya sendiri ketika memandang Trisia. Kerap kali ia menyakiti Trisia untuk pelampiasan amarahnya, meski ia tahu benar Trisia hanya melakukan kesalahan kecil bahkan tidak sama sekali. Hidupnya yang berubah drastis membuatnya begitu terpukul. Membuat lelaki itu kehilangan arah.

Setitik air mata jatuh membasahi wajah Tomi. Air mata yang sering kali tak bisa ia tahan dalam kesendiriannya. Ia selalu berharap air mata itu dapat sedikit melepaskan beban di hatinya. Beban yang tak pernah dapat ia bagi meski bersama Trisia. Ia tahu ia dapat membaginya bersama Trisia, namun ia terlalu malu pada gadis itu. Gadis yang selalu tampak tegar meski ia sebatang kara.

Ini dilema. Tetapi Tomi harus segera mengambil keputusan yang tepat demi mereka berdua.
***

Langit tampak biru cerah, mengingat hujan telah mengguyur ibukota sejak semalam. Trisia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri. Di seberang jalan terdapat area perkantoran dengan gedung-gedung tinggi yang berbaur dengan hotel-hotel mewah, supermarket dan restoran yang di depannya terparkir beberapa mobil mewah. Trisia merasakan kedua telapak tangannya berkeringat dingin. Ia menepuk-nepukkan telapak tangannya pada kedua pipinya untuk mengurangi rasa gugup yang sejak tadi memacu debaran jantungnya.

Tiba-tiba terbayang suatu gambaran ia akan diperlakukan buruk oleh orang-orang di kantor. Tidak, aku tak boleh berpikir macam-macam. Sambil menggumamkan hal itu pada dirinya sendiri, Trisia menggeleng-gelengkan kepala dan menutup matanya rapat-rapat. Ini adalah pilihan yang tepat untuk merubah hidupku, kata Trisia dalam hati sekali lagi ketika ia membuka mata dan memantapkan hatinya untuk menyeberangi jalan raya yang akan membawanya menuju Quarts Design.

Dengan jantung yang berdebar kencang, gadis itu memacu langkahnya untuk menuju ke pintu masuk Quarts Design. Ini pertama kalinya gadis itu menginjakkan kakinya di sebuah gedung mewah dengan perabot yang terlihat mahal. Para pegawai terlihat rapi dengan setelan yang tampak mahal. Rambut para wanita yang ia temui juga seragam, disisir dan digelung ke belakang dengan rapi.

Berkali-kali ia mengembuskan napasnya dalam-dalam untuk mengusir rasa gugup yang menyeruak dalam dadanya. Tiba-tiba nyalinya menciut, ingin rasanya gadis itu keluar dari gedung itu dan berlari menuju ke kantin untuk melayani mahasiswa kelaparan seperti Tomi biasanya. Tidak. Ia harus merubah hidupnya. Ia harus menghindar dari Tomi dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mengubah nasibnya yang menyedihkan.

Dengan langkah gemetar gadis itu menuju sebuah meja bertuliskan resepsionis yang di baliknya berdiri seorang gadis cantik mengenakan kemeja satin pink pucat yang dipadukan blazer hitam sehingga menambah keanggunannya. Rambutnya disanggul rapi ke belakang dan dijepit oleh hiasan cantik yang disisipkan pada salah satu sisi rambutnya.

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" Senyum ramahnya terurai sempurna, membuat Trisia berdecak kagum dalam hatinya. Benar-benar gadis yang luar biasa.

"Em... Bisa saya bertemu dengan pak Denis?" Tanya Trisia gugup.

"Maaf, jika boleh saya tahu. Apakah anda sudah membuat janji dengan beliau?”

Trisia mengerutkan keningnya. Benar. Ia tak menelpon lelaki bernama Denis itu sebelumnya. Ia lupa, Denis adalah pegawai di perusahaan besar, bukan pegawai kantin maupun cafe seperti dirinya. Trisia menggeleng sesaat sebelum mengatakan belum.

“Jika boleh saya tahu, Dengan siapa bapak Denis akan bertemu?"

"Em... Trisia. Trisia Arissandy."

"Baiklah. Silahkan tunggu sebentar. Saya akan menghubungi bapak Denis." Trisia mengangguk. Kemudian gadis itu meraih gagang telpon di hadapannya lantas berbicara pada seseorang di seberang telepon.

