Rabu, 27 April 2016

RabuRabuChallenge - Snowfall



Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan.

“Apa yang kalian inginkan?” tanya lelaki yang tetap berdiri tanpa gentar. Sekali pun dua orang di hadapannya terang-terangan menunjukkan niat yang tidak baik.

“Hide-kun, kau mengenal mereka?”

Suara bisikan dari gadis yang menempel erat di dekat punggungnya, mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri.

Hideaki mengangguk. “Mereka ‘kenalan’-ku semasa SMA.”

Hisashiburi da ne1, Hideaki-kun,” sapa salah seorang dari mereka dengan nada manis yang jelas-jelas palsu. Napas putih mengepul ke udara yang dingin. “Aku tidak menyangka bisa bertemu kembali denganmu setelah sekian lama.”

“Katakan saja, apa maumu, Ken?” tanya Hideaki setenang mungkin. Walaupun sebenarnya organ di dada kirinya berdebar dengan kencang. Tubuhnya merasa tegang. Bukan karena khawatir dengan keselamatan dirinya, melainkan keselamatan gadis yang saat ini mencengkeram erat lengannya.

Hideaki menoleh ke arah Mirei melalui bahunya. Mirei mendongak dan bertatapan langsung dengannya. Ketakutan kentara jelas melumuri kedua mata gadis itu yang terbelalak. Ditambah cengkeramannya yang semakin erat di lengan Hideaki. Hingga lelaki itu bisa merasakan bahwa tubuh Mirei gemetar.

“Aku rasa kau pasti tahu apa mauku,” ucap Ken sambil maju selangkah. Ujung telunjuknya mengusap-usap sebuah bekas luka memanjang di dekat pelipisnya.

“Astaga.” Hideaki mendengus jengah. “Kukira masalah itu sudah selesai di antara kita.”

“Mana mungkin selesai begitu saja, huh?” hardik Ken dengan nada tinggi.

“Jadi kau sengaja datang hanya untuk menuntut pembalasan?”

Ken menganggukkan kepalanya dengan angkuh. “Aku ingin memberimu luka serupa,” ucapnya dengan penekanan pada setiap kata.

“Tapi, bukankah tidak adil jika kau menyerangku bersama-sama teman-temanmu?” ujar Hideaki sambil menatap satu persatu orang yang ada di hadapannya. Termasuk tiga orang yang berdiri di bawah bayangan pepohonan di pinggir jalan. “Itu pengecut namanya.”

Damare!2” teriak Ken dengan amarah yang terpancing. “Kau sendiri langsung berlari terbirit-birit tadi ketika bertemu denganku. Oh, oh—apa karena gadis itu?”

Melihat sepasang mata Ken yang menunjuk ke balik punggungnya, membuat Hideaki semakin menegakkan punggungnya. Tangannya terentang protektif. Tidak ingin seorang pun memunculkan niat untuk menyakiti gadisnya.

Hideaki mengenal orang-orang yang mengerubungi mereka saat ini. Orang-orang kasar ini sudah menjadi berandalan sejak mereka masih SMA. Pernah karena pecah suatu masalah antar sekolah, membuat Hideaki dan Ken terlibat dalam baku hantam. Saat Hideaki masih sanggup berdiri di ujung perkelahian mereka, Ken sudah terkapar tidak berdaya. Dan tampaknya Ken masih menyimpan dendam karena kekalahannya saat itu.

“Jangan ganggu dia, kumohon.”

Tawa Ken langsung meledak ke langit malam begitu mendengar ucapan Hideaki. “Yare, yare3. Baru kali ini aku mendengar seorang Hideaki memohon.”

“Aku serius dengan kata-kataku, Ken,” tukas Hideaki tajam.

“Aku tidak peduli dengan kata-katamu. Karena kau akan habis malam ini.” Mata sipit Ken menatap sinis ke arah Hideaki.

Mirei menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang. Suasana tampak sunyi senyap. Biasanya, jalan ini memang sepi. Tetapi paling tidak seharusnya ada satu atau dua orang yang terlihat. Sedangkan hari ini, ketika salju turun dengan lebat, tidak tampak seorang pun di jalan selain mereka.

Hideaki menyeret langkah mundur dengan Mirei yang masih menempel padanya. Jejak sepatu boots mereka tercetak di permukaan salju yang menyelimuti jalanan.

Melihat gelagat mangsanya yang seperti hendak melarikan diri, seketika membuat Ken naik pitam. “Serang,” gumamnya sambil menggertakkan gigi karena amarah.

