Selasa, 03 Mei 2016

Green Eyed - Chapter 2


Nico menyangga kepalanya yang terasa berat dengan telapak tangan miliknya. Sekumpulan berkas-berkas perusahaan yang membutuhkan tanda tangannya masih tertata rapi di sudut meja. Pandangan matanya kosong menatap berkas yang berada di dalam amplop coklat berukuran besar yang sejak tadi digenggamnya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Segala informasi mengenai kecelakaan itu telah berada di tangannya dan sayangnya semua itu lebih buruk dari yang ia kira.

Nico mengembuskan nafas besarnya. Mencoba mengatur strategi untuk menyampaikan kabar tersebut pada Elena tanpa membuat gadis itu berteriak histeris. Ia memang telah berjanji untuk melindungi gadis itu. Tapi pada waktu itu ia berkata spontan hanya karena gadis itu tampak sangat cantik di matanya. Ia berdecak kesal merutuki spontanitas konyol itu. Bukan karena ia tak bisa melindunginya. Tetapi Nico sempat membelalakkan mata tak percaya bahwa korban kecelakaan itu adalah adik dari pemilik Quarts Design, rekan bisnis perusahaan.

“Korbannya sempat mendapatkan pertolongan di rumah sakit. Tetapi sayangnya dia tidak tertolong. Dia meninggal semalam.” Ujar lelaki berkumis tipis sambil menyerahkan sebuah amplop coklat berukuran besar.

“Lalu bagaimana dengan keluarganya?”

“Keluarganya melayangkan tuntutan pada tersangka penyebab kecelakaan.”

Pembicaraannya dengan Dani—kaki tangan Nico—tadi pagi terus berputar dalam ingatannya. Nico memejamkan matanya, membayangkan kembali bagaimana cantiknya wajah Elena. Sesaat kemudian fakta bahwa keluarga korban melayangkan tuntutan untuk Elena membuyarkan bayangannya.

“Sial!” Nico memukul meja kerjanya dengan kesal, kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.
***

Ia masih saja mengurung diri di kamarnya hingga Evan harus mengantarkan sarapannya ke kamar. Matahari telah meninggi, sinarnya menembus jendela kaca yang tirainya telah dibuka oleh Evan saat ia mengantarkan makanannya tadi pagi sebelum ia bekerja. Elena masih terjaga, sama sekali belum merasakan tidur sejak semalam. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri merasakan ketakutan yang luar biasa di dadanya. Air matanya kembali lolos, dan pada saat yang sama ia mendengar pintu kamarnya diketuk.

Kak, kau sudah pulang?” Elena menghapus air matanya, kemudian berbalik menatap pintu kamarnya yang terbuka.

“Aku pulang cepat karena aku akan ke luar kota sore ini, Len.”

Mata Elena terbelalak lebar. Bagaimana bisa dalam saat-saat seperti ini kakaknya justru tak bisa menemaninya. Ia butuh seseorang saat ini. Segala kecemasan bergelayut dalam hatinya, membuatnya hatinya semakin gelisah.

“Ada suatu hal yang harus kukatakan padamu Len. Ini tentang…” Evan menangkap kecemasan yang ada dalam raut wajah adiknya itu sehingga ia menggantungkan kalimatnya.

“Katakan kak…”

“Keluarga mereka… menuntutmu.” Evan menunggu perubahan ekspresi adiknya saat mendengar itu. “Dan orang itu meninggal semalam.” Tambahnya ragu.

Kenyataan itu menggodam kepala Elena, memang inilah yang harus ia terima atas kesalahannya. Ia tahu bahwa hari ini akan datang, tapi tak pernah ia sangka akan datang secepat ini. Apa yang harus ia lakukan? Ia terduduk kaku, matanya nyalang menatap Evan. Evan mendekat untuk memeluk adiknya, tetapi sama sekali tak ada respon dari Elena.

“Adik kecil, bersiaplah.” Seseorang yang tengah melipat tangannya, bersandar pada kosen pintu kamar Elena. Elena menatapnya tanpa ekspresi, berkutat dalam pikirannya yang sangat membebaninya.

“Apa maksudmu?”

“Kau harus pergi dari sini sebelum polisi menangkapmu, Len.” Evan menjelaskan rencananya yang telah ia buat bersama Nico sejak pagi. Ia akan meminta Nico membawanya pergi jauh dari kota ini. Meski tak sepenuhnya percaya, tetapi tak ada pilihan lain. Evan harus memberikan keputusan untuk hidup adiknya.

