Senin, 09 Mei 2016

Purple Maple (Satu)


“KAU terlihat kelelahan.”

Suara yang dalam dan maskulin menyapanya. Mau tidak mau gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya berserobok pandang dengan sepasang mata hitam yang dingin tetapi menatapnya penuh keramahan. Sekilas ia seperti mengenal sepasang mata itu, tetapi  ingatannya tidak juga memunculkan satu atau dua nama walaupun dipaksa.

Lelaki itu mengulurkan tangannya, meletakkan sebotol mineral ke hadapan gadis yang melongo menatapnya. “Ini untukmu.”

Belum sempat gadis itu melontarkan penolakan maupun mengungkapkan terima kasih, lelaki itu pergi begitu saja. Dengan cepat tubuh tegapnya sudah berbaur dengan keramaian di kantin bagian dalam.

“Kau mengenal lelaki itu, Kal?”

Kalila menolehkan kepalanya ke kiri. Wajahnya menampilkan ekspresi bingung yang belum terjawab. Dan sekarang malah harus menanggung rasa penasaran orang lain.

“Kenapa kau tidak bercerita jika memiliki teman setampan itu?”

Belum tuntas kebingungannya, muncul lagi suara antusias yang tertangkap telinga kanannya. Kalila menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Dua gadis yang duduk mengapitnya ini cukup banyak bertanya untuk orang yang baru beberapa hari berkenalan.

“Aku tidak mengenalnya,” ujar Kalila lantas memandang heran pada sebotol air mineral di hadapannya.

“Benarkah?” tanya gadis di sisi kirinya dengan sangsi. “Lalu kenapa dia memberimu minuman itu?”

Kalila mengangkat bahunya tidak peduli.

“Apa dia salah orang, ya?” tebak gadis lainnya, yangkalau Kalila tidak salah mengingat bernama Erin.

“Ah, tapi benar-benar memalukan harus bertemu lelaki setampan itu dengan penampilan mengerikan seperti ini,” keluh gadis yang satunya sambil menunduk frustrasi. Ia menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.

Sebenarnya penampilan mereka belum sampai di level mengerikan. Tetapi memang jauh dari kesan anggun dan elegan. Rambut dikucir tiga di bagian atas, kanan, dan kiri kepala. Pakaian yang mereka kenakan adalah kaus putih dengan lambang universitas dan celana olahraga selutut dengan warna yang melambangkan fakultas masing-masing. Ditambah, papan karton berisi biodata yang terkalung di leher mereka.

Kalila memerhatikan penampilan dua orang di sampingnya. Kuciran di rambut mereka sudah tidak serapi sebelumnya. Jejak-jejak keringat membuat beberapa anak rambut yang terlepas  menempel di beberapa sisi wajah. Dan ia yakin penampilannya sendiri tidak lebih baik dari itu.

“Aku bahkan membiarkan kukuku pucat tanpa kuteks, Val.” Erin menimpali dengan keluhan serupa.

“Aku juga tidak sempat menggambar alisku,” sahut Valeria tidak mau kalah.

Benar juga. Kalila akhirnya ingat nama gadis itu. Valeria. Gadis yang tiba-tiba meminta dipanggil ‘Val’ begitu Kalila menyebutkan ‘Kal’ sebagai nama panggilannya.

“Lagipula kenapa, sih, selama masa orientasi kita dilarang berdandan?” sungut Valeria membesar-besarkan masalah.

“Iya, iya,” sahut Erin setuju. “Bahkan kita disuruh memunguti sampah dan menyapu jalan. Itu, kan, bukan tugas kita sebagai mahasiswa.”

“Bersyukurlah, ini adalah hari terakhir.” Kalila ikut menimpali, mulai terganggu dengan perdebatan yang menurutnya tidak perlu.

“Benar, benar. Ini bukan saatnya mengeluh yang hanya menambah keriput di wajah,” ucap Erin sambil mengangguk-angguk dengan wajah ceria. “Yah, semoga saja suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi dengan lelaki itu.”

