Rabu, 04 Mei 2016

RabuRabuChallenge - Halo



Satu kesalahan di malam itu yang membawaku pada suatu kehidupan yang tak lazim.Kehidupan yang terasa sangat janggal yang membuatku cemas pada masa depanku. Sejujurnya aku sedikit menyesal telah menonton film Twilight yang membuatku sedikit berangan aku akan memiliki kekasih dari spesies yang berbeda.

Oh ayolah, hidupku ini bukan cerita fiksi. Seberapapun aku menginginkannya, hal-hal seperti itu tak akan terjadi. Tetapi setidaknya aku ingin bertemu lelaki yang mampu mengguncang duniaku, yang mampu mengubah pikiran tololku yang selalu terjebak dalam kisah romantis orang lain.

Aku menyeret langkahku dengan malas, hariku sungguh melelahkan dengan kuliah di pagi buta yang dilanjutkan bekerja hingga larut. Sungguh aku berharap ada seorang ibu peri yang akan mengayunkan tongkatnya untuk menyediakan kereta kencana yang akan mengantarku pulang malam ini. Tenagaku sudah terkuras habis setelah setan tua di tempat kerjaku memaksa kami lembur hingga larut.

Aku menguap lebar-lebar, merentangkan kedua tanganku sambil menengadahkan kepalaku untuk menatap langit. Bulan purnama. Aku tersenyum menatap bulan itu bersinar terang. Saat seperti mungkin manusia serigala akan berubah wujud. Aku menutup mata, menghirup udara malam dalam-dalam.

“Mia!”

Aku menurunkan tanganku, berdecak kesal ketika aku mendengar suara itu lagi. Tentu saja, bulan sudah menampakkan wajahnya. Dan… selamat datang Mia di dunia kegelapan!

“Hai gadis. Kenapa kau cemberut seperti itu? Aku sudah menunggumu dari tadi.” Ujarnya sambil melingkarkan lengan di pundakku.

Aku hanya memutar mataku bosan. Tingkahnya semakin berlebihan akhir-akhir ini, dan itu membuatku gila. Gila secara harfiah.

“Mia, ayo.” Ia bergelayut di tanganku dengan suara manjanya.“Aku ingin kau membelikanku wafel dengan es krim stroberi yang ada di kafe dekat kampusmu. Kudengar disana enak. Aku nanti akan mengganti uangmu.”

Aku memilih diam, tanpa menghiraukannya aku terus melangkah menuju rumahku. Aku sudah terlalu lelah untuk hal-hal tidak penting dan aku tak akan menghamburkan hasil keringatku hanya untuk sebuah wafel.

“Mia, kumohon.” Ia memandangku dengan mata memohonnya, membuatku teringat pada kucing kampung yang sudah berhari-hari menahan lapar. Aku mendesah putus asa. Kemudian mengiyakan permohonannya.

Aku sengaja mengambil tempat di teras kafe dengan pencahayaan yang temaram. Seorang gadis berperawakan bak seorang model berseragam pelangi menghampiriku, menyodorkan daftar menu yang langsung kutolak dengan mengangkat tanganku.

Strawberry waffle sundaes satu,” Aku mengucapkan menu yang santer dibicarakan oleh teman-temanku meski sekalipun aku belum pernah menginjakkan kaki di kafe ini. “Dan secangkir coklat hangat.”

“Kenapa hanya satu? Kau tidak memesan wafelnya?” Tanya seseorang di hadapanku yang tak berhenti bicara sejak aku mengiyakan permohonannya. Aku menggeleng lelah. Aku hanya ingin tidur.

Beberapa menit kemudian sepiring wafel yang disiram madu dengan es krim stroberi diatasnya dan dua buah stroberi segar dihidangkan di atas meja. Aku menggeser piring itu ke hadapannya agar ia berhenti mengoceh.

“Cepat habiskan. Aku ingin pulang sekarang!” Perintahku dengan nada yang sedikit meninggi. Ia mengernyit menatapku, kemudian mengisyaratkan dengan matanya agar aku menoleh ke samping. Aku seolah tersadar, kualihkan pandanganku pada gadis yang masih berdiri di sampingku yang tengah memerhatikanku dengan tatapan bingung.

“Ah, maafkan aku, kau bisa pergi.” Aku tersenyum kaku pada gadis itu. Oke, aku yakin dia pasti menganggapku gila sekarang!

“Seharusnya kau tidak ceroboh. Lihat, satu orang lagi akan menganggapmu gila.” Ia terkikik geli menatapku yang masih cemberut merutuki kecerobohanku.

“Ini semua salahmu, Theo.Harusnya kau tidak merengek seperti siswa SD! Ini juga nyaris tengah malam, bisa-bisanya kau menggerutu seperti itu!”

“Ehm… Mia? Kau baik-baik saja?” Suara maskulin yang sedikit serak membuatku mengalihkan pandangan pada seorang lelaki yang berdiri menjulang di belakang Theo.

“Ah… kak Kelvin. A-aku baik-baik saja.” Ujarku gugup. Bagaimana bisa aku bertemu seorang jurnalis kampus yang sok tampan dan terlalu banyak bicara di saat yang sangat tidak tepat?

“Boleh aku duduk di sini?” Tanya Kelvin mengisyaratkan kursi yang diduduki Theo. Aku masih mengamati Theo yang tampaknya enggan bergerak sedikitpun dari tempatnya sambil menikmati makanannya, kemudian pandanganku kembali pada kakak tingkat yang masih menunggu jawabanku.

“Apa kau sedang bersama seseorang?” Tanya Kelvin lagi sambil memandangi piring dengan wafel yang masih setengah.

“Ti-tidak… Ah, maksudku iya, aku kemari bersama pacarku. Dia sedang ke… em… ke toilet.”

Sial, aku gugup sekarang. Jika ia menangkap gelagat anehku, dia akan terus mencari tahu, kemudian saat aku terbangun besok, sebuah berita tentang mahasiswi gila berkeliaran di sebuah kafe akan menjadi headline koran kampus.

“Oh, kukira kau tidak punya pacar.” Ujar lelaki itu sinis.

“Sialan! Ayo pulang, Mia.” Theo berdiri dengan kasar, raut wajahnya terlihat marah sekarang.

“Tapi kau belum menghabiskan makananmu.”

“Maaf, apa kau bicara dengank, Mia?” Tanya Kelvin yang menyunggingkan senyum liciknya. Sial!

“Tidak, maaf. Aku mau pulang.”

Theo menarik tangaku, melewati Kevin yang masih menatapku dengan tatapan anehnya. Aku berusaha menyamakan langkah dengan langkah panjang Theo untuk keluar dari kafe setelah membayar wafel dan coklat hangat yang bahkan belum sempat kusentuh.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berkali-kali mendesah. Sedangkan kulihat lelaki di sampingku lebih memilih diam. Kami hanya berjalan dalam diam menuju rumahku sambil menikmati kesunyian malam yang disinari cahaya bulan.
***
Aku merasakan sesuatu yang basah dan lembut menyentuh wajahku. Aku mengernyit. Kemudian membuka mataku perlahan untuk menyesuaikan cahaya matahari yang menelusup melalui lubang ventilasi yang langsung menyorot mataku. Sinar oranye itu menyorot, menandakan senja telah bertahta. Senja? Benarkah aku telah melewatkan pagiku hari ini? 

“Minggir Theo!” Aku menyingkirkkan sesosok berbulu yang duduk di samping kepalaku sambil menjilati wajahkku. Uh.. menjijikkan! Dasar kucing tidak tahu diri! Aku mengernyit menatap jam di ponselku, aku benar-benar melewatkan semuanya. Aku menatap kucing itu sinis, aku yakin dia sudah kelaparan.

Sejak lahir aku ditakdirkan untuk membenci kucing dan akhir-akhir ini aku selalu dibangunkan oleh seekor kucing. Ya, kucing! Dan sayangnya kucing yang kelewat imut ini adalah Theo. Apa kau berpikir aku memelihara hewan menjijikkan ini dan menamainya dengan nama yang sama dengan lelaki menyebalkan itu? Sayangnya tidak. Tapi aku bisa jelaskan.

Aku merutuki kebodohanku malam itu, pergi ke seorang peramal—atau penyihir—yang mendirikan sebuah stan dalam pameran yang diadakan kampus. Aku mendatanginya dan memintanya agar memberikan padaku sebuah kisah cinta dengan cara yang tidak biasa dan dia berjanji akan memberi kejutan untukku. Dan bam!  kejutan itu datang.

“Lelaki yang akan kau lihat pertama kali saat bulan tertutup awan, dialah yang akan menjadi kekasihmu, tetapi syarat dan ketentuan tetap berlaku.”

Kalimat itu terus terputar di kepalaku seperti sebuah kaset rusak. Betapa girangnya ketika aku menyadari bahwa bulan telah tertutup awan dan aku melihat sosok Theo, lelaki yang selalu kusukai sejak aku menginjakkan kaki di kampus ini. Dan itu adalah awal dari segala musibah itu. Musibah dimana aku menyadari bahwa Theo telah berubah menjadi seekor kucing tepat di depan kedua mataku.

“Miauw…” Suara itu terdengar nyaring membuyarkan lamunanku.

Aku sedikit kecewa harus menghadapi Theo yang tampan berubah menjadi si kucing menjