Kamis, 06 Agustus 2015

Orange Sunset (Sepuluh)




CAHAYA matahari senja perlahan memudar, berganti dengan langit malam yang bertaburan bintang-bintang. Bulan mulai menghinggapi malam dengan kilaunya yang serupa mutiara. Suara jangkrik yang merdu terdengar bersahutan dengan bisingnya kendaraan dari kejauhan.

Masih mengenakan seragam putih-kelabu mereka, Jihan dan Rangga duduk berdampingan di kursi teras rumah Jihan. Biasanya, mereka akan menikmati senja sambil duduk di kafe kesukaan mereka, membicarakan banyak hal seperti materi ujian pekan depan mau pun sekadar gosip terkini di sekolah. Tetapi hari ini mereka memilih untuk menghemat uang demi bisa membeli tiket film kesukaan mereka berdua.

Tiba-tiba saja Jihan menghela napas berat. ‘Kenapa, ya, orang-orang berciuman?’ tanyanya, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri. Tetapi tanpa dinyanya, kata-katanya berhasil merebut perhatian Rangga dari konsol permainan portable yang digenggam lelaki itu.

Rangga mem-pause permainannya, mengangkat wajah, dan mengernyit menatap Jihan. Ia ingin mencoba menjawab pertanyaan tidak biasa yang dilontarkan gadis itu. Hanya saja ia sendiri merasa ragu dengan jawabannya. Jadi, ia menjawab dengan hati-hati, ‘hem... mungkin karena mereka saling mencintai...?’

Mata Jihan membulat antusias. Ia menggerakkan kursinya sedikit menghadap Rangga. ‘Itu berarti... aku hanya boleh berciuman dengan seseorang yang kucintai?’

‘‘Tentu saja,” sahut Rangga sedikit terdengar kesal. Raut wajahnya seolah mengatakan bahwa semua orang tahu hal itu. ‘Kau tidak boleh berciuman dengan sembarang orang. Hanya boleh dengan seseorang yang benar-benar istimewa. Misalnya, suamimu nanti.’

Jihan menganggut-anggutkan kepalanya. Ia terdiam, mencoba memahami dengan baik kata-kata Rangga. Sementara lelaki itu kembali menyibukkan diri dengan permainannya.

‘Kira-kira... di antara kita berdua, siapa yang akan lebih dulu menikah, ya?’ Jihan kembali bergumam. ‘Dan mengalami bagaimana itu berciuman....’

‘Entahlah.’ Rangga menggidikkan bahu tanpa kembali melepas permainannya. Saat itu perasaan mereka masih murni sebagai sahabat, tanpa perasaan jatuh cinta yang rumit. ‘Yang penting, kita harus menjaganya untuk seseorang yang mencintai dan kita cintai.’

Jihan membiarkan dagu dan hidungnya berkerut. Diam-diam, ia menanamkan kalimat itu baik-baik dalam benaknya. Ia harus menjaga ciumannya hanya untuk seseorang yang mencintai dan dicintainya.
***

Bibir Rangga terasa lembut menempel di bibir Jihan. Lelaki itu tampak begitu hati-hati dan berusaha untuk memperlakukan Jihan selembut mungkin. Hingga tidak ada kesempatan bagi Jihan untuk menolak.

Tidak ada yang bisa dipikirkan Jihan. Ia merasa otaknya sudah tercerabut paksa dari dalam rongga kepalanya. Tubuhnya terasa begitu lemas seperti tidak bertulang. Jadi, ia memilih untuk memejamkan matanya perlahan, merasakan euforia yang berdentam-dentam di rongga dada kirinya.

Tetapi begitu matanya terpejam sempurna, wajah Silvia yang sedang tersenyum tulus muncul di balik kelopak matanya.

Dan seketika itu juga, Jihan menyentak dirinya dan mendorong tubuh Rangga. Ia beringsut hingga ujung sofa terjauh dari Rangga. “Aku tidak bisa, Rangga.”

“Kenapa?” Wajah lelaki itu berkerut masam. “Apa karena Silvia?”

Jihan terdiam. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Gadis itu hanya tertunduk mendekap kedua tangannya. Sekujur jemarinya terasa menegang dan gemetar.

“Jihan....” Rangga mencoba mendekat. Tetapi ia mengurungkan niatnya begitu melihat sikap defensif yang ditunjukkan Jihan. “Maaf karena aku melakukannya.”

Jihan mengigit bibirnya, berusaha menahan air matanya yang mendesak di pelupuk mata. Tidak ada satu kata pun yang mampu diucapkan bibirnya yang kelu. Pipinya memerah sementara jantungnya berdebar kencang karena perasaannya yang campur aduk. Malu, bingung, dan menyesal saling bertumpuk di dalam hatinya.

“Aku juga minta maaf.” Akhirnya Jihan mampu mengucapkan sesuatu walaupun dengan suara tercekat. “Tidak seharusnya kita melakukan hal seperti itu....”

“Lihat aku, Jihan.” Rangga memberanikan diri untuk mendekat dan meraih dagu Jihan. Rasa perih merayap di hatinya ketika melihat sepasang mata gadis itu berkaca-kaca. “Jangan berpikiran buruk tentang ini. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melecehkanmu atau

“Sebaiknya kau pergi,” tukas Jihan dengan suara serak. Ia membebaskan dagunya dari jemari Rangga, lalu memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan lelaki itu.

“Baiklah.” Rangga berusaha menyunggingkan senyuman penuh pengertian. Lelaki itu lantas bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah pintu. Sekuat tenaga menghalau dirinya untuk berbalik dan merengkuh Jihan ke dalam pelukannya. Ia sangat mengerti bahwa gadis itu membutuhkan waktu untuk sendiri.

Begitu terdengar suara pintu tertutup, air mata Jihan tumpah tanpa bisa dicegah.
***

Jihan termenung sambil menatap langit-langit kamarnya. Bulir-bulir air matanya tampak mengering, meninggalkan jejak sungai penyesalan di wajahnya. Entah sudah berapa lama ia membiarkan tubuhnya berbaring seperti itu. Hingga akhirnya cahaya jingga yang samar menyusup melalui jendela yang tertutup tirai.

Senja.

Suasana itu selalu mampu menarik perhatian Jihan. Ia bangkit dan menarik tirainya sedikit terbuka. Membiarkan sinar lembayung itu memasuki kamarnya dengan lebih leluasa. Ah, langit yang dipenuhi kerinduan.

Dengan sedih, Jihan menyentuh bibirnya. Masih terasa sentuhan bibir Rangga di sana. Ia menghela napas panjang. Ciuman yang dijaganya untuk satu orang yang istimewa. Jihan tahu ia mencintai Rangga. Dan ia yakin Rangga juga begitu. Selama beberapa detik, ia merasa bahagia. Tetapi detik berikutnya, hanya perasaan menyesal yang melingkupi hatinya.

Jihan mencintaimasih mencintai Rangga hingga saat ini. Tidak ada gunanya menyangkal kenyataan itu. Tetapi ia harus benar-benar membuang perasaannya. Jika tidak, itu berarti ia akan melukai perasaan Silvia. Ia akan menjadi pengkhianat untuk sahabatnya. Walaupun itu berarti ia harus membohongi dirinya sendiri.

Oh, tidak. Apa yang dipikirkannya tadi? Demi Tuhan. Sahabatnya sedang terbaring sakit. Sementara ia malah... melakukan hal yang sama sekali tidak pantas. Bahkan dengan lelaki yang tidak memiliki ikatan apa pun dengannya.

Air mata Jihan kembali tergelincir di pipinya. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tetapi isakannya terdengar jelas. Apa yang harus dikatakannya saat ia bertemu langsung dengan Silvia?
***

“Jihan... Jihan... Jihan...!”

Jihan lantas tersentak ketika merasakan lengannya diguncang samar. “Oh, maaf. Apa kau mengatakan sesuatu?”

Silvia tidak menjawab. Gadis itu malah menyilangkan tangannya di dada, terang-terangan tampak kesal. Ia memberikan pandangan menyelisik yang membuat Jihan merasa tidak nyaman.

“Apa lagi yang mengganggu pikiranmu, Gadis Muda?” tanya Silvia penuh sindiran. “Kau membuatku merasa sedang bicara dengan batu.”


Kepala Jihan tertunduk. Ia merasa seperti anak kecil yang baru saja terpergok menghabiskan semua kue di kulkas. Bibirnya berbisik lirih mengucapkan maaf. Entah meminta maaf karena sudah mengabaikan Silvia, atau karena pengkhianatan yang dilakukannya.