“Tidak perlu menunggu suatu hari nanti,” timpal Valeria cepat, memotong harapan Erin. “Kita cari saja dia ke fakultasnya. Kalau melihat dari warna celananya, sepertinya dia dari fakultas hukum.”

“Ah, benar, benar.” Erin bersorak riang, tidak peduli pada pengunjung lain yang juga duduk di teras kantin bersama mereka. “Kau memang pintar, Val.”

“Tentu saja,” sahut Valeria bangga. “Kalau tidak, mana mungkin aku diterima di universitas ini.”

Kalila akhirnya ikut tertawa bersama dua orang itu. Dua orang yang langsung heboh hanya karena sebotol air mineral. Dan botol itu hanya bisa bungkam, tanpa mampu menuturkan rahasia apa pun. Termasuk tentang kehadirannya yang tiba-tiba dan menerbitkan tanda tanya ke hadapan Kalila.
***

Masa orientasi sudah terlewati. Dan hari-hari Kalila sebagai mahasiswa akhirnya dimulai.

Tidak ada lagi rambut yang dikucir tiga. Kalila kembali dengan topi kesayangan yang menghiasi kepala cantiknya. Kemeja lengan panjang merah bata yang tampak kebesaran mengambil alih posisi kaus putih yang dikenakannya dalam seminggu terakhir. Celana olahraga untuk masa orientasi juga sudah pergi digantikan skinny jeans biru gelap favoritnya.

Kalila melenggang tenang dalam chukka boots yang terpasang pas di kakinya. Ia melangkah menuju perpustakaan dengan setumpuk buku dalam dekapannya. Sama sekali tidak menyadari beberapa pasang mata memusatkan perhatian ke arahnya. Jika bukan karena parasnya yang menarik, itu berarti karena gaya berpakaiannya yang seperti hendak menghadapi musim gugur.

“Kal!”

Sebenarnya tanpa perlu menolehkan kepala, Kalila tahu benar siapa yang menyerukan namanya. Selain karena belum banyak orang yang dikenalnya, suara yang menyapanya saat ini memang memiliki lengkingan yang khas. Tetapi demi menjaga sopan-santun, ia menolehkan kepalanya dan mendapati Valeria sedang berlari-lari kecil menghampirinya. Tepat seperti dugaannya.

“Hai, Valeria,” ujar Kalila balas menyapa.

Gadis di hadapannya justru memberengut tidak suka. “Sudah kukatakan, panggil saja aku ‘Val’.”

Hem, baiklah... Val

“Nah, begitu lebih baik,” kata Valeria sambil tersenyum senang. Telapak tangannya menepuk-nepuk rok floralnya. “Kau mau ke mana?”

“Perpustakaan.”

“Untuk belajar?”

Kalila menggeleng. “Mengembalikan buku.”

Valeria menyingsing sedikit lengan kemejanya yang seperti kebun bunga tulip di Belanda, melirik jam tangan yang melingkari lengannya. “Boleh aku ikut?”

“Boleh,” jawab Kalila singkat lantas kembali melangkahkan kaki, diikuti Valeria di sampingnya.

Mereka berdua menyusuri koridor kampus tanpa membicarakan apa pun. Bahkan sekadar obrolan pembunuh waktu selama menunggu lift tidak hadir di antara mereka. Kalila sendiri tidak peduli akan hal itu. Tetapi Valeria jemu karena merasa diabaikan.

“Kenapa kau selalu terlihat muram, sih, Kal?” gumam Valeria begitu pintu lift tertutup dan mengurung mereka berdua.

Kalia mengangkat sebelah alisnya. “Muram?”

“Kau selalu berjalan cepat sambil menunduk, jarang tersenyum, dan hanya menjawab singkat pertanyaanku,” jelas Valeria sambil memainkan ujung rambut ikalnya yang dikucir kuda. “Kalau seperti itu terus, kau akan kesulitan mendapat teman dan juga pacar, lho.”

Sudut bibir Kalila diam-diam berkedut sinis. Baguslah. Justru dua hal itu yang sangat dihindarinya saat ini.

