Jumat, 07 Agustus 2015

Red Lie - Chapter 14



“Aku mencintaimu…”              

Kalimat singkat yang membuat Trisia mempertimbangkan kepergiannya. Itu juga yang ia rasakan pada Leo. Cinta. Bahkan tanpa ia sadari, Leo telah merajai hatinya, membuat Tomi akhirnya tersingkir dari hatinya.

Setelah perjuangan yang cukup panjang, beriringan dengan ketakutan beserta kegelisahan yang terus melawan teguhnya pendirian. Segalanya menjadi teramat berarti setelah mempertimbangkan kenyataan yang terjadi, yang mampu membuatnya terpukul. Tanpa ragu lagi ia memutuskan untuk mengikuti Leo ke Belanda, meski ia harus meninggalkan surat pengunduran diri di meja bosnya.

Trisia telah mengencangkan sabuk pengaman dan untuk pertama kalinya ia menginjakan kakinya di dalam pesawat. Sebelumnya, ketika terdengar suara berdengung di langit, Trisia akan menengadahkan kepala, memicingkan matanya untuk melawan cahaya matahari. Lalu sebuah bongkahan besi yang terlihat sangat kecil akan melintasi kepalanya. Senyum samar menghiasi wajahnya ketika mengingat hal itu, membuat lelaki di sampingnya terus memerhatikan perubahan raut wajah gadis di sampingnya.

“Kau takut, sayang?” Leo menggenggam tangan Trisia, memandangnya dengan penuh perhatian. Tak bisa dipungkiri oleh Trisia, pesona Leo memang akan selalu menaklukkannya.

Trisia menggeleng, “Tidak, aku hanya mengingat sesuatu.” Trisia memandang lekat-lekat mata tajam Leo, kemudian pandangannya turun menuju bibirnya. Bibir yang manis…

Buru-buru Trisia mengembalikan arah pandangannya saat Leo berkata, “Apa kau teringat dengan apa yang dikatakan kakakku?”

Tidak. Trisia sama sekali tak memikirkan hal itu, namun Leo membuatnya kembali teringat sehingga mau tidak mau Trisia memang harus memikirkannya kembali. Memikirkan tentang kemungkinan itu. Trisia menggigit bagian dalam bibirnya, sekelebat adegan yang cukup buruk mengganggu pikirannya…

“Cuti? Berapa lama?” Tanya Harry sambil membuka berkas-berkas yang baru saja diantar oleh Trisia.

“Sekitar dua minggu, pak.”

“Untuk apa?”

“Saya ada keperluan, pak.”

“Oh… sudah jadi orang sibuk ternyata.” Sindir Harry. Pintu Harry kemudian terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu membuat perhatian Harry dan Trisia tertuju pada orang yang muncul setelah pintu terbuka.

“Kupikir kau sedang tidak ada tamu.” Leo basa-basi kemudian mendekat dan duduk di samping Trisia yang tengah berdiri. “Api situasinya sedang tegang?” Tanya Leo mencoba mencairkan suasana, memandang Harry dan Trisia bergantian.

“Tidak, saya hanya…”

“Siapa suruh kau bicara?” Sergah Harry ketus. “Dia meminta cuti. Padahal pegawai yang masih bekerja kurang dari enam bulan dilarang mengajukan cuti,” jelasnya pada adiknya.

 “Dia ada urusan. Izinkan dia cuti.”

“Mengapa kau memintaku mengizinkannya? Kau lupa dia bekerja untukku?” Gerutu Harry. Hening. Tiba-tiba Harry menyadari sesuatu, “apa dia akan pergi denganmu?”

“Tidak.”

“Ya.” Jawab Trisia dan Leo bersamaan. Mendengar Jawaban Leo, Trisia memandang lelaki yang tampak tenang tanpa mencoba menyembunyikan kebohongan dari kakaknya yang mengerikan itu.

“Kau dan Trisia?” Harry meyakinkan. Kemudian Leo membalas dengan sebuah anggukan mantap.

Brak!
Harry memukul mejanya dengan keras. “Kau pikir apa yang kau lakukan?” Wajahnya merah karena amarah. Ia memandang Leo dan Trisia bergantian.

“Kau,” Harry menunjuk wajah Trisia, seolah telunjuknya adalah sebilah pisau yang siap mencabik-cabik wajah gadis itu. “Kau sama saja dengan ibumu. Penggoda! Dasar anak haram!”

“Kak, jaga bicaramu!” Leo menyela sementara Trisia hanya mampu membelalakkan matanya.

“A—apa maksud anda dengan…” Trisia menjeda kalimatnya, “…anak haram?”

“Kau adalah…”

“Kak, cukup!” Leo menyela, namun tampaknya Harry tak berniat menggubrisnya.

“Kau adalah anak ayahku dan selingkuhannya.” Harry menegaskan setiap kata dengan jelas, membuat Trisia terperangah mendengarnya.

“Tidak.” Gumam Trisia parau.

“Itu kenyataannya. Kau adalah anak haram.

“Tapi ini belum terbukti. Bukankah sudah kukatakan jaga mulutmu!” Leo mencoba menghibur Trisia dengan menyalahkan kakaknya.

“Dan sikapmu jelas kaudapatkan dari ibumu yang pelacur itu, nona.”

“Trisia. Apa yang kau pikirkan?” Suara itu seolah membawa jiwa Trisia kembali.

“Ah, tidak. Aku hanya berpikir tentang kita.”

“Semuanya pasti baik-baik saja.” Leo menggenggam tangan Trisia yang terasa begitu dingin.
***

“Selamat datang di Bandara Schipol, Amsterdam.” Suara pilot dari ruang kendali terdengar nyaring, disambut oleh seulas senyum di bibir Trisia. Setelah perjalanan yang menempuh sekitar empat belas jam tanpa henti, akhirnya  Trisia akan melihat indahnya Belanda, tanah kelahiran ibunya yang selama ini hanya mampu ia saksikan lewat siaran di televisi.

Trisia menoleh pada lelaki di sampingnya yang tengah tertidur pulas. Wajahnya tampak polos seperti anak kecil yang membuat Trisia ingin melindunginya. Gadis itu tersenyum kemudian mengecup pipi Leo hingga lelaki itu berjingkat, memandang Trisia dengan matanya yang masih memerah.

“Kita sudah sampai.” Ujar Trisia bersemangat.

“Aku tertidur cukup lama ya?”

“Kurasa begitu.”

Trisia menengadahkan kepalanya, menyaksikan bangunan tinggi bertuliskan “Schipol” yang amat besar yang dikelilingi oleh kaca-kaca yang memantulkan pemandangan di belakang Trisia. Bandara Schipol memiliki penampakan yang cukup indah. Berbeda dengan bandara yang pernah Trisia lihat sebelumnya.

Leo memerhatikan wajah Trisia, mata Trisia terpejam dan mengambil napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Leo meraih ponselnya, kemudian memotret wajah cantik Trisia tanpa sepengetahuannya.

“Buka matamu.” kata Leo dengan nada lembut.

Trisia membuka mata, mengarahkan pandangan matanya pada lelaki tampan yang sekali lagi mengambil fotonya. “Apa yang kau lakukan?”

“Aku hanya ingin mengabadikan dirimu, sebelum…” Leo menghentikan kalimatnya, berusaha menelan ludahnya yang terasa pahit.

“Sebelum kenyataan bahwa kita sedarah akan terbukti?” Trisia tersenyum kecut seolah mampu membaca pikiran Leo.

“Tidak, maksudku sebelum kau menyadari bahwa aku memotretmu. Spontan hasilnya lebih bagus, bukan?” Leo membantah meski memang hal itulah yang ada dalam pikirannya. Ia sadar hal itu akan membuat gadis di hadapannya bersedih.

Trisia melangkah, kemudian melingkarkan lengannya pada leher Leo, memeluk lelaki itu dengan erat. “Aku tahu bukan itu yang ingin kaukatakan. Hal yang samalah yang tengah mengganggu pikiran kita.”

Leo membalas pelukan Trisia, “Maafkan aku telah membawamu pada situasi yang lebih rumit.”
***

Sebuah hotel bergaya klasik menjulang di hadapan mereka. Pemandangan De Dam atau Dam Square yang pernah ia saksikan di televisi kini ada di depan matanya. Dengan segera ia putuskan, ia harus menyempatkan diri untuk memberi makan merpati disana.

