Senin, 11 April 2016

Orange Sunset (Empat belas)

Akhirnya, selamat datang di chapter terakhir Orange Sunset! \(^o^



ANGIN berembus lembut, menerpa pohon kelapa yang berderet di sepanjang pantai. Suara gemersuk beradu dengan suara deburan ombak yang memanjakan telinga. Pasir pantai tampak berkilauan terkena sinar matahari di langit yang biru cerah.

Dua pasang sejoli duduk berjajar di tepi pantai. Para gadis duduk berdampingan, diapit lelaki yang ada di sisi kanan dan kiri mereka. Tidak ada yang berbicara. Semuanya sibuk menikmati pemandangan yang jarang mereka temui sehari-hari. Apalagi selain mereka berempat, tidak ada lagi orang di sana. Seolah ini adalah pantai pribadi milik mereka.


Seperti yang dikatakan Silvia kepada Rangga, hubungan mereka akan kembali seperti semula. Rangga akan kembali ke sisinya, dan persahabatannya dengan Jihan tetap utuh seolah kejadian di hari reuni itu tidak pernah terjadi. Lalu bagaimana dengan Julian? Ia tidak terlalu peduli dengan koki tampan yang satu itu. Yang dipikirkannya hanya satu: Rangga akan belajar mencintainya. Itu sudah cukup. Tidak perlu lagi ia memikirkan lelaki lain.

Sudah satu minggu ini Silvia tidak hadir di kantor. Itu membuat Jihan menjadi pusat perhatian di antara rekan kerjanya. Banyak dari mereka menanyakan perihal absennya Silvia. Jihan tidak memiliki jawaban lain selain mengatakan bahwa ia juga tidak tahu. Beruntung, kepala divisi mereka tidak menanyakan hal tersebut sama sekali. Walaupun Jihan merasa sedikit heran.

Lama tidak bertemu Silvia yang biasa dilihatnya setiap hari, menumpuk perasaan rindu di hati Jihan. Tadi ketika mereka akhirnya bertemu, hal pertama yang ingin dilakukannya adalah memeluk Silvia dan berterima kasih karena gadis itu bersedia memaafkannya. Tetapi Jihan tahu diri, mengingat Silvia yang terus mengabaikan pesan dan panggilan darinya. Maka, ia menahan keinginan tersebut dan hanya menyapa Silvia dengan senyum. Silvia memang balas tersenyum dan membalas sapaannya dengan ramah. Tetapi ia tidak tahu bagaimana perasaan gadis itu sesungguhnya. Luka seperti apa yang disembunyikan di balik senyuman itu.

Walaupun mereka semua duduk berdampingan seperti sekarang, tetapi Jihan sadar bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Rangga memang tersenyum, Silvia juga tertawa, tetapi tidak sedikit pun dari semua ekspresi itu yang menyentuh mata mereka. Semua seperti sandiwara yang menyisakan perasaan canggung di udara. Kecuali Julian tentu saja. Seperti biasa, lelaki itu masih mampu menebarkan senyumnya yang sehangat matahari.

“Jihan, kau tidak bosan duduk terus seperti ini?” tanya Julian dengan wajah cemberut.

“Eh?” Jihan menoleh dengan kening mengernyit. Masih bingung karena lamunannya yang mendadak buyar.

“Kau tidak ingin berjalan-jalan?” Julian mempertegas maksudnya.

Jihan tidak langsung menjawab. Entah mengapa sejak tadi ia menangkap aura mengintimidasi dari Silvia yang duduk di sampingnya. Itu membuatnya tidak berani memutuskan apa pun tanpa persetujuan dari Silvia.

“Tidak apa-apa. Pergi saja.”

Kepala Jihan langsung bergerak menghadap Silvia saat mendengar gadis itu membantunya menjawab.

“Aku dan Rangga juga berniat untuk jalan-jalan berdua,” tambah Silvia dengan senyum palsunya. Gadis itu menoleh pada Rangga yang duduk di sisi kirinya. “Benar, kan?”

Rangga mengangguk. Senyum tipis yang kurang tulus menghias wajah lelaki itu. Ia menunjuk kamera yang sejak tadi menggantung di lehernya. “Aku kemari juga ingin berburu senja.”

“Baiklah kalau begitu.” Julian bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk celana selututnya yang bertaburan pasir pantai. “Ayo, Jihan.”

Jihan mengangguk dan ikut berdiri. Ia melambaikan tangan berpamitan kepada Rangga dan Silvia, sebelum akhirnya menyejajarkan langkahnya di samping Julian. Silvia membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum. Sementara Rangga menatapnya dengan sedih, membuat hatinya terasa perih. Seolah itu adalah pertemuan mereka yang terakhir kalinya.
***

“Jadi, begini saja akhirnya?” tanya Julian tanpa pendahuluan apa pun.

Jihan mengangkat wajahnya lalu memandang Julian yang duduk di hadapannya dengan dengan alis terangkat. Saat ini mereka sedang duduk di sebuah kedai di tepi pantai yang menyediakan kelapa muda.

“Apa maksudnya?”

“Kau dan Rangga.” Julian mengaduk-aduk kelapa mudanya menggunakan sedotan. “Aku kira kalian berdua akan berakhir dengan sebuah happy ending.”

Jihan menelan ludah. Ia kembali menunduk dan menyeruput kelapa mudanya, baru kemudian menjawab. Susah payah, ia menyunggingkan senyum. “Happy ending itu berlaku untuk kisah Rangga dan Silvia.”

Ini pertama kalinya Julian membahas tentang hubungannya dengan Rangga dan Silvia. Sejak lelaki itu menarik Jihan pergi di acara reuni itu, tidak pernah sekali pun Julian membahas tentang apa yang terjadi. Seolah lelaki itu sudah mengetahui segalanya tanpa perlu bertanya. Atau memang sama sekali merasa tidak tertarik.

“Apa menurutmu mereka benar-benar bahagia?”

Mungkin tidak. “Mereka pasti bahagia.” Jihan tersenyum masam. “Mungkin awalnya sulit. Setelah apa yang mereka alami karena aku. Tapi pasti mereka akan bahagia... nanti.”

“Lalu, apa kau sendiri bahagia?”

Kali ini, Jihan tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangan ke arah pantai yang tampak lebih tenang dari sebelumnya. Dengan sengaja menghindari sepasang mata Julian.

“Ya. Aku bahagia,” jawab Jihan dengan suara bergetar.

“Jangan sok tegar begitu. Menangis saja jika memang perlu.”

Alis Jihan langsung bertautan mendengar kata-kata Julian. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Tetapi sekuat tenaga ia menggigit bibirnya, mencegah agar air matanya tidak mengalir.

Sebelumnya Jihan sudah pernah kehilangan Rangga. Dan sekarang ia tidak ingin kehilangan Silvia juga dengan alasan yang sama. Bagi Jihan saat ini, persahabatan jauh lebih penting daripada hubungan percintaan dengan siapa pun di dunia.
***

Senja sudah nyaris menelan semua cahaya ketika Jihan dan Julian kembali ke tempat mobil yang membawa mereka terparkir. Dari kejauhan, Jihan bisa melihat Rangga dan Silvia sedang bercengkerama. Punggung pasangan itu bersandar santai pada pintu belakang mobil. Kepala mereka menengadah pada langit. Gemintang mulai menunjukkan kilaunya di atas langit yang menghitam.

Rangga langsung menoleh begitu menyadari kedatangan Jihan dan Julian. Ia mengatakan sesuatu kepada Silvia, lalu beranjak masuk ke kursi pengemudi. Silvia hendak mengikuti lelaki itu memasuki mobil, tetapi suara Jihan menahan gerakannya untuk membuka pintu.

“Silvia, ini untukmu.” Jihan mengulurkan tangannya yang tergenggam.

Silvia membuka lebar telapak tangannya di bawah genggaman Jihan. Sesuatu menyentuh kulit telapak tangan Silvia begitu  Jihan membuka genggamannya. Kening Silvia mengernyit samar mencoba menerka.

Begitu tangan Jihan tidak lagi menutupi pandangannya, Silvia terkesiap hebat. Matanya terbelalak dengan ekspresi yang mengeras.

“Cantik, kan?” tanya Jihan sambil tersenyum. Belum menyadari perubahan raut wajah Silvia yang tersembunyi di bawah cahaya temaram. “Tadi aku menemukannya di tepi pantai. Dan aku langsung teringat padamu.”

Silvia hanya bisa menatap bergantian pada Jihan dan sekeping cangkang kerang berwarna lembayung yang tergeletak di tangannya.

“Kenapa?” Ekspresi Jihan berubah cemas. Ia baru menyadari wajah Silvia yang pias seperti baru melihat hantu.  “Kau tidak suka, ya?”

Silvia mengangkat wajahnya yang cepat-cepat mengganti ekspresi. Segelintir senyum berkumpul di bibirnya. “Aku suka, kok. Terima kasih, ya.”
***

Silvia membenamkan wajahnya ke telapak tangan. Kedua sikunya bertumpu pada meja di hadapannya. Kertas-kertas yang bertumpuk di atas meja menuntut perhatian dari Silvia. Tetapi gadis itu sepertinya tidak peduli. Kepalanya dipenuhi kata-kata Rangga saat ia menemani lelaki itu berburu senja di pantai tempo hari.

‘Ceritakan tentang dirimu,’ pinta Silvia. ‘Aku ingin lebih mengenalmu.’

‘Tentang apa?’ tanya Rangga tanpa menjauhkan wajahnya dari balik kameranya.

‘Apa saja.’ Silvia mencoba memikirkan sebuah pertanyaan. ‘Misalnya makanan kesukaanmu?’

Rangga bergumam sambil menekan tombol kameranya beberapa kali. ‘Tidak ada yang spesial. Oh, tapi aku paling suka masakan Julian,’ jawab Rangga lantas terkekeh. ‘Walaupun dia cerewet setengah mati.”

Silvia ikut tertawa setuju mendengar jawaban Rangga sebelum kemudian ia melontarkan pertanyaan lain. ‘Bagaimana dengan cinta pertamamu? Gadis seperti apa dia?’

Saat itu, gerakan tangan Rangga langsung terhenti begitu saja. Lelaki itu menjauh dari kameranya. Sekilas matanya berserobok dengan pandangan Silvia yang menatapnya tanpa ekspresi berarti. Kemudian ia menegakkan tubuhnnya menghadap ke arah langit yang membara jingga.

‘Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri.’ Rangga memulai ceritanya. Matanya menerawang jauh ke tempat yang tidak bisa dijangkau Silvia. ‘Di hari kelulusan kami dari SMA, aku menyatakan perasaanku. Saat itu sedang senja, sama seperti sekarang.’

Kening Silvia mengernyit. Entah mengapa ia merasa familier dengan cerita ini. Hingga tanpa sadar, gadis itu menahan napasnya sambil menunggu Rangga melanjutkan ceritanya.

‘Aku ditolak tentu saja. Dia menganggap pernyataan cintaku hanya sebuah lelucon. Tidak lebih dari gurauan kami sehari-hari.’ Rangga melantunkan tawa untuk dirinya sendiri. ‘Aku tidak menyalahkannya. Selama ini aku memang tidak pernah memperlakukan dia sebagai seorang gadis yang kucintai. Jadi, wajar saja jika dia terkejut.

‘Aku juga terkejut. Tidak menyangka akan mendapat tanggapan seperti itu. Padahal, kan, menyatakan perasaan itu tidak semudah memasak mi instan. Aku tersinggung dan meninggalkan dia begitu saja. Lalu, hubungan kami terputus karena ternyata dia pindah ke luar kota.’ Rangga kembali mendenguskan tawa hambar di tengah ceritanya. ‘Ah, betapa bodohnya.’

Silvia hanya terdiam. Ia tahu benar siapa gadis yang diceritakan Rangga. Kepalanya tertunduk. Kedua mata menatap sekumpulan pasir yang membenamkan kakinya. Andai saja pasir-pasir ini bisa menghisapnya hingga lenyap dari sini.

‘Silvia?’ Suara Rangga terdengar cemas saat menyadari keheningan Silvia. ‘Maaf, kalau ceritaku tidak menarik.’

‘Bukan.’ Silvia menggeleng, masih dengan kepala tertunduk. Tidak berani menatap Rangga. ‘Mataku hanya sedikit pedih terkena angin pantai.’