“Apa kau tidak sadar kalau banyak orang yang memerhatikanmu? Terutama para lelaki tampan di sekitar kita. Salah satunya yang memberimu minuman di kantin tempo hari. Kau tidak ingin bertemu lagi dengannya?”

Kalila menggeleng, memberikan jawaban sejujurnya.

Valeria menghela napas panjang bersamaan dengan bunyi denting lift. Tanpa diduga, tiba-tiba saja ia merebut topi bisbol yang dikenakan Kalila lalu melompat keluar begitu pintu lift terbuka.

“Kalau begitu, topimu kusita dulu. Tunjukkan wajah cantikmu pada dunia,” ucap Valeria sambil melambaikan topi Kalila di tangannya. Gadis itu masih sempat mengerlingkan mata sebelum berlari meninggalkan Kalila.

Kalila berdecak marah. Matanya melebar kesal. Langkahnya menghentak sebal keluar dari lift. Jemarinya bergerak cepat merapikan rambutnya yang berantakan.
Inilah salah satu alasan mengapa Kalila menghindari hubungan pertemanan. Ia malas berurusan dengan orang yang suka mencampuri urusannya.
***

Sejak pertama kali bertemu dengan Kalila, Valeria langsung menyukainya. Gadis itu memiliki segala hal yang diimpikannya selama ini. Rambut lurus berwarna hitam, sepasang mata cokelat terang, tubuh semampai, dan tentu saja kaki yang jenjang. Benar-benar sempurna. Oh, ralat. Rona muram yang selalu terpancar dari sosok Kalila adalah satu-satunya kekurangannya. Seharusnya, ia bersikap ceria seperti Valeria.

Valeria menghela napas panjang saat menatap pantulan bayangannya pada cermin yang tergantung di atas wastafel. Pipi gembil, rambut ikal nyaris keriting, dan sepasang paha besar yang dibencinya. Jika berada di samping Kalila, ia benar-benar merasa seperti itik buruk rupa.

Seandainya muncul peri yang mampu mengabulkan segala permohonan, Valeria ingin meminta agar ia bisa bertukar posisi dengan Kalila. Jika sudah begitu, ia pasti jauh lebih percaya diri dan menunjukkan wajah cantiknya pada semua orang. Bukannya bersikap tidak bersyukur dan malah menutupinya dalam bayang-bayang topi butut.

Valeria meremas kuat topi yang tadi direbutnya dari Kalila. Bagaimana mungkin gadis itu masih bisa terlihat cantik walaupun mengenakan topi seperti ini?

Sungguh, Valeria benar-benar merasa iri.
***

Telapak tangan Kalila terangkat ke wajahnya, berusaha menutupi mulutnya yang menguap lebar. Sekalipun tidak ada orang selain dirinya di kamar indekos itu. Jemarinya kemudian mengusap air yang menitik di sudut mata, akibat kantuk yang ditahannya.

Mengantuk? Kalila menguap sekali lagi. Matanya mencuri lihat ke arah jam yang terpasang di dinding kamarnya yang bercat kuning gading.

Astaga. Mata Kalila terbelalak seketika. Pantas saja ia merasa sangat mengantuk. Ternyata saat ini sudah hampir pukul tiga dini hari. Bagaimana bisa ia belajar sampai selarut ini? Tangan Kalila bergerak cepat mengembalikan buku-bukunya ke dalam rak. Ia harus bergegas tidur agar tidak terlambat kuliah pagi.

Tetapi niatnya untuk tidur langsung menguap begitu ia berhadapan dengan cermin besar di samping tempat tidurnya. Cermin dengan tepian kayu itu merefleksikan sosoknya secara utuh.

Perlahan, Kalila melangkah mendekati cermin. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh bayangannya sendiri. Pantulan sosok itu balas menatap padanya. Sepasang mata cokelat terang yang seperti milik neneknya itu menunjukkan kehampaan yang nyata.

Rambut hitam Kalila berpotongan bob yang menggantung di atas bahunya, membingkai wajahnya yang putih pucat. Bibir merah stroberinya melempar senyum palsu. Sementara hidungnya yang ramping berkerut masam saat kata-kata Valeria terngiang di benaknya.