“Kau pasti tidak mendengarkan kata-kataku tadi, kan?” Nada bicara Silvia masih terdengar tajam.

“Memang apa yang kaukatakan?” Jihan balas bertanya.

Silvia berdecak kesal. “Lebih tepatnya, tadi aku bertanya padamu. Apakah kau jadi pergi makan siang dengan Julian?”

“Sepertinya tidak.” Jihan menggeleng. “Tadi dia mengirim pesan singkat untuk membatalkan janji makan siang. Dia tidak bisa meninggalkan dapurnya. Restoran terlalu ramai siang ini, katanya.”

“Bagus kalau begitu, kau ikut makan siang saja denganku,” ujar Silvia sambil menarik lengan Jihan, mengajak gadis itu untuk bangkit dari duduknya. “Rangga mengajakku makan siang bersama. Dia bilang ingin memastikan bahwa aku akan makan dengan benar,” Silvia menambahkan lantas terkekeh penuh kebahagiaan.

Oh, tidak.

“A-aku tidak bisa, Silvia. Lebih baik aku makan sendiri saja.”

“Kenapa?” Tawa Silvia lenyap, menjelma ekspresi kecewa pada lawan bicaranya.

Jihan menggaruk kepalanya, mencari alasan yang sesuai. “Aku hanya tidak ingin mengganggu acara kalian berdua.”

Apalagi setelah apa yang terjadi tempo hari. Jihan sama sekali tidak memiliki keberanian untuk bertemu dengan lelaki itu. Ditambah ada Silvia di tempat yang sama dengan mereka. Itu pasti akan menjadi sebuah kesalahan besar.

“Oh, ayolah. Jangan bersikap seperti remaja yang takut diabaikan seperti obat nyamuk.”

Jihan menempelkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia mendongak dan menatap Silvia lekat-lekat penuh permohonan. Tetapi ia lupa seperti apa sifat keras kepala sahabatnya itu.

“Cepat pilih. ‘Ya’ atau ‘ikut’?”

Alis Jihan terangkat. Itu jelas bukan pilihan. Ia memilih tetap bergeming, berusaha mempertahankan diri agar tidak goyah oleh rajukan Silvia. Padalah perasaan bimbang tergambar jelas di mata Jihan. Seharusnya Silvia mengerti dan berhenti memaksakan kehendaknya. Tetapi bukan Silvia namanya jika tidak bisa membuat orang lain patuh. Setengah hati, Jihan menganggukkan kepalanya.

Senyum kemenangan terukir di bibir Silvia. “Kalau begitu kita berangkat sekarang sebelum kau menghabiskan jam makan siangmu dengan melamun.”
***

“Jadi ini kedai nasi goreng yang sering kau bicarakan itu?” bisik Jihan di dekat telinga Silvia ketika mereka memasuki sebuah kedai yang tampak dipadati oleh para pekerja kantoran siang ini.

Silvia mengangguk dan menoleh sedikit kepada Jihan yang berdiri di belakangnya. “Menu nasi gorengnya sangat lezat dan bervariasi. Kau lihat sendiri berapa banyak perut lapar yang datang ke sini,” ucap Silvia sambil memandang berkeliling pada suasana kedai yang diwarnai obrolan samar dan denting alat makan yang beradu.

Saat ini mereka berdiri berbaris di dekat pintu masuk kedai. Rangga yang berdiri paling depan sedang berbicara dengan pramusaji yang kemudian mengantar mereka ke tempat duduk di tengah ruangan.

Silvia tentu saja memilih untuk duduk berdampingan dengan Rangga. Jihan duduk di seberang meja, berhadapan langsung dengan Silvia. Sejak tadi gadis itu berusaha untuk tidak bertemu pandang dengan Rangga. Ia tidak yakin dengan kemampuan matanya menyembunyikan perasaan.

Pramusaji meletakkan dua buku menu ke atas meja. Jihan menyambar cepat satu buku menu agar matanya tidak menganggur. Dalam sekejap, ia sudah tenggelam dalam deretan foto nasi goreng yang tertera di buku menu. Air liurnya nyaris menetes. Sepertinya benar kata Silvia, nasi goreng di sini pasti sangat lezat.

“Aku pesan nasi goreng hitam,” kata Rangga sambil mengulurkan tangan menyebrangi meja dan mengetuk sebuah gambar nasi goreng pada menu di hadapan Jihan.

Jihan tersentak. Ia tidak menyangka lelaki itu menunjuk menunya, bukannya menu pada Silvia yang seharusnya mereka bagi berdua. Takut-takut, Jihan mengikuti gerakan tangan yang kini ditarik kembali oleh pemiliknya. Apa lelaki ini sengaja ingin menarik perhatiannya?

Tetapi ketika Jihan mendongak untuk menatap sekilas ke arah Rangga, lelaki itu tampak tidak menggubrisnya. Ia sibuk bersikap ramah kepada pramusaji yang menanyakan pesanan mereka. Sebenarnya, apa maksudnya?

“Kalau begitu, aku juga sama,” ujar Silvia sambil tetap menunduk untuk memerhatikan gambar nasi goreng berwarna hitam karena tinta cumi-cumi, dengan potongan udang dan cumi-cumi berbentuk cincin. Kemudian ia masih menyibukkan diri membolak-balik lembaran menu sambil bertanya, “kau ingin pesan apa, Jihan?”

“A-aku juga sama.” Tergeragap, Jihan kembali menunduk tidak fokus pada menu di hadapannya.

“Tiga nasi goreng seafood hitam,” gumam pramusaji sambil mencatat. “Minumannya?”

Orange juice,” kata Rangga. Lagi-lagi tanpa melihat menu yang berderet, seolah ia sudah menghafal menu apa saja yang ada di kedai ini.

“Aku juga.” Silvia tersenyum lebar sambil menutup buku menunya.

“Aku“ Mata Jihan bergerak cepat di antara deretan daftar minuman. “Espresso macchiato.”

Pramusaji itu membacakan ulang pesanan lalu mengambil kembali menu yang tadi dibawanya. Tetapi langkahnya tertunda ketika Rangga menginterupsi gerakannya.

“Tolong salah satu nasi gorengnya tanpa bawang goreng, ya.”

“Baik.” Pramusaji itu mengangguk dan memberi tanda pada catatannya.

“Kau tidak suka bawang goreng?” tanya Silvia ingin tahu begitu pramusaji itu berlalu. Sepertinya, ketika mereka makan berdua di sini tempo hari, Rangga tidak pernah protes tentang hal ini.

“Bukan aku. Tapi Jihan,” jawab Rangga sambil menggidikkan dagunya ke arah Jihan.

Sontak Jihan langsung salah tingkah diperlakukan seperti itu. Ia sendiri bahkan tidak terpikirkan tentang bawang gorengsi perusak rasa pada hidangan makan siangnya kali ini. Mengapa lelaki itu harus menunjukkan perhatiannya di hadapan Silvia seperti ini? Apalagi setelah itu Silvia langsung melirik sekilas ke arahnya, membuat Jihan merasa rikuh.

“Wah, ingatanmu kuat sekali.” Ucapan Silvia itu terdengar sepert sindiran tajam bagi Jihan.

“Mana mungkin aku lupa,” sahut Rangga lantas terkekeh perlahan. “Pernah suatu ketika kami makan bersama teman sekelas, dia heboh melihat taburan bawang goreng di atas nasi gorengnya.”

Bibir Silvia membulat lantas ikut terkekeh. Sementara Jihan tampak tersipu rikuh menyadari kejadian memalukan itu terlintas kembali dalam ingatannya. Dasar Rangga sialan! Ia hanya bisa mengumpat dalam hati. Sama sekali tidak ada keinginan untuk membalas perkataan lelaki di hadapannya.

“Omong-omong, Jihan. Apa kau akan datang acara reuni bulan depan?”

“Reuni?” Alis Jihan terangkat, sedikit bingung dengan perubahan topik yang begitu tiba-tiba. Lagi pula, bagaimana bisa lelaki ini bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua?

“Ya. Reuni SMA kita. Apa kau belum menerima undangannya?”

“Ha?”

“Oh. Benar juga. Pasti teman-teman kita tidak memiliki alamat tempat tinggalmu yang sekarang.” Kepala Rangga mengangguk-angguk ketika menyadari hal itu. “Atau mungkin hanya aku yang tahu kalau kau kembali ke kota ini.”

Jihan terdiam, sama sekali tidak bermaksud menanggapi kata-kata Rangga.

“Reuni itu... apakah aku boleh ikut?” Dengan hati-hati, Silvia mencoba memasuki topik yang sedang berlangsung di hadapannya. “Aku tidak memiliki teman SMA yang tinggal di sini.”