“Kau ingin kita kembali ke mobil sekarang?’ tawar Rangga penuh perhatian.

Silvia mengangguk setuju. Mereka berdua berjalan beriringan menjauhi tepi pantai.

‘Oh, iya,’ gumam Rangga sambil merogoh saku celana pendeknya, lalu menyerahkan sesuatu kepada gadis yang berjalan di sampingnya. ‘Ini untukmu, Silvia. Semoga bisa membuatmu kembali tersenyum.’

Saat itu pipi Silvia langsung tersipu tentu saja. Hadiah yang diberikan Rangga memang sederhana. Hanya sekeping cangkang kerang berwarna lembayung. Tetapi ia menatapnya seolah itu adalah mutiara paling indah di dunia. Ia bahagia karena Rangga memikirkannya.

Silvia menyingkirkan tangan yang menutupi wajahnya. Membiarkan matanya memandang nanar pada sepasang cangkang kerang berwarna lembayung yang tergeletak di atas meja kerjanya. Kedua cangkang itu saling cocok satu sama lain. Begitu pantas disandingkan. Seperti sepasang sayap dewa cinta.

Oh, mengapa ia bisa bertindak seegois ini? Ia tega mengorbankan perasaan dua orang yang saling mencintai. Hanya demi dirinya sendiri yang tidak tahu apa-apa. Tetapi terus menerus merasa sebagai satu-satunya yang tersakiti.

Sekarang Silvia menyadari benar bahwa sejak awal ia hanya berperan sebagai cupid bagi Jihan dan Rangga. Pertemuannya dengan Rangga adalah jalan yang tercipta agar Jihan dan Rangga bisa kembali bersama.

Silvia terkesiap dari lamunannya saat dering telepon mengusik pendengarannya.
***

Jihan memandang hampa ke bilik kerja di sampingnya. Kursi itu masih saja kosong ditinggalkan penghuninya. Komputer yang ada di atas meja bahkan tampak kesepian. Ia menghela napas berat saat menyadari bahwa Silvia tidak datang lagi hari ini. Dan itu berarti hubungan mereka memang tidak bisa kembali seperti sedia kala.

Dan semua itu karena kesalahannya.

Perhatian Jihan kembali ke layar komputer di hadapannya. Ia harus kembali fokus bekerja. Setelah kehilangan sahabat dan lelaki yang dicintainya, tentu saja ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya juga.

Sangat sulit rasanya mengerjakan sesuatu dengan pikirannya yang kusut. Ingin rasanya ia mengunjungi rumah Silvia. Tetapi jika panggilan telepon dan pesan singkatnya saja diabaikan oleh Silvia, ia sangsi gadis itu mau menerima kehadiran Jihan di rumahnya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dengan kasar. Jihan dan seluruh rekan kerja yang berada satu ruangan dengannya menoleh secara bersamaan.

Saat melihat siapa yang membuka pintu, seketika itu Jihan langsung bangkit dari kursi kerjanya. Matanya mengerjap tidak percaya. Silvia memasuki ruangan itu dengan langkah-langkah lebar.

“Ayo, ikut aku,” ucap Silvia singkat. Nadanya terdengar memerintah.

“Eh?” gumam Jihan linglung. Ia menatap bergantian pada Silvia dan layar komputernya yang menyala.

“Matikan komputermu,” perintah Silvia saat menyadari kebingungan Jihan. “Kita harus bergegas.”

Jihan menelan ludah. Bagaimana mungkin ia mengikuti Silvia begitu saja? Bisa-bisa kepala divisinya meledakkan amarah kepada mereka berdua. Apalagi Silvia muncul tiba-tiba setelah absen dari kantor selama seminggu.

Tepat saat itulah pintu ruangan keramat itu terbuka. Kepala divisinya muncul dengan raut wajah kesal yang mendadak langsung menampilkan senyuman kaku. Pria berdahi lebar itu menganggukkan kepalanya. Jihan tidak mengerti apa arti anggukkan itu. Tetapi sedetik kemudian ia menurut saja saat Silvia menarik pergelangan tangannya, membawanya meninggalkan pekerjaan menumpuk di atas meja.
***

Sedan hitam mewah meluncur pergi meninggalkan area perkantoran. Jihan dan Silvia duduk di kursi penumpang belakang. Seorang lelaki muda dengan setelan jas yang rapi, duduk di samping  sopir yang mengendalikan mobil.

Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam benak Jihan. Tetapi tidak sedikit pun ia berani bersuara. Ia hanya bisa memerhatikan penampilan Silvia yang mengenakan setelan blazer dan rok span berwarna kelabu. Blus putih di balik blazernya, tampak pas dengan kulit Silvia. Rambut Silvia digelung tinggi seperti biasa. Sedikit kurang rapi karena beberapa helai rambut tampak lepas dari ikatan.

“Ada meeting yang harus Anda hadiri setelah ini, Nona Silvia.” Tetapi lelaki muda yang duduk di depan bersuara, memecah keheningan yang menyesakkan di dalam mobil.

Jihan mengernyit bingung. Apa ia tidak salah dengar? Mengapa orang ini memanggil Silvia dengan sebutan ‘nona’?

Silvia menghela napasnya dengan kesal. “Sudah kukatakan, batalkan jadwalku untuk tiga jam ke depan.”

“Tapi, meeting kali ini....”

Ck, lakukan saja,” tukas Silvia tidak terbantahkan.

Lelaki itu mengangguk pasrah dan mulai sibuk berbicara melalui ponselnya.

“Silvia, apa kau sudah pindah bekerja?” Jihan tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Silvia menggeleng. “Kita tetap bekerja di gedung yang sama. Hanya saja aku pindah ke lantai atas.”

“Kau... naik jabatan?” tanya Jihan dengan mata berkedip-kedip senang sekaligus tidak percaya. Melihat Silvia yang didampingi asisten pribadi, sepertinya jabatan Silvia saat ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Kepala Silvia mengangguk perlahan. “Sudah saatnya aku menempati posisi Presiden Direktur seperti yang diminta ayahku.”

Apa katanya tadi? Jihan menatap Silvia yang berekspresi datar. Sementara ia kebingungan dengan mulut ternganga lebar.

“Ayahku adalah pemilik perusahaan tempat kita bekerja. Sejak lama aku sudah dipersiapkan untuk menempati posisi itu tapi aku menolak. Aku ingin melihat langsung cara bekerja para karyawan sebelum aku memimpin mereka. Ayahku setuju dan aku sengaja menjadikan ini sebagai rahasia.” Silvia mengembuskan napas panjang. “Tapi itu tidak penting sekarang.”

Jihan membasahi bibirnya yang terasa kering. Jadi, selama ini ia berteman dengan seorang anak dari pemilik perusahaan? Astaga, itu berarti seharusnya Silvia memiliki wewenang untuk menendangnya keluar dari perusahaan kapan pun diinginkan. Tetapi Silvia yang baik tidak melakukan itu. Sekali pun Jihan sudah menyakitinya.

“Apa kau tahu jika Rangga akan pergi ke luar negeri?”

Belum sempat memahami dengan baik penjelasan singkat Silvia, sebuah kejutan lain menghantam kening Jihan. Ia hanya mampu menggelengkan kepala untuk menjawab Silvia.

“Sudah kuduga.” Silvia menghela napas berat. “Tadi Julian meneleponku. Dia juga meneleponmu tapi sama sekali tidak aktif.”

Cepat-cepat Jihan merogoh tasnya. Begitu mendapatkan ponselnya, ia mendapati benda itu dalam keadaan off. Jihan merutuki kebodohannya sendiri.

“K-kenapa Rangga pergi?” tanya Jihan setenang mungkin. Tidak ingin menunjukkan kesedihannya pada Silvia.

“Sepertinya dia ingin menghindariku.” Silvia memperlihatkan senyum masam yang membuat jantung Jihan seperti ditusuk jarum.

“Kalian bertengkar?”

“Tidak.” Kesedihan langsung merambat cepat melumuri paras cantik Silvia. “Tapi aku mengakhiri hubungan kami.”

Apa-apaan itu? Urat protes mencuat di kening Jihan. Ia sudah mengorbankan perasaannya tetapi Rangga dan Silvia malah menyia-nyiakannya. Bahkan lelaki itu berniat melarikan diri ke luar negeri.

