Rabu, 24 Juni 2015

Red Lie - Chapter 8


Trisia sedang berusaha mengingat jalan mana yang harus ia tempuh untuk sampai ke ruangan bosnya. Tumitnya yang mengetuk lantai dengan tempo yang cepat membuat beberapa pegawai sempat memandanginya. Dapat ia rasakan tatapan menusuk tengah mengarah padanya.

Apa yang salah denganku? Batin Trisia. Kemudian ia menunduk untuk memperhatikan penampilannya. Namun sepertinya tak ada yang aneh. Trisia mengangkat bahunya kemudian kembali fokus untuk mengingat jalan menuju ruangan bosnya.

Ayo, Tris, Otaknya mendesak saat ia memasuki sebuah koridor yang sepertinya sudah dua kali ia lewati. Kau pasti bisa mengingatnya. Kau hanya perlu mencari lift dan tekan lantai lima, maka kau akan sampai ke ruangan bosmu.

Jangan buang-buang waktu! Hatinya menentang. Kau punya mulut Tris, tanyakan pada orang-orang di sekelilingmu. Jangan seperti orang bodoh dengan dua kali berkeliaran di tempat yang sama!

Otak dan hatinya seolah saling berdebat untuk menunjukkan jalan keluar. Ini benar-benar gedung yang rumit. Kemudian Trisia melangkah dan menyeberangi lobi menuju resepsionis dimana ia melihat sesosok lelaki yang tak asing baginya sedang berbincang dengan Lena.

“Selamat siang, pak Denis.” Sapa Trisia pada lelaki itu.

“Oh, Trisia. Selamat siang.” Balas Denis yang hampir saja meninggalkan meja resepsionis.

“Em… Maaf pak, bisakah bapak memberi tahukan jalan mana yang harus saya tempuh untuk sampai ke…” Trisia memberi jeda sejenak sambil menggigit bibirnya, merasa malu untuk mengucapkan tujuannya, “…ruangan pak Harry?”

Denis menaikkan kedua alisnya seolah menuntut agar Trisia mengulangi pertanyaannya. Sementara Lena mencoba menahan senyumannya di belakang Denis. Memalukan, Trisia! Otaknya seperti mengumpat untuk Trisia. Bagaimana tidak, Denis sudah menunjukkan jalan menuju ruangan Harry, namun Trisia tak juga mengingatnya.

“Mungkin gedung ini sedikit rumit untuk pemula.” Entah menghibur atau menyindir, Denis mengucapkan kalimat tersebut dengan santai.

“Saya rasa begitu. Saya merasa sudah memilih jalan yang benar. Tetapi saya rasa saya sudah dua kali melewati koridor yang sama dan kembali lagi ke tempat ini.” Nada Trisia semakin pelan. Merasa tolol karena pernyataannya.

“Itu sering terjadi. Anda seharusnya menuju koridor kedua setelah melewati itu,” Denis menunjuk sebuah jalan di sisi kiri lobi, “kemudian anda naik enam anak tangga dan di sebelah kanan anda akan menemukan dua lift. Yang kanan untuk umum, yang kiri khusus untuk petinggi perusahaan.” Tuturnya. “Jika anda mengambil koridor pertama atau ketiga, anda akan kembali ke ruangan ini, ibu Trisia.”

“Begitukah? Terima kasih banyak pak Denis. Anda sangat membantu.”

“Memangnya dari mana anda dengan itu?” Tanya Denis menunjuk koper silver yang ditenteng oleh Trisia.

“Tugas pertama dari pak Harry. Menukar uang pak.”

“Menukar uang?” Denis mengerutkan kening dengan pandangan apa-kau-tidak-salah? pada Trisia.

Trisia mengangguk, “Memangnya kenapa, pak?”

“Tidak, tidak. Anda pasti membawa banyak uang. Berhati-hatilah.” Ujar Denis yang kemudian berpamitan, meninggalkan Trisia.

Trisia mencoba mengingat-ingat kembali petunjuk Denis. Koridor kedua, tangga, lift. Sempurna, batin Trisia girang saat menemukan lift. Ini bukan pertama kalinya Trisia menaiki lift, tapi tetap saja, sendirian di dalam kotak besi ini merupakan hal yang tidak disukainya. Berbagai pikiran negatif selalu muncul dalam benaknya. Seperti bagaimana jika lift tiba-tiba rusak kemudian berhenti atau akan ada kuntilanak di pojok lift seperti yang sering ia lihat di televisi.