“Kau tidak ikut bersamaku?” Tanya Elena yang disambut gelengan oleh Evan. “Jangan bercanda! Bagaimana bisa kau memberikanku pada lelaki asing yang aku bahkan tak pernah mengenalnya sebelumnya?” Seru Elena tak setuju.

“Aku tak akan berbuat macam-macam kepadamu, adik kecil. Kau bisa percaya padaku. Aku hanya menyukai gadis-gadis seksi dan kau tak termasuk dalam daftar. Cepatlah. Polisi sedang dalam perjalanan kemari.” Ujar Nico berbohong yang kemudian diiyakan oleh Evan.
***

Ia duduk termenung dengan kacamata gelap yang membingkai pemandangan di hadapannya. Kepalanya yang terasa berat disandarkan pada kaca mobil di sampingnya. Perjalanan ini cukup hening meski telah lewat tiga jam perjalanan. Dinginnya AC yang menerpa wajah gadis itu sama sekali tak terasa dingin di kulitnya, karena tubuhnya terasa begitu terbakar oleh kecemasan.

“Kau sudah lapar?” Tanya lelaki di sampingnya yang sejak tadi terus memerhatikan gadis itu dalam diam. Gadis itu menjawab dengan gelengan pelan dan lagi-lagi lelaki itu mendengus kesal.

“Adik kecil, jangan diam begini. Kau bisa membuatku mengantuk.” Ujar lelaki itu yang kemudian mengganti lagu yang dimainkan di tape mobilnya.

“Kau membawaku kemana?” Suara parau Elena mengurai sebuah senyum di bibir lelaki itu.

“Aku akan membawamu sejauh mungkin.”

“Lalu pekerjaanmu?”

“Ayahku besok akan kembali. Dan aku bisa meninggalkan kantor. Aku hanya menjabat sementara.”

“Nick… aku… apa aku akan masuk penjara?” Ini adalah poin penting bagi Elena. Ia tahu hal ini akan selalu mengganggu pikirannya seumur hidup. Elena menautkan kedua tangannya dengan erat, menggigit bibir bawahnya.

Nico menatap gadis itu sambil sesekali menatap jalanan di depannya yang terbingkai oleh kaca mobil yang sedikit gelap. Ingin rasanya lelaki itu memeluk Elena. Namun Nico menelan keinginannya mentah-mentah. Kemudian Nico menyentuh tangan Elena yang terasa dingin.

“Tenang adik kecil, kau aman bersamaku.”

Elena ingin sekali protes dengan panggilan lelaki itu, ia bukan adik kecil lagi. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Jika Nico mengatainya saat situasi baik-baik saja, mungkin ia akan marah. Namun situasi ini bukanlah situasi yang tepat untuk membuat satu-satunya orang yang bisa diandalkannya meninggalkannya di suatu tempat yang ia tak pernah tahu.

Tautan jemari Elena melonggar saat tangan hangat Nico menyentuhnya. Tiba-tiba sirine sebuah mobil polisi terdengar memekakkan telinga. Lampu sirine tersebut berkelap-kelip menyilaukan mata Nico. Elena menoleh ke belakang, memastikan apa yang telah di dengarnya. Mobil tersebut berada beberapa meter di belakang mobil Nico.

“Nick, itu polisi.” Suara Elena terdengar gemetar. Elena beringsut untuk merendahkan duduknya. Jantungnya seolah berhenti untuk beberapa detik. Pikirannya masih bergelayut dengan rasa kalut.

“Mereka tak akan kubiarkan menangkapmu, adik kecil.” Nico melepaskan genggaman tangannya, kemudian memindahkan gigi dan menginjak gasnya lebih dalam. Ingatan Elena seolah berputar kembali pada kejadian kemarin. Ia juga melakukan hal yang sama, kemudian kecelakaan itu terjadi.

“Tidak…” Elena berucap lirih sambil menggigit kukunya. Tiba-tiba kendaraan yang berada tepat di depan Nico mengurangi kecepatannya secara mendadak.

“Nick, awas!” Elena menutup matanya erat-erat. Ini akan berakhir. Ini adalah karmanya dan dia akan mati mengenaskan dengan cara yang sama dengan korban yang telah ia tabrak.

“Hei adik kecil. Buka matamu.” Nico tersenyum menatap gadis di sampingnya yang memucat. Perlahan Elena membuka matanya dan melihat sekeliling. Nico memarkir mobilnya di bahu jalan.