“Saat itu aku sengaja mengajak kalian berlibur ke pantai. Aku ingin menunjukkan padamu bahwa Rangga memilihku. Bahwa aku sudah menang darimu.” Silvia memandang Jihan dengan mata berkaca-kaca yang merefleksikan perasaan berdosa. “Tetapi aku sangat menyesal begitu menyadari siapa lelaki senjamu itu.”

Wajah Jihan pias seketika. Cepat atau lambat Silvia pasti akan mengetahuinya.

“M-maaf.”

“Seharusnya aku yang meminta maaf.” Kening Silvia berkerut sedih. Cepat-cepat ia memeluk Jihan untuk menutupi air matanya yang menetes. “Aku minta maaf karena sudah membuat kalian menderita karena keegoisanku.”

Jihan membalas pelukan Silvia dengan erat. Air mata juga perlahan merembes di pipi gadis itu. “Aku memang tidak bisa menjadi sahabat yang baik untukmu.”

“Kau sahabat terbaikku,” balas Silvia dengan suara bergetar yang tertahan. “Aku tidak ingin persahabatan kita putus.”

“Aku juga.”

“Kita sudah sampai di bandara internasional, Non.”

Mendengar suara sopirnya yang seperti tidak mengerti suasana, Silvia langsung melepas pelukannya. Ia dan Jihan langsung bertukar tawa di sela-sela isakan. Entah karena perasaan lega atau sekadar menertawakan make-up mereka yang luntur karena air mata. Membuat dua orang yang duduk di depan saling memandang kebingungan.

“Kejarlah Rangga,” kata Silvia sambil menyerahkan selembar kertas kepada Jihan. “Cegah dia agar tidak jadi berangkat.”

Jihan memandang lekat-lekat kertas dalam genggamannya. Tertulis nama penerbangan dan jam keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi Rangga. Ia yakin informasi ini didapat Silvia dari Julian.

“Maaf sudah membuat kalian berdua menderita karena aku. Sudah cukup kalian berpisah selama ini,” ucap Silvia lantas memberikan pelukan terakhir kepada Jihan sebelum melepas sahabatnya turun dari mobil.
***

Kepala Jihan bergerak lebih cepat untuk mencari. Matanya lebih tajam daripada elang yang siap memangsa tikus yang bersembunyi di bawah tanah. Ia berusaha menemukan sosok Rangga di tengah suasana bandara yang hibuk.

Tepat saat itulah, sosok yang dicari Jihan menjelma nyata. Lelaki itu baru saja turun dari taksi di depan bandara. Sebuah carrier yang tampak penuh menempel di punggungnya. Sementara tangan lelaki itu menenteng koper kecil berwarna hitam seperti parka yang dikenakannya.

Jihan tidak percaya Rangga benar-benar akan pergi meninggalkannya. Maka ia memacu cepat langkahnya. Tidak peduli pada hak sepatu kerjanya yang meraung protes. Ia hanya ingin segera berada di hadapan lelaki itu, berharap kehadirannya akan membuat Rangga mengurungkan niatnya.

Tetapi begitu Jihan berdiri di hadapan Rangga, tidak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya. Begitu juga dengan lelaki itu yang menatapnya dengan mata terbelalak. Mereka terdiam cukup lama hingga Jihan berharap waktu berhenti saat ini.

“Apa-apaan wajahmu itu?” Rangga berkomentar tiba-tiba. Seulas tawa kecil melompat dari bibirnya. “Bukan hanya pemilihan warna kutekmu yang lucu. Caramu memakai make-up juga tidak biasa.”

Jihan tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Entah bagaimana rupanya saat ini. Seburuk apa pun penampilannya sekarang.  Ia hanya perlu melangkahkan kakinya perlahan semakin dekat dengan Rangga.

“Apa benar kau akan pergi?” tanya Jihan begitu ia hanya berjarak setengah meter dari tempat Rangga berdiri.

Tolong katakan tidak. Jihan masih berharap di dalam hati.

“Iya,” jawab Rangga ringan sambil tersenyum. “Aku berencana akan mengirimimu surel begitu tiba di tempat tujuanku.”

Hati Jihan mencelus begitu mendengar jawaban Rangga. Apa hanya ia yang merasa sedih di sini?

“Apa ini karena... aku?”