Sejak berusia lima belas tahun, Silvia memang tinggal bersama nenek dari pihak ibunya di London. Jadi, ia mengenyam pendidikan menengah hingga kuliahnya di kota yang memiliki bianglala raksasa itu.

“Kau yakin tidak akan merasa bosan di sana?” Rangga berusaha menghalau keinginan Silvia. “Kau, kan, bukan alumni sekolah itu.”

“Tidak masalah. Aku yakin akan banyak teman-teman kalian yang datang bersama suami atau istri mereka. Jadi..., aku bisa datang sebagai pasanganmu.” Silvia tersenyum menunjukkan deretan giginya yang putih.

 “Ide bagus,” sahut Jihan kemudian, mendukung usulan Silvia.

Silvia mengerling terima kasih ke arah Jihan. Sedikit banyak, tujuan ia sebenarnya adalah ingin mengenal Rangga melalui teman-teman SMA lelaki itu. Karena selama ini, informasi yang didapatnya dari Jihan tidak pernah memuaskan hasrat ingin tahunya.

Rangga melirik protes ke arah Jihan, tetapi gadis itu mencoba tidak mengacuhkannya. Yang benar saja! Apa gadis ini sama sekali tidak memiliki keinginan untuk datang bersamanya ke reuni itu?

“Tapi kau tidak mengenal teman-teman SMA-ku,” ujar Rangga dengan nada ragu. “Apa kau tidak takut nanti akan merasa... hem... canggung?”

“Siapa bilang aku tidak mengenal teman SMA-mu?” sanggah Silvia dengan nada riang. “Aku mengenal Jihan.”

Rangga mengikuti tatapan Silvia yang kini terarah ke arah Jihan. Dan gadis itu membalas kata-kata  Silvia dengan tertawa. Tentu saja tawa yang tidak ditujukan untuk dirinya. Semakin lama suara tawa itu semakin terasa jauh, hingga hanya menyisakan gaung di sudut benaknya.

Tidak pernah Rangga mengira bahwa sebuah ciuman seolah mampu merentangkan jarak ribuan kilometer di antara mereka.

***

Jihan mengurai tawa sekilas menanggapi kata-kata Silvia. Memang benar gadis itu mengenal dirinya sebagai alumni dari SMA itu. Hanya saja, ia sendiri tidak berniat datang ke acara reuniatau apapun itu yang berpotensi membangkitkan kenangan di antara dirinya dan Rangga.

Seorang pramusaji berjalan melewati meja mereka dengan langkah kikuk. Jihan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perdebatan kecil di hadapannya. Ia bertopang dagu di atas meja, sambil membiarkan kepalanya bergerak mengikuti pramusaji yang tadi lewat.

Pramusaji itu tampak kurang percaya diri. Mungkin pegawai baru, duga Jihan. Tangannya tampak gemetar memegang nampan. Senyumannya kaku dan tidak terlatih. Ketika ia mengantarkan pesanan ke sebuah meja di dekat jendela, pramusaji itu berusaha menyapa seramah mungkin walaupun kerutan gugup mencuat di setiap sudut wajahnya.

Entah mengapa, Jihan merasa pramusaji itu lebih mirip aktris amatir di atas panggung teater. Sekuat tenaga ia harus merahasiakan perasaan yang sesungguhnya dan menampilkan peran yang diingkan orang-orang. Ah, entah mengapa itu terdengar seperti dirinya sendiri.

Jihan mendengar helaan napas Rangga yang menginterupsi lamunannya.

“Baiklah kalau begitu. Asalkan Jihan tidak keberatan kita datang bertiga,” ujar Rangga mengakhiri perdebatannya dengan Silvia. Terdengar nada memohon dari kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu. Entah memohon untuk apa.

Kepala Jihan berputar cepat mendengar namanya disebut.

“Berempat,” ralat Silvia begitu perhatian Jihan kembali kepadanya. “Kita ajak juga Julian. Sebagai pasangan Jihan.”

Baru saja Jihan membuka bibirnya ingin menyatakan penolakan dan sanggahan atas usulan Silvia. Tetapi apa pun yang hendak dikatakan Jihan, urung terucap karena saat itu sang pramusaji kikuk datang ke meja mereka mengantarkan tiga porsi nasi goreng beraroma sedap yang membuat gemuruh di lambung Jihan bersorak gembira.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D