Hanya karena satu kata itu, semua mendadak kacau. Semua orang kecuali Ken langsung berlari mengejar Hideaki dan Mirei tengah berlari mencoba menyelamatkan diri. Nahas, salah satu dari orang-orang kasar itu berhasil menangkap lengan Hideaki.

Sebuah pukulan mendarat telak di pelipis Hideaki, membuat kepalanya seperti meledakkan sayap kunang-kunang. Ia memaksakan diri untuk langsung bangkit ketika menyadari genggaman tangannya yang terlepas dari Mirei. Kakinya berpacu cepat ke arah Mirei yang gemetar ketakutan dikepung tiga lelaki berwajah seram.

Tanpa pikir panjang lagi, Hideaki langsung menerjang Mirei hingga jatuh tersungkur ke atas tanah berselimut salju. Beruntung, jaket tebalnya cukup melindunginya dari benturan hebat. Gadis itu memekik keras, entah karena terkejut atau kesakitan. Tubuh gadis itu melesak ke dalam timbunan salju. Sementara Hideaki berada di atasnya, menahan beban tubuh dengan kedua tangan dan lututnya.

Seseorang melayangkan tendangannya ke punggung Hideaki. Tetapi lelaki itu bergeming, mempertahankan posisinya. Begitu juga saat pukulan bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuhnya. Uap putih meluncur keluar dari mulutnya setiap kali ia mengerang menahan sakit. Tanpa sedikit pun membiarkan pertahanannya goyah.

Hideaki merasa kecewa pada dirinya sendiri. Bukan seperti ini White Christmas yang direncanakannya. Ia ingin menjadikan hari ini spesial. Bukannya malah membawa gadis itu dalam masalah.

Tetapi bukan saatnya menyesal sekarang. Yang harus dilakukannya sekarang adalah memastikan keselamatan gadis ini. Bagaimanapun, Mirei tidak ada hubungan sama sekali dengan semua ini. Ia tidak mungkin membiarkan Mirei terluka seujung kuku pun. Tadi saja ia merasa jantungnya berhenti berdegup saat sekumpulan berandalan itu mengepung Mirei.

Astaga—kalau saja sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Mirei, ia... apa yang akan terjadi padanya?

Mirei memekik ngeri saat melihat darah segar menetes dari bibir dan pipi Hideaki. Menciptakan corak lingkaran-lingkaran di atas putihnya salju. Sesaat dunia menjadi hening. Pendengarannya tidak bisa menangkap suara lain selain isakannya sendiri. Sementara air mata semakin mengalir deras di wajahnya yang gemetar.

Waktu terasa bergerak lambat hingga akhirnya ia mendengar suara teriakan yang bernada memerintah. Diikuti cahaya-cahaya menyilaukan yang muncul mendadak. Dan bersamaan dengan itu, tubuh Hideaki berhenti berguncang.

Bantuan sudah datang! Mirei bernapas lega dengan dadanya yang terasa sesak. Itu pasti polisi atau siapa pun yang  dihubungi Hideaki saat mereka kabur melarikan diri tadi.

Mirei mengulurkan tangannya. Penuh kehati-hatian ia menyentuh pipi Hideaki yang berlumuran darah. Segaris senyum tersungging di bibir Hideaki yang bengkak. Susah payah, lelaki itu mencoba bicara dengan sekujur tubuhnya yang menegang. Akhirnya, hanya sebuah bisikan yang mampu dihasilkan bibirnya sebelum semuanya berubah gelap.

“M-mirei... aishite... imasu....”
***

Ini bukan pertama kalinya bagi Mirei melihat Hideaki terluka.

Saat itu, Mirei baru saja pulang dari bimbingan belajar. Masih mengenakan seragam SMA-nya, ia berjalan melewati taman. Matanya menangkap sosok seorang lelaki yang duduk bersandar di salah satu pohon. Lelaki itu mengenakan gakuran4 yang tampak berantakan, sementara asap nikotin berembus dari bibirnya yang bengkak.

Entah setan apa yang merasukinya saat itu, hingga membuat Mirei malah melangkah mendekat alih-alih menjauh dari berandalan seperti itu.

‘Hei, kau terluka,’ ucap Mirei saat itu. Begitu ia tiba di hadapan lelaki itu.

Tetapi lelaki itu hanya melirik padanya acuh tidak acuh. Dan malah kembali menghisap batang rokok yang dijepit dengan dua jarinya.