“Nona Trisia, pak Denis sedang ada rapat. Kurang lebih anda harus menunggu selama dua puluh menit.” Senyum ramahnya kembali terukir di bibir pinknya.

“Saya akan menunggu.”

“Baiklah, silahkan anda tunggu di sebelah sana.” Gadis itu menunjuk satu set sofa yang berada beberapa meter di samping meja resepsionis.

Trisia pun melangkahkan kakinya untuk mengistirahatkan sejenak kakinya yang terasa pegal karena tumitnya yang setinggi lima senti. Ia bersyukur pegawai di perusahaan ini begitu ramah. Paling tidak itu bisa mengurangi rasa gugupnya. Sekarang ia hanya perlu duduk manis untuk menanti seseorang bernama Denis tersebut.
***

Sudah sekitar satu menit lelaki itu berdiri mengawasi gadis yang baru saja duduk di sofa berwarna merah lembayung itu. Tangan kanannya tengah memijit-mijit betisnya sedangkan bola matanya menjelajahi seluruh ruangan hingga bertemu mata dengan lelaki itu. Namun cepat-cepat gadis itu mengalihkan pandangannya karena takut dirasa tidak sopan. Dahi lelaki itu berkerut menatapnya, namun sesaat kemudian seulas senyum penuh arti tersungging di bibirnya. Ini dia, gadis yang dinanti-nantikan olehnya.

Ponsel yang sedari tadi digenggamnya kembali bergetar dan melantunkan nada klasik tepat ketika ia hendak melangkahkan kakinya untuk menuju ke tempat gadis itu. Ia berdecak kesal menatap layar ponselnya yang bertuliskan Adam.

“Iya, tunggulah sebentar lagi. Aku segera kesana.” Nada kesal terdengar dari suaranya. Tentu saja, satu lagi kesempatan itu terbuang sia-sia.

Apa yang sedang gadis itu lakukan di kantor ini? Mungkinkah ia pegawai di sini? Tanya lelaki itu dalam hati. Tidak mungkin. Ia sudah lima tahun bekerja di sini dan belum pernah sekalipun ia melihatnya berkeliaran di kantor. Apa seseorang di kantor ini mengenalnya? Tapi siapa? Kembali ia melangkah sambil bertanya-tanya dalam hatinya.

“Selamat pagi pak Leo.” Sapa gadis resepsionis itu ramah.

“Selamat pagi Lena.” Balas Leo sambil berlalu setelah melempar senyum pada gadis yang dipanggilnya Lena, membuat wajah cantik gadis itu bersemu kemerahan. Sesaat setelah itu, Leo menghentikan langkahnya. Memutar langkahnya, kembali mendekati Lena. Meski dalam keadaan salah tingkah, tetapi Lena masih mampu bersikap profesional.

“Jika sampai jam sebelas aku belum kembali. Tolong katakan pada pak Bram agar ia menunggu di ruanganku.” Kata Leo sambil sesekali melirik gadis yang masih duduk di atas sofa merah di samping meja resepsionis.

“Baik pak, akan saya sampaikan. Ada lagi?” Tanya gadis itu tanpa mengurangi rasa hormatnya.

Sejenak Leo terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Hingga beberapa detik setelahnya, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Lena dan berbisik, “Apa yang dia lakukan di sini?”

Dengan isyarat mata yang diberikan Leo padanya, Lena segera mengerti siapa yang dimaksud dengan dia oleh atasan yang menjadi idolanya sejak ia bekerja di sini. “Dia menunggu pak Denis.” Lena menyahuti dengan suara pelan yang akhirnya ditanggapi Leo dengan anggukan.

 “Apakah dia…” Pertanyaan Leo terpotong ketika ponselnya kembali bergetar. Adam. Kenapa dia menggangguku di saat penting seperti ini. Batin Leo kesal.

“Tunggu sebentar lagi. Aku sedang dalam perjalanan.” Ujar Leo setelah telponnya tersambung dengan Adam. Leo mengangguk pada Lena, sebelum ia meninggalkan meja resepsionis —dan meninggalkan gadis bermata hijau yang selalu ada dalam pikirannya.
***

Trisia membalik majalah fashion wanita edisi dua minggu yang lalu yang di sediakan di samping sofa tempatnya duduk. Ia menatap tiap halaman dengan antusias. Fashion adalah hal yang paling diminatinya. Bahkan di waktu senggangnya ia akan membuat desain-desain pakaian wanita yang ia kumpulkan dalam sebuah map.

“Selamat pagi, nona Trisia.” Sapa seseorang yang tengah berdiri di hadapan Trisia. Sama seperti saat pertama Trisia bertemu dengannya di kantin. Lelaki itu mengenakan setelan jas abu-abu gelap. Tampang cerdasnya masih diingat dengan baik oleh Trisia.

“Selamat pagi, pak Denis.” Trisia menutup majalahnya dan segera berdiri untuk bersalaman dengan Denis.

“Silahkan duduk.” Denis mempersilahkan Trisia untuk menempati kembali tempat duduknya. “Apakah anda akan memberikan tanggapan tentang penawaran saya untuk bergabung dengan Quarts Design?” Tanya Denis langsung tanpa basa-basi.

Trisia terdiam untuk beberapa detik. Tenggelam dalam pikirannya yang masih diambang keraguan. Tapi ini adalah pilihan untuk mengubah masa depannya. Ah, semua ini benar-benar permainan pikiran yang rumit. Trisia mengembuskan napasnya perlahan untuk membuang segala keraguan yang menyeruak dalam hatinya.

“Begitulah. Saya rasa saya akan menerima pekerjaan itu.”

“Keputusan yang sangat tepat, nona Trisia.” Ujar Denis. Kemudian Denis membuka map hijau yang memang dibawanya sejak awal dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang kemudian disodorkan pada Trisia. “Ini adalah surat kontrak. Silahkan anda baca dengan saksama. kemudian setelah anda pahami, silahkan anda tanda tangani bagian ini.” Denis menunjuk bagian akhir yang telah ditempelkan materai di atasnya.

Memang Denis telah menyiapkan surat kontrak itu beberapa waktu yang lalu setelah ia menemui Trisia, karena ia sangat yakin bahwa Trisia akan menerima pekerjaan itu.

“Apakah tidak ada semacam wawancara?” Ya, tentu saja bagian itu akan selalu ada di perusahaan-perusahaan besar seperti ini.

Seulas senyum tersungging di bibir Denis. “Tidak perlu. Anda telah diterima begitu membubuhkan tanda tangan anda di akhir berkas itu.”

Bagaimana bisa aku bisa mendapatkan pekerjaan semudah ini? Tanya Trisia dalam hati. Namun Trisia hanya perlu berterima kasih pada Tuhan. Mungkin saja setelah ini hidupnya akan benar-benar berubah. Akhirnya dengan tekad yang sudah bulat, Trisia membubuhkan tanda tangannya sebagai persetujuan kontrak.

“Jika begitu, saya ucapkan selamat bergabung dengan Quarts Design, nona Trisia.” Denis menjabat tangan Trisia sebagai simbol bahwa Trisia memang benar-benar diterima di perusahaan tersebut. Kelegaan menjalar di hati Trisia. Membuat bibirnya melebar, menyuguhkan senyum bahagia sekaligus terima kasih untuk Denis.

Di sisi lain, seorang lelaki berdiri di pintu masuk perusahaan, menyunggingkan seulas senyum penuh arti seraya bergumam pelan, “Selamat datang, nona.”


Bersambung

2 komentar:

  1. Siiiipp. Puas bacanya kalau kyk gini hehehe. ( ̄∀ ̄)
    Lanjut dde Chater 7 ditunggu.
    Buat Tomi, cepet sadar ya. Bener itu 'Bercerminlah pada kenyataan'. (・へ・)

    Oya, ini Quarts Design itu perusahaan di bidang fashion ta dde?
    Kalau Arch Designs itu perusahaan desain interior rumah soal e hehe.. <(‾︶‾)>

    Nemu beberapa typo: 'nafas', 'bibirya', dan 'tekat'. (Maksudnya 'tekad' bukan? Soalnya 'tekat' artinya 'bordir/sulaman')
    .
    Yosh. Cukup sekian an semoga berkenan.
    Ditunggu chapter selanjutnya. (*^ω^*)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... makasiih yaaaa :3
      Semoga Tomi cepet sadar.

      Quarts Design itu desain eksteriornya. Hohohoho.. Apa yaa gitu itu namanyaa :P

      Makasih yaa buat koreksinya. Udah diperbaiki kak typonya. Cie cie..

      Ditunggu komentarnya yaa di chapter7 yaa :D

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D