‘Kalau seperti itu terus, kau akan kesulitan mendapat teman dan juga pacar, lho.’

Dahulu, beberapa tahun yang lalu, mungkin itu bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan Kalila. Bahkan mungkin hanya dengan menghela napas, banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi temannya. Banyak lelaki memperebutkan posisi untuk menjadi pasangannya.

Tetapi kemudian kehadiran seseorang membuat Kalila sadar akan segala kepalsuan itu.

Tidak ada seorang pun yang tulus ingin menjalin hubungan dengannya. Ada banyak maksud yang tersembunyi di balik kata-kata manis yang mengandung racun. Mereka semua mendekatinya karena ia cantik. Karena ia pintar. Karena penampilan fisiknya yang menarik. Karena ia kaya raya. Karena ayahnya pemilik perusahaan yang sangat berpengaruh di dunia bisnis.

Mendadak Kalila menjadi idola tanpa memiliki talenta apa-apa. Dan semua yang dimilikinya itu membuat Kalila muak!

Terlebih karena semua temannya yang berwajah ganda itu membuat Kalila kehilangan seseorang yang paling berharga untuknya. Seseorang yang sudah membuka matanya dari kepalsuan di sekitarnya. Meninggalkan setumpuk perasaan bersalah yang semakin menggunung dari waktu ke waktu. Hingga tanpa sadar, Kalila menutup pintu hatinya dari segala bentuk hubungan yang melibatkan emosi.
***

Kalila menghela napas lega saat dosennya mengakhiri kuliah pagi ini. Ia bergerak cepat merapikan alat tulisnya dari atas meja. Rasanya seperti menunggu ribuan tahun ketika menempuh kuliah dengan mata berat menahan kantuk.

Entah bagaimana caranya, tetapi satu kalimat yang diucapkan Valeria tempo hari bisa memengaruhi Kalila seperti itu. Ia terjaga semalaman. Hingga akhirnya jam beker ungunya berdering keras menyatakan bahwa ia sudah kehabisan waktu tidurnya. Dan sekarang yang dibutuhkannya hanya sesuatu yang mengandung kafeina.

“Kalila,” sapa seseorang perlahan sambil mengetuk bahunya dari belakang.

Kalila membalik tubuhnya dengan malas. Seorang lelaki yang duduk di kursi yang berada tepat di belakangnya. Hanya dengan melihat sepintas, Kalila tahu lelaki itu berusaha menghidangkan senyum termanisnya.

Lagi-lagi, demi sopan-santun, Kalila membalas senyum itu sambil meralat cara lelaki itu memanggilnya. “Kal. Panggil saja ‘Kal’.”

“Baiklah, Kal,” balas lelaki itu dengan senyum yang lebih lebar. “Namaku Elliot.”

Kalila mengangguk. “Oke. Ada apa, Elliot?”

“Sudah kuduga kau terlihat lebih cantik jika dilihat dari dekat.” Lelaki bernama Elliot itu malah bergumam asal tetapi sengaja agar didengar Kalila.

Cantik? Kalila menyebut satu kata itu dalam hati. Kepalanya tertunduk menyembunyikan senyum sinis. Tetapi sepertinya lelaki di hadapannya salah mengartikan sikapnya itu.

Itu bukan pertama kalinya Kalila mendengar kata itu terlontar untuknya. Sebuah kata yang dahulu mampu membuat perasaannya melambung tinggi. Tetapi sekarang kata itu tidak lebih dari pujian kosong yang paling mudah diucapkan untuk berbasa-basi. Orang-orang tidak perlu mengenalnya hanya untuk mengatakan bahwa ia cantik.

“Oh, maaf aku jadi melantur,” ucap Elliot seolah baru tersadar dari lamunan palsunya. “Aku ingin mendiskusikan materi ini, Kal.”

Kalila melongokkan kepalanya pada salah satu materi diktat yang ditunjuk Elliot. Ia mengerutkan keningnya bingung lantas menggelengkan kepala. “Maaf. Tapi aku sendiri belum memahami materi ini.”