Tidak…Tidak… Tidak…

Lift mendadak berhenti saat Trisia memejamkan matanya dan menggeleng untuk menghilangkan segala pikiran buruk yang menghantui kepalanya. Jantung Trisia sontak bagai berhenti berdetak. Matanya terbelalak saat pintu lift terbuka. Seorang gadis yang cukup tinggi untuk Trisia, mengenakan setelan kemeja biru dan celana kerja, rambutnya disanggul rapi dengan bibirnya yang tampak merah menyala masuk ke dalam lift. Trisia buru-buru menundukkan kepalanya.

“Lantai lima?” Tanya gadis itu dengan suara serak.

Trisia menghabiskan beberapa detik untuk diam, menatap gadis yang menatapnya dengan tatapan cepat-jawab-aku. “Ah… I— iya… Benar. Saya akan ke lantai lima.”

Wajah gadis itu tampak sinis mendengar jawaban Trisia. Tentu saja, lantai lima adalah lantai khusus untuk para petinggi perusahaan. Bagi karyawan dengan nametag berwarna biru —untuk pegawai training— hanya memiliki kesempatan sangat kecil —bahkan tidak akan ada kesempatan untuk berkeliaran di lantai lima. Ia menatap Trisia lekat-lekat. Tatapannya seolah menelanjangi seluruh tubuh Trisia, membuat Trisia merasa tak nyaman.

“Kau orang baru?” Tanya gadis itu kembali.

“Benar. Saya asisten pak Harry.”

“Asisten? Harry mempekerjakan asisten?” Nada gadis itu meninggi. Trisia tercengang, hanya mampu memerhatikan sikap berlebihan gadis itu. “Siapa namamu?”

“Trisia.”

“Trisia, hanya sekali aku mengatakannya padamu. Jangan coba-coba mendekati Harry. Dia milikku.”

Lift sampai di lantai lima tepat ketika gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Yang benar saja. Tomi bisa mencincangku jika hal itu terjadi. Trisia bergumam samar, membuat gadis itu mengernyit penasaran. Sebelum ia, sempat mengucapkan sesuatu, Trisia beranjak untuk segera melepaskan diri dari nenek sihir itu.

“Trisia, tunggu.” Suara gadis itu menghentikan langkah Trisia. “Aku akan bertemu Harry. Kau tunggulah dua puluh menit.” Ujar gadis itu yang kemudian berjalan mendahului Trisia.

Kau bodoh, Tris. Otak Trisia mulai mencerca. Kau harusnya berani menentang nenek sihir itu!

Tidak… Tidak.. Kau melakukan hal yang benar, kata hati Trisia menyela. Kau hanya orang baru, sebaiknya berhati-hatilah dalam bersikap.

Tentu saja. Trisia menghela napas besar menatap punggung gadis itu semakin menjauh dan menghilang di balik pintu ruangan bosnya. Trisia masih mematung. Akhirnya beberapa saat kemudian ia memutuskan untuk berkeliling ke lantai lima, setidaknya untuk lima belas menit.

Beberapa pintu kaca berjajar di kedua sisi koridor yang lebih luas dari koridor di lantai dasar. Ruangan bertuliskan Andreansyah, Chief Marketing Officer berhadapan langsung dengan ruangan Amelia Arinka, Chief Operating Officer. Kemudian Trisia terus melangkah dan menemukan ruangan Leo Ferdian, Chief Financial Officer berhadapan dengan Arka Bramantyo, Chief Technology Officer. Trisia terkikik geli, jangankan mengerti apa maksud jabatan yang tertempel di papan yang tersemat pada setiap pintu kaca, bahkan sebagai seorang asisten CEO ia belum tahu apa kepajangan dari CEO.

Sejenak Trisia berdecak kagum pada pembuat gedung ini. Desain bagian dalam gedung ini benar-benar unik, kemudian barang-barang mewah pun bertebaran di setiap sisinya. Seleranya benar-benar tinggi.

Trisia menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir lima belas menit ia menghabiskan waktunya untuk mengagumi setiap sisi gedung lantai lima ini. Ia pun kembali menuju ruangan di ujung koridor.
***

Leo mendidih dengan kemarahan. Ini semua benar-benar terjadi. Lagi-lagi ia harus mengorbankan hatinya demi Harry. Leo menunduk, berbalik bersama kekecewaan. Dengan mendesah putus asa, Leo melangkah menuju ruangannya yang terletak di ujung koridor.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Mata Leo terbelalak menyaksikan seseorang di hadapannya bergeming memperhatikannya. Leo merasa bagai pencuri yang tertangkap basah. Ia terperangah saat mata hijau itu menatapnya penuh tanya. Dengan cepat Leo menutupi perasaan terkejutnya dan dengan senyum menawan, ia memutuskan untuk menyapanya.

“Trisia.”

Alis gadis itu berkerut di balik poninya, “Apakah anda mengenal saya?”