‘Lebih baik kau usap dulu darahmu.’ Mirei mengulurkan sapu tangan yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Lelaki itu melirik ngeri ke arah sapu tangan merah muda yang dipenuhi gambar bunga. ‘Ini hanya luka kecil. Aku tidak butuh itu.’

‘Kalau begitu, tutupi lukamu dengan ini,’ ucap Mirei sambil menyodorkan serenteng plester penutup luka.

Ck. Aku baik-baik saja. Tidak butuh apa pun darimu,’ tukas lelaki itu dingin.

Hontou ni daijoubu?5’ tanya Mirei penuh kekhawatiran. Sama sekali tidak tersinggung atas sikap ketus yang diterimanya.

Lelaki itu hanya mengangguk kecil, mempertahankan sikapnya yang sekeras batu.

‘Baiklah.’ Mirei berkata sambil tersenyum. Ia memasukkan kembali sapu tangan dan plester luka yang menuai penolakan itu ke dalam tas. ‘Kalau begitu, aku pulang dulu.’

Diam-diam, lelaki itu memerhatikan Mirei yang berbalik memunggunginya. Gadis itu menjauh selangkah demi selangkah. Meninggalkan ia dengan segala kekerasan kepalanya.

‘Tunggu!’ Lelaki itu berseru.

Mirei menghentikan langkahnya, lalu berbalik kembali.

‘Setidaknya, beritahukan namamu.’

‘Namaku Mirei. Yamashita Mirei.’ Sudut-sudut Mirei berkedut hendak melukiskan senyuman. ‘Namamu?’

Lelaki itu terdiam sejenak, kembali mengisap tembakaunya. ‘Hideaki,’ ucapnya setengah bergumam.

Itulah bagaimana mereka bertemu pertama kali dua tahun yang lalu.
***

Mirei menumpukan kedua sikunya di tepian tempat tidur. Keningnya menempel pada seluruh jemarinya terjalin kuat, memohon doa sepenuh hati. Sementara beragam kenangan berkelebat dalam benak Mirei. Sama sekali tidak menyangka ia harus kembali  melihat lelaki ini terluka.

Tiba-tiba sebuah erangan pelan menyentaknya dari lamunan. Sontak Mirei mengangkat kepalanya dan mendapati Hideaki yang tengah mengernyit, seperti menahan sakit. Ia menahan napasnya, saat melihat kelopak mata lelaki bergerak-gerak hendak membuka.

“Hide-kun?” bisik Mirei mencoba membantu Hideaki mengembalikan kesadarannya.

Hideaki menggerakkan kepalanya ke arah suara yang memanggilnya. Ia bisa melihat wajah Mirei melalui pandangannya yang masih kabur. “Mirei?” bisiknya dengan suara serak.

“Syukurlah. Kau akhirnya sadar,” ucap Mirei penuh kelegaan. Tetapi nada bicaranya langsung berubah panik saat melihat Hideaki memaksakan diri hendak bangkit. “Hei, hei. Tunggu dulu. Pelan-pelan saja.”

Mulut Hideaki melepaskan erangan penyesalan karena sudah bergerak tanpa berpikir. Ia kembali memejamkan kelopak matanya yang terasa berat. Sementara sentuhan surgawi di bahunya, membuat perasaannya jauh lebih tenang.

“Apa kau terluka?”

Mirei menggeleng. Air mata masih membayang di pelupuk mata, membuatnya kesulitan untuk bicara lancar. “Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah.” Suara Hideaki bersalut perasaan lega luar biasa. Tetapi perasaan itu tidak bertahan lama. “Para bajingan itu....”

“Polisi sudah mengurus orang-orang itu,” sambung Mirei dengan nada bicara yang serius. “Pamanmu yang mengurus semuanya. Ia memintamu untuk memerhatikan kondisimu. Karena begitu sehat, kau harus memberikan pernyataan kepada polisi.”

Hideaki hanya terdiam dengan mata terpejam. Hingga Mirei mengira lelaki itu sudah kembali tertidur.

“Maaf,” gumam Hideaki dengan suara parau.

Kening Mirei mengernyit bingung. Bibir gadis itu mengerucut, menunggu lelaki yang terbaring babak belur itu menyatakan alasannya meminta maaf.

“Maaf karena membuatmu ketakutan,” lanjut Hideaki lantas membuka mata dan menatap langsung pada sepasang mata Mirei yang berkaca-kaca. “Maaf karena memberikan natal yang buruk untukmu. Maaf karena belum bisa mengabulkan hadiah yang kauminta. Maaf karena—”

“Hadiah?” sela Mirei dengan wajah penuh tanda tanya. “Hadiah apa yang kaumaksud?”

Hideaki menggidikkan bahu tidak mengerti. “Kau sendiri belum mengatakannya apa yang kauing—“ Kata-katanya diputus suara batuk yang melompat liar dari tenggorakannya yang kering.

Cepat-cepat Mirei membantu Hideaki untuk duduk. Lalu ia menyodorkan segelas air yang tadi diletakkan perawat di atas nakas. “Jangan terlalu banyak bicara dulu.”

Setelah tenggorakannya mendapat cairan yang cukup, Hideaki kembali berkata-kata. “Suatu hadiah yang bukan benda apa pun di dunia ini. Memang apa itu?”

“Oh, itu.” Ingatan Mirei langsung terkumpul mengenai hadiah yang diinginkannya. “Tidak masalah. Kau sudah memberikannya.”

Bagaimana mungkin? Kening Hideaki mengernyit dalam, mencoba mengingat-ingat kapan ia memberikan hadiah itu. Tetapi nihil. Tidak ada petunjuk sedikit pun yang tersisa. Apa mungkin ia sudah memberikannya saat sedang tidak sadarkan diri?

“Kapan aku memberikannya?”

Hem.” Mirei mengulum senyum penuh arti yang tampak mencurigakan bagi Hideaki. “Beberapa saat sebelum kau pingsan.”

Hideaki ingat saat itu sekujur tubuhnya terasa sakit. Kelopak matanya berat. Kepalanya seperti berputar-putar. Tetapi ia sama sekali tidak bisa mengingat apa yang sudah dilakukannya untuk gadis itu dalam keadaan sekarat.

“Memang apa yang sudah kulakukan?”

“Kau mau makan apel?” tanya Mirei sambil memilih buah dari keranjang yang terletak di atas nakas. Kentara sekali gadis itu ingin mengalihkan pembicaraan.

“Jawab pertanyaanku, Mirei.”

“Atau kau lebih suka jeruk?”

“Berhenti mengabaikanku,” tukas Hideaki tajam. Menandakan bahwa ia sedang tidak ingin bercanda.

Mirei menghela napas panjang. Ia meletakkan kembali buah-buah dari genggamannya ke keranjang. “Baiklah. Aku akan mengatakannya. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa itu?”

“Kau harus melakukannya lagi untukku,” tantang Mirei sambil melipat tangannya di depan dada.

“Tidak masalah,” sahut Hideaki cepat. Terlalu cepat karena dikuasai rasa penasaran.

“Benarkah?” tanya Mirei nyaris bersorak. “Kau berjanji?”

Hideaki mengangguk mantap penuh percaya diri.

“Aku memintamu untuk mengatakan bahwa kau mencintaku.”

Apa? Mata Hideaki terbelalak lebar. Tetapi kemudian ia meringis saat merasakan luka di pelipisnya yang terasa perih.

Itu tidak mungkin terjadi, kan? Ia sama sekali bukanlah tipe lelaki yang suka mengumbar kata-kata cinta. Sekali pun kepada gadis yang sungguh-sungguh dicintainya. Baginya, cinta harus ditunjukkan dengan tindakan. Bukan sekadar kemahiran merangkai kata buaian.

“Omong-omong, aku menunggumu. Janjimu,” gumam Mirei tanpa menatap langsung kepada Hideaki. Tetapi jelas-jelas sindirian itu tertuju untuk satu orang.

Sial benar. Hideaki mengumpat dalam hati. Tetapi bagaimana lagi? Siapa yang bisa menolak permintaan seorang gadis seperti Mirei? Apalagi saat melihat gadis itu  menyembunyikan senyum di balik syal tebal yang nyaris menutupi setengah wajahnya.

Dengan wajah terbakar malu, Hideaki susah payah menggerakkan bibirnya untuk berucap. “Mirei Yamashita, aishiteimasu6.”


TAMAT


1Hisashiburi da ne: Sudah lama tidak bertemu.
2Damare!: Diamlah!
3Yare-yare: Ya, ampun.
4Gakuran: Seragam sekolah khusus laki-laki.
5Hontou ni daijoubu?: Kau sungguh tidak apa-apa?

6Aishiteimasu: Aku mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D