“Begitukah?” Elliot terdengar sangsi. Seolah mengetahui kebohongan Kalila. “Kebetulan, aku sudah paham materi ini. Mau kuajari?”

Urat kesal mencuat di kening Kalila. Ia benar-benar malas berurusan dengan lelaki keras kepala seperti ini. Kepalanya sangat pusing dan ia tidak ada waktu untuk meladeni basa-basi murahan di sini.

“Maaf. Tapi aku ada kuliah lain setelah ini,” tukas Kalila sambil berdiri kasar dari tempat duduknya.

“Ya. Aku tahu,” sahut Elliot sambil tetap tersenyum. “Semester ini, kan, kita selalu sekelas, Kal.”

“Oh, ya?” timpal Kalila acuh tidak acuh. Sementara tangannya bergerak cepat membereskan alat tulis dari atas mejanya. Berusaha menunjukkan bahwa ia sedang terburu-buru.

“Kalau begitu, sampai ketemu nanti, Kal.”


Kalila mengangguk sekenanya, lalu mengambil langkah lebar meninggalkan kelas. Cepat-cepat ia mengenakan topi bucket abu-abunya, menyembunyikan wajah yang selalu membuatnya menerima kebaikan semu.
***

“Terima kasih.” Kalila mengangguk ramah saat menerima secangkir kopi yang dipesannya.

Kalila sungguh tidak sabar untuk segera menyesap kopinya. Ia harus mengusir kantuknya yang semakin menjadi-jadi. Satu persatu sel di otaknya seolah tumbang dan terlelap tanpa menunggu izin darinya.


Bergegas, Kalila memacu langkahnya mencari tempat duduk yang masih kosong di antara padatnya suasana kantin. Beberapa mahasiswa tampak duduk meriung penuh senda gurau padahal makanan mereka sudah tandas dari piring masing-masing. Mendapati seluruh tempat duduk sudah terisi, memaksa Kalila memutuskan untuk meninggalkan kantin. Ia berencana pindah duduk ke taman fakultas sambil membaca sekilas materi untuk kuliah selanjutnya.

Mungkin Kalila tidak akan berhenti berjalan jika bukan karena ia mendadak menabrak seseorang. Atau dinding, ia tidak terlalu yakin. Karena yang ditabraknya itu sangat keras dan kokoh. Diikuti bunyi gemerencing yang seolah menjadi musik latar untuk kejadian itu.

Gelas kertas dalam genggaman Kalila menghamburkan isinya keluar akibat benturan itu. Sebagian merembes di tangannya yang langsung terasa seperti melepuh. Sementara lebih dari separuh kopi panasnya tumpah ke dada dan perut  orang yang ditabraknya.

Mata Kalila sontak terbuka lebar, kantuknya hilang seketika. Walaupun terkejut, ia masih bisa mendengar suara memekik yang menghardiknya habis-habisan.
***

“Maaf,” ucap Kalila sepenuh hati. Bibirnya bergetar karena panik. Sementara batinnya sibuk merutuki dirinya sendiri.

Kalila sadar, ucapan maafnya tidak akan cukup. Terbukti dengan adanya suara yang terus sibuk memaki di sampingnya. Suara itu semakin naik beberapa oktaf seolah tidak bisa puas mengungkapkan kekesalannya. Maka, dengan sigap Kalila mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan langsung menepuk-nepukkan pada kemeja milik korban dari kecerobohannya.

Noda kopi di kemeja yang kuyup itu terserap sedikit demi sedikit. Hingga sapu tangan berwarna violet milik Kalila berangsur menjadi warna kecokelatan. Perubahan warna juga tampak di wajah Kalila. Semburat merah menyebar cepat di pipinya saat jemarinya merasakan otot dada dan perut yang menonjol di balik kemeja ungu gelap beraroma kopi di hadapannya. Tetapi ini bukan saatnya tersipu untuk hal seperti ini. Ia harus bertanggung jawab atas kesalahannya.