Untuk saat ini Nico sangat bangga pada reflek dan kemampuan mengemudinya. Sesaat ia merasa seperti Dominic Toretto di film The Fast and The Furious. Ia berusaha mengurai senyum untuk gadis di sampingnya meski jantungnya berdebar sangat kencang karena kejadian itu.

“Sudah, tidak ada apa-apa. Polisi itu hanya lewat untuk mengawal mobil pejabat.” Nico menenangkan gadis itu dan mengusap kepalanya.
•••

Elena POV
Hari sudah larut malam, Nico beberapa kali menguap. Aku masih menatap jalanan di hadapanku yang mulai sepi. Jam digital yang ada di dasbor mobil menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh tujuh menit. Sudah hampir sebelas jam perjalanan yang kami tempuh dengan beberapa kali berhenti untuk mengisi bahan bakar dan mengisi perut.

“Apa kau sangat mengantuk?” Aku memecah keheningan. Kulihat wajah lelaki itu tampak lelah. Aku tak yakin dia akan terus bertahan tanpa tertidur sampai perjalanan kami selesai nanti. Tanpa sadar aku masih terus memandanginya yang masih berfokus pada jalanan di hadapannya.

“Tubuhku terasa lelah adik kecil, aku butuh berbaring sebentar.” Kata lelaki itu yang lagi-lagi diakhiri dengan kuapannya yang menimbulkan suara keras sebagai tanda betapa mengantuknya dia.

“Aku bisa menggantikanmu sementara kau beristirahat di belakang.”

“Kau pikir dengan kakiku yang panjang ini berbaring di belakang akan membuat lelahku hilang?” Nico menyunggingkan senyum yang terlihat samar karena keadaan yang cukup gelap. Tapi aku tahu, dalam kegelapan pun wajahnya masih terlihat tampan. Aku kembali terhanyut dalam diamku, tak ingin berdebat dengan lelaki di sampingku. Aku teringat kata-kata Evan untuk menjaga emosiku agar Nick tidak berubah pikiran untuk menyelamatkanku.

Beberapa saat kemudian, Nico berbelok ke sebuah bangunan tinggi bertuliskan Savannah Suite berwarna hijau menyala yang cukup besar.

“Mau kemana?” Tanyaku defensif. Firasatku memburuk mengingat Evan telah mengingatkanku untuk berhati-hati pada Nico. Evan pun telah memberiku sebuah pisau lipat untuk berjaga-jaga jika Nico melakukan sesuatu yang buruk padaku.

“Adik kecil, aku mengantuk.” Ujar Nico diikuti suara pintu mobil yang sedikit dibanting.

Tanpa bertanya lagi, kuikuti langkah Nico yang berjalan terlebih dahulu. Kutatap tubuh atletis lelaki di hadapanku. Ia mengenakan kemeja polos berwarna biru tua dengan lengan yang dilipat asal-asalan. Celana bahan berwarna hitam dengan sepatu pantofel yang masih terlihat licin. Bayangan tentang Nico yang meninggalkan pekerjaannya untukku membuatku tersenyum. Sungguh aku terharu. Ini semua pasti berkat Evan.
•••
Nico POV
“Mengapa kau hanya memesan satu kamar?” Elena melipat tangannya di depan dadanya, mengerucutkan bibirnya karena kesal. Aku ingat betul bagaimana tatapan mengancamnya saat aku memesan satu kamar untuk kami.

“Satu kamar.” Kataku sambil mengeluarkan tanda pengenal dan sebuah kartu kredit dari dompet.

“Nick, dua.” Bisik Elena di telingaku penuh penekanan.

“Untuk apa pesan dua? Kita bisa berbagi tempat tidur, sayang.” Aku melingkarkan lenganku pada pundak Elena, menggodanya dengan nada yang dibuat-buat. Seringaian licik tersungging di bibirku, membuat gadis dibalik meja resepsionis tersenyum memerhatikan percakapan kami. Entah apa yang dipikirkannya, tetapi melihat ekspresi menggemaskan Elena sungguh membuatku ingin terus menggodanya.

“Aku tidak akan berbuat macam-macam. Kalau kau tak percaya, kau bisa tidur di sofa.” Aku tersenyum geli menatap wajah Elena yang kesal. Aku meletakkan ponsel dan dompetku di atas nakas sementara Elena masih berdiri di dekat pintu kamar.

“Tidak, aku tidur di ranjang. Kau kan laki-laki, kau tidur di sofa.” Nada suara Elena terdengar meninggi.

Wah, sungguh luar biasa nyali gadis itu. Ia bahkan tak merasa sungkan pada seseorang yang telah berusaha menyelamatkannya. Bahkan di saat seperti ini, kepala batunya itu semakin mengeras.

“Kalau kau tidak mau di sofa, kita bisa berbagi ranjang.” Kutatap wajah gadis itu intens sebelum aku melangkah ke kamar mandi. Benar kata Evan, gadis itu benar-benar pemarah dan keras kepala—ralat, sangat keras kepala. Elena melempar pandangan jijik padaku dan mengumpat pelan tepat sebelum aku menutup pintu kamar mandi.
***
Elena POV
Aku bukan tipe orang yang akan menyia-nyiakan kesempatan!

Aku segera melepas sepatu dan tanpa mencuci kaki aku merangkak naik ke ranjang yang berukuran besar itu, lalu tidur di tengah-tengah dan merentangkan kedua tangan dan kakiku dibalik selimut. Betul kata Evan, dia memang lelaki egois dan kurang ajar. Bahkan dia tak mau menyewa dua kamar dengan alasan identitasku akan diketahui. Begitu suara pintu kamar mandi terdengar, aku segera memejamkan mata, berpura-pura tertidur.

“Wah… adik kecil yang nakal rupanya. Cepat bangun.” Nico menarik selimutku, tetapi aku masih berusaha menahannya dengan mata terpejam.

“Jangan berpura-pura, adik kecil. Cepat minggir.” Nico kemudian menarik tangan dan kakiku ke samping hingga aku nyaris terjatuh ke lantai. Sesegera mungkin ia melompat dan menguasai ruang kosong di sisi ranjang.

Sialan kau! Nico! Minggir!” Kurasakan darahku menggelegak. Mungkin saja tanduk di atas kepalaku sudah mulai meninggi diiringi asap yang mengepul dari hidung dan telingaku. Kemarahan sudah mulai menguasaiku. Aku mendorong tubuh lelaki sialan—yang sayangnya sangat tampan itu agar menyingkir, namun kekuatanku tampaknya tak begitu berpengaruh untuknya.

“Sudah cepat tidur.” Nico menarik selimut untuk menutupi kepalaku. Kemudian melingkarkan tangan dan kakinya pada tubuhku yang dibungkus oleh selembar selimut tebal, membiarkanku mendidih di dalam selimut. Sebentar lagi aku akan meledak. Meledak dalam artian sebenarnya. Mungkin seperti ketika kau merasakan jantungmu berdegup terlalu kencang hingga memompa darah terlalu banyak dan pembuluh darahmu seolah tak mampu lagi menampungnya, kemudian darah itu terus naik ke kepalamu seolah hendak menenggelamkanmu di lautan darah, dan…

“Nico!”

Teriakku sekuat tenaga diiringi dengan pemberontakan beringas. Aku menghirup udara untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen seolah aku akan menghirup seluruh oksigen di muka bumi ini dan membiarkan lelaki kurang ajar itu mati karena kehabisan oksigen.

Kutatap lelaki itu dengan kilatan kemarahan, seolah mataku akan mengeluarkan sihir bombarda untuk meledakkannya. Aku menahan napas sejenak, lalu bersiap untuk menyemburkan rentetan kalimat makian, namun semuanya kutelan kembali hingga aku berimajinasi melihat perutku semakin membuncit menahan seluruh umpatanku.

“Baiklah, aku akan tidur di sofa.” Aku mengalah, kemudian turun dari ranjang dan melangkah menuju sofa dengan kesal. Sungguh aku harus menjaga mulutku kali ini. Ini demi keselamatanmu Elena, gumamku pada diriku sendiri.

Dalam beberapa langkah aku berhenti sejenak. Sejujurnya aku sangat berharap dia memanggilku dan mengatakan, “Elena, tidurlah disini. Aku yang akan tidur di sofa.” Namun sayang sekali yang kulihat adalah Nico justru melambaikan tangannya dengan senyum liciknya yang sangat menyebalkan. Sesaat kemudian ia menarik selimutnya dan berbalik memunggungiku.

Aku terpaku, berusaha menahan sumpah serapahku agar tak terdengar oleh lelaki sialan itu. Oh, Ya Tuhan, mungkin Evan sudah mulai gila dengan mempercayakanku pada lelaki gila ini. Dengan membawa harga diriku yang telah dilukai oleh lelaki itu, aku melangkah dengan memikul sejuta amarah dan menghempaskan tubuhku pada sofa empuk berwarna hijau muda di sudut ruangan.

Aku lelah!


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D