Langkah Trisia mengikuti Leo menuju meja resepsionis. Matanya berkeliling ke penjuru ruangan yang sangat besar itu. Kemudian dari arah belakang, seseorang menabraknya hingga Trisia nyaris terjatuh. Beruntung Leo sempat memegangi lengan gadis itu.

Seorang pria tinggi besar mengucapkan kalimat aneh—mungkin bahasa Belanda. Nada suara pria itu seolah menanyakan sesuatu pada Trisia, namun Leo dan Trisia hanya saling bertatapan karena tak mengerti dengan bahasa pria tersebut. Buru-buru Leo menanyakan maksud pria itu dengan Bahasa Inggris.

“Kupikir nona ini orang Belanda. Maaf, aku tak sengaja. Apa dia baik-baik saja?” Tanya pria itu pada Leo dalam Bahasa Inggris yang segera diterjemahkan Leo pada Trisia.

“Dia baik-baik saja. Terima kasih.” Kata Leo menerjemahkan kalimat Trisia. Lalu Leo mengangguk sejenak sebagai tanda untuk berpamitan pada pria itu dan ia menarik tangan Trisia. Sementara mereka berjalan menjauh, pria itu masih berdiri di tempatnya, memerhatikan pasangan tersebut.
***

“Lantai tiga puluh?” Tanya Trisia ketika Leo menekan angka tiga puluh di lift. “Mengapa kau tidak memilih di lantai bawah?”

“Ini milik pamanku, dan beliau memiliki penthouse khusus keluarga di lantai paling atas.”

“Jadi hotel ini tiga puluh lantai?”

“Begitulah. Sekarang beliau membangun sebuah hotel lagi di Istanbul.”

“Wah… Keluarga kalian benar-benar luar biasa.”

“Itu karena kakekku telah mewariskan modal dan bakat pengusaha yang hebat.” Leo menjelaskan hingga lift telah terbuka di lantai tiga puluh. Mereka melangkah beriringan menuju ujung koridor dan Leo membuka pintunya.

“Beristirahatlah, ini kamarmu,” ujar Leo menunjuk sebuah kamar di dalam penthouse. “besok pagi kita memulai pencarian ibumu.”

“Lalu kau tidur dimana?”

Leo menunjuk sofa di belakangnya dengan ibu jarinya. “Disana.”

“Kenapa kau tidak masuk saja? Ranjang itu cukup besar untuk berdua.”

“Baiklah sayang,” Leo mengecup kening gadis yang kini menjadi miliknya. “Aku masih ada urusan sebentar. Begitu selesai, aku akan menyusul. Selamat tidur.”
***

Leo menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, kemudian mengangkat kedua kakinya ke atas meja. Ia membuka kaleng minuman yang telah disediakan di lemari pendingin. Kemudian sesekali menyentuhkan kaleng dingin itu pada dahinya. Ia memejamkan matanya, mengistirahatkan sejenak matanya hingga sesuatu seolah menempa kursi di sampingnya.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Trisia yang tiba-tiba duduk di samping Leo.

“Tidak ada, aku hanya tertidur. Kenapa kau disini?”

Trisia menyandarkan kepalanya di pundak Leo. “Apa pendapatmu jika kita memang benar-benar saudara?”

Hening. Leo tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Trisia. Yang jelas ia sama sekali tak ingin mendapati kenyataan bahwa mereka adalah saudara. Pikirannya begitu kacau, belum lagi Harry mengiriminya beberapa pesan singkat yang menyudutkannya. Ia tak begitu paham mengapa kakaknya begitu dendam pada Trisia meski bukan ia yang membuat ibu mereka meninggal.

“Entahlah. Atau kita kawin lari?” Canda Leo dengan cekikikan seperti yang sering dilakukannya selama ini. Tapi sejujurnya, ini bukan lelucon melainkan isi hati lelaki itu. Ia tak bisa memikirkan apapun selain kawin lari.

“Tapi apa kau tahu, jika kita tetap menikah, mungkin keturunan kita akan cacat?” Trisia menghela napasnya. Itu yang pernah didengarnya dari temannya.

“Kita bukan saudara.” Ujar Leo lugas.

“Mengapa kau begitu yakin?”

“Karena aku ingin menikah denganmu dan kita akan hidup bahagia bersama anak-anak kita.” Leo memberikan senyum lebutnya diikuti sebuah ciuman di puncak rambut Trisia. “Tidurlah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D