“Jangan sentuh!” bentak suara melengking itu sambil menampik tangan Kalila dengan kasar. Sapu tangannya terlepas dari genggaman dan mendarat di lantai kantin.

Tentu saja Kalila merasa geram. Ingin sekali rasanya ia melayangkan tamparan ke mulut loudspeaker yang kurang ajar itu. Memang benar ia sudah melakukan kesalahan, tetapi bukan berarti gadis ini bisa memperlakukannya semena-mena.

“Lihat-lihat dulu dong kalau berjalan!” hardik gadis itu sambil mengacungkan telunjuknya ke hadapan Kalila. “Sekarang coba lihat akibat dari perbuatan konyolmu!”

Perlahan, Kalila menarik dan mengembuskan napasnya berulang kali, berusaha mengatur emosinya.

“Sudah cukup, Lory. Semua orang memerhatikanmu.”

Suara rendah dan maskulin itu mengalun lembut ke telinga Kalila. Mengembalikan akal sehatnya ke dunia nyata. Nyaris saja ia kehilangan kendali dan mencabuti rambut pirang palsu di kepala gadis itu.

“Tapi perempuan ini harus diberi pelajaran!” Gadis itu masih saja menyalahkan Kalila. Bahkan ia tidak berusaha merendahkan suaranya sedikit pun. Seolah ia ingin seluruh dunia mendengar kesalahan apa yang sudah diperbuat Kalila. “Dia membuat kemejamu basah dan kotor.”

“Cuma kopi. Bukan masalah,” ucap lelaki itu setengah berbisik. “Ayo kita pergi.”

Lelaki itu menggenggam kedua bahu Lory, setengah menyeret gadis itu pergi. Tetapi Lory masih meronta, menolak untuk menyingkir dari hadapan Kalila. Sepertinya ia benar-benar belum merasa puas dengan materi pelajaran yang disusunnya untuk Kalila.

Sambil menghela napas berat, Kalila memungut sapu tangan dan cangkir kertasnya yang sudah menghilangkan kantuknya dengan cara yang tidak biasa. Dalam hati, Kalila menyesali kopinya yang sudah mengotori pakaian lelaki itu. Seharusnya lebih baik kopi panas itu tumpah ke wajah gadis yang masih mengumpatinya dari kejauhan.
***

Kalila menjalani sisa harinya di kampus dengan tabah. Walaupun gumpalan awan hitam masih menggantung di atas kepalanya. Wajahnya semakin tertekuk muram lebih dari biasanya setelah apa yang di hadapinya.

Kopinya tumpah tidak bersisa. Gendang telinganya harus menerima hardikan dari gadis loudspeaker. Dan sekarang ia harus bersabar pada Elliot yang seperti sengaja duduk tepat di sampingnya. Kalila yakin lelaki itu tidak benar-benar memerhatikan materi kuliah yang sedang disampaikan dosen di depan kelas. Beberapa kali ia merasakan Elliot mencuri pandang ke arahnya melalui ekor mata. Tentu saja itu membuatnya terganggu dan kesulitan berkonsentrasi seperti seharusnya.

Mata Kalila melirik cepat pada jam tangan yang melingkar di lengannya. Diam-diam, ia mendesah lega. Sebentar lagi kuliah selesai. Ia hanya perlu menunggu lima menit lagi. Dan ia bisa kembali ke kamar indekosnya yang nyaman. Hanya lima menit. Tetapi entah mengapa rasanya seperti menunggu bertahun-tahun.

Kalila menghitung dalam hati. Satu... Dua... Tiga... Empat... Lima... Hingga akhirnya dosen berkacamata itu melantunkan kalimat yang sangat ditunggu-tunggu Kalila.

“Sekian untuk hari ini, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya,” ucap dosen itu sambil menjadi orang pertama yang meninggalkan kelas.

Seperti ingin mengejar posisi kedua, Kalila juga bergerak cepat memasukkan buku catatannya ke dalam tas sambil berdiri dari kursinya.