Rangga menggelengkan kepalanya. “Ini bukan karena siapa-siapa. Aku pergi karena aku memang ingin pergi. Kau tahu, kan, sejak dulu aku selalu ingin memotret senja di seluruh dunia.”

“K-kalau begitu, ajak aku,” ucap Jihan perlahan. Setengah mati menekan perasaan malunya. “Aku juga ingin melihat senja bersamamu.”

“Kau sedang panik dan tidak bisa berpikir jernih, Jihan.” Rangga tertawa kecil. “Aku ragu kau tidak akan menyesalinya nanti.”

Jantung Jihan seperti tertusuk ribuan pedang saat mendengar penolakan itu. Padahal Rangga pernah berkata bahwa hanya Jihan yang dicintainya. Padahal akhirnya mereka bisa benar-benar bersama. Padahal mereka tidak perlu lagi menyembunyikan perasaan. Tetapi ini yang hadir di hadapan Jihan?

Rangga akan pergi jauh meninggalkannya.

Kepala Jihan tertunduk dalam. Gumpalan air mata di pelupuk matanya tidak kuasa menahan beban. Berkali-kali ia mengigit bibirnya untuk meredam perasaannya. Tetapi semakin ia mencoba, semakin sulit dirinya untuk bertahan. Hingga akhirnya isakan demi isakan melompat bebas ke udara.

Hanya dengan melihat bahu Jihan yang bergetar, Rangga tahu gadis itu menangis. Ingin rasanya ia membatalkan keberangkatannya dan tinggal di sini, menghapus air mata gadis itu. Tetapi ia tidak mungkin melakukan hal itu. Maka, ia merentangkan tangannya dan menarik Jihan ke dalam dekapannya. Tidak peduli pada tatapan mata orang-orang yang memerhatikan mereka. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini.

Dengan penuh kelembutan, Rangga mengusap punggung Jihan. Pipinya menempel di puncak kepala gadis itu. Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya menunggu dengan sabar hingga gadis dalam dekapannya merasa tenang.

“Semoga di lain waktu kita akan dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik,” bisik Rangga di rambut Jihan.

Perlahan, Rangga membebaskan Jihan dari pelukannya. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Seolah Jihan adalah benda rapuh yang akan hancur hanya dengan embusan napas.

“Aku pergi dulu, ya,” pamit Rangga sambil menenteng kembali tasnya dari lantai bandara.

Aku mohon jangan pergi. Sekuat tenaga Jihan ingin meneriakkan kalimat itu. Tetapi bibirnya seolah bisu, menolak untuk bersuara. Ia hanya bisa terus berharap dalam hati dan membiarkan Rangga melemparkan senyum perpisahan. Kemudian lelaki itu melangkah cepat menjauhi Jihan, meninggalkan gadis itu dengan perasaan yang berantakan.

Begitu punggung Rangga menghilang di pintu keberangkatan, tangis Jihan kembali pecah.
***

Tidak sedetik pun Rangga menoleh. Sekuat tenaga lelaki itu mengendalikan dirinya untuk tidak membalikkan tubuhnya. Ia tahu bahwa jika ia kembali melihat Jihan, tidak akan ada kesempatan baginya untuk pergi. Hatinya akan memilih untuk menetap di sisi gadis itu.

Rangga sangat yakin dengan keputusannya kali ini. Hanya ini yang bisa dilakukannya sekarang. Ia sudah mengecewakan kedua orang tuanya, juga Silvia dan kedua orang tua gadis itu. Dan yang terburuk ia sudah menyakiti perasaan Jihan. Ia terlalu memaksakan kehendaknya pada gadis yang dicintainya.

Pergi adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki Rangga. Sekali pun ia harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Julian tentangnya itu benar. Ia memang tidak lebih dari seorang bajingan yang pengecut.

Rangga menarik napasnya dengan susah payah. Dalam hati, ia berharap Jihan akan selalu bahagia. Dan semoga mereka bisa bertemu kembali suatu hari nanti. Tetapi sekarang mereka memang sebaiknya saling melepaskan diri ke arah yang berbeda.

Entah berapa jauh jarak senja yang kini memisahkan mereka.


Selanjutnya di Orange Sunset (Epilog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D