Rupanya keputusan untuk menyapa Trisia adalah keputusan yang salah. Leo melupakan fakta bahwa Trisia tidak mengingatnya karena Leo bukanlah kenalan bahkan lelaki spesial baginya.

“Bukankah kau gadis yang bekerja di Rainbow CafĂ©?” Leo mencoba mengatur detak jantungnya yang berdegup kencang.

“Benar. Senang berkenalan dengan…” Alis Trisia terangkat, pandangan matanya seolah menuntut sebuah nama untuk melengkapi kalimatnya.

“Leo.”

“Leo Ferdian?”

Benar! Leo bersorak dalam hatinya. Setidaknya gadis ini sedikit mengetahui tentangnya. “Kau tahu?”

“Hanya menebak,” ujar Trisia malu. “aku membaca ada nama Leo di sana, jadi saya pikir itu nama anda.” Ia menunjuk sebuah pintu yang terletak di ujung koridor.

Sesaat Leo merasa kecewa, tetapi sudahlah. Yang terpenting sekarang gadis itu telah mengenalnya.

“Jadi… Apakah anda sudah bertemu dengan pak Harry?”

“Belum, kurasa dia sedang sibuk. Ada seseorang di dalam.” Ya, gadis yang kupikir itu adalah dirimu, batin Leo. “Sejak kapan kau menjadi asisten Harry?”

“Mulai hari ini, pak. Ini adalah tugas pertama saya.” Trisia mengangkat sebuah koper dengan senyum bangga yang melebar di bibir pinknya.

“Kerja bagus.” Puji Leo.

Sesaat kemudian seorang gadis keluar dari ruangan Harry. Tatapannya tajam mengarah pada Leo dan Trisia bergantian. Kemudian lengkahnya berhenti di antara Leo dan Trisia, “Trisia, jangan mengobrol saat jam kerja.” Ujar gadis itu ketus.

“Melina, cukup.” Leo memperingatkan. Sejak dulu Leo memang tak pernah suka dengan Melina, pegawai bagian marketing yang berperangai angkuh. Bahkan sebagian besar pegawai pun tak begitu menyukainya karena perilakunya. Melina berdecak kesal sambil memelototi Leo sebelum meninggalkan mereka berdua.

“Kau mau masuk?” Tanya Leo yang di jawab oleh sebuah anggukan dari Trisia. “Kalau begitu, sampai jumpa.”

“Permisi.” Trisia melempar senyum sebelum ia meninggalkan Leo.

“Tunggu, Tris.”

Trisia segera menghentikan langkahnya, kemudian berbalik untuk Leo. “Ya, pak?”

“Bagaimana kalau kita makan siang setelah ini?” Leo menatap Trisia dengan pandangan penuh harap.

Trisia balas menatap dan meneguk ludah dengan gelisah. Ia tak punya jawaban. Sejujurnya ia agak terkejut dengan ajakan makan siang oleh salah satu orang penting di perusahaan yang baru saja dikenalnya beberapa menit yang lalu. Trisia butuh waktu untuk berpikir tentang apa yang baru saja terjadi, namun sepertinya Leo tak menangkap dengan baik atas keheningan Trisia.

“Jadi, bagaimana?” Tanya Leo sekali lagi. Matanya menjelajahi wajah Trisia, mencari-cari sebuah jawaban.

Trisia menatapnya putus asa. Trisia tahu ia bisa saja dengan mudah berkata ya, tetapi ia harus berpikir masak-masak. Ia hanya seorang pegawai yang benar-benar baru di perusahaan ini dan ia takut apa yang dilakukannya akan berdampak pada karirnya. Tapi… Tidak! Trisia tak boleh begitu saja menerima ajakan itu. Lalu bagaimana ia harus mengatakannya? Trisia mendesah, ia hanya ingin situasi tak nyaman ini segera berakhir.

“Saya tidak tahu harus bilang apa,” kata Trisia lirih.

“Oke, kuanggap itu sebagai jawaban ya.” Leo mengedipkan sebelah matanya pada Trisia. “Aku akan menunggumu di lobi.”

Tidak, bukan itu maksudku, batin Trisia. “Tapi…”

“Baiklah sampai jumpa.” Leo melemparkan senyum, lalu berbalik untuk meninggalkan Trisia dan menuju ke ruangannya. Sementara Trisia hanya mampu menyaksikan dengan terpaku karena ragu dan takut.

Seulas senyum berkembang lebar di wajah Leo. Dengan langkah cepat ia menuju ruangannya, kemudian segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum jam makan siang tiba. Tanpa sengaja pandangannya berhenti pada sebuah foto yang terpajang di meja kerjanya.

Deg. Jantung Leo seolah berhenti berdetak. Senyumnya mulai surut. Ya, sejak awal Leo tahu, ia memang telah gagal.


Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D