“Setelah ini kau mau ke mana, Kal?” tanya Elliot sambil membereskan barangnya sendiri. Tidak ingin kalah cepat dari Kalila.

“Pulang.”

“Mau kuantar?”

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”

Atau mungkin terbiasa sendiri, Kalila menambahkan dalam hati. Ia mengangguk sekilas untuk sopan-santun pada seseorang yang mengajaknya bicara. Kemudian kakinya sudah bergerak cepat, merebut posisi orang ketujuh yang keluar dari kelas.

Kalila menyusuri koridor kampus dengan langkah-langkah lebar. Rasa kantuk kembali menyerang. Dan kali ini, kopi tidak akan bisa lagi menjadi penawarnya. Memang hanya tidur yang dibutuhkannya sekarang. Satu-satunya obat mujarab untuk mengobati kantuk. Kalila terlalu sibuk membayangkan dirinya tengah bergelung memeluk guling di bawah selimutnya yang hangat, hingga tidak menyadari seseorang berjalan tergesa berlawanan arah dengannya. Detik berikutnya, mereka bertabrakan tanpa bisa dicegah.

Bibir Kalila mengaduh perlahan saat merasakan bahunya bersinggungan keras dengan bahu milik orang lain. Telinganya menangkap bunyi gemerencing yang seolah mengingatkan Kalila bahwa ini adalah tabrakan kedua dalam serangkaian kesialannya hari ini. Gadis itu mengumpat dalam hati dan berniat melontarkan keluhannya lebih dahulu. Sebelum orang lain kembali melakukan itu pada harinya yang buruk.

Tetapi niat itu langsung musnah begitu Kalila melihat seseorang yang bertabrakan dengannya. Sosok lelaki itu mengingatkannya pada seseorang yang dikenalnya. Wajah tirus dengan tulang pipi yang menonjol. Walau samar, tampak sedikit bintik-bintik jerawat di pipi lelaki itu. Gaya rambut dan pakaiannya lebih cocok dikenakan jika ia hidup di tahun 1960-an. Tinggi badannya tidak lebih dari pelipis Kalila.

“M-maaf,” ujar lelaki itu dengan suara begetar.

Suara itu lantas menyadarkan Kalila bahwa mereka adalah orang yang berbeda. Seseorang dalam ingatannya, tidak pernah berbicara dengan suara bergetar seperti itu. Suaranya selalu tegas dan dalam. Diiringi sorot mata yang cerdas dan cemerlang. Bukannya sepasang mata ketakutan yang kini menatapnya seolah Kalila adalah hewan buas yang siap menerkam kapan saja.

“Maaf, maaf,” lelaki itu kembali meminta maaf karena melihat Kalila yang hanya terdiam dengan kening mengernyit dalam. Membuat ia berpikir bahwa gadis itu akan melampiaskan kemarahan besar kepadanya. “Maaf. Aku tidak sengaja.”

Tanpa diduga sama sekali, Kalila justru menyunggingkan seulas senyum tipis. “Tidak apa-apa. Aku juga sedang melamun tadi.”

Tetapi lelaki itu tidak berhenti meminta maaf. Sekarang ia malah berulang kali membungkukkan tubuhnya dalam-dalam seperti hendak menempelkan kepalanya ke lantai. Membuat Kalila merasa tidak nyaman karena menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.

“Tolong jangan seperti ini,” ucap Kalila sambil ikut menundukkan kepalanya sedikit. Sementara telapak tangannya mengusap tengkuknya karena perasaan tidak nyaman. Saat itulah, Kalila menyadari sesuatu tergeletak di atas lantai. Tiga batang kunci dengan gantungan berbentuk kucing yang langsung dikenalinya sebagai kunci indekosnya. Angka 307 tercetak di salah satu kepala kunci itu. Sepertinya kunci-kunci itu terjatuh ketika mereka bertabrakan tadi.

Begitu Kalila memungut kunci itu, lelaki di hadapannya berhenti membungkuk. Lelaki itu hanya mengatakan maaf singkat untuk terakhir kali, sebelum kemudian berbalik dan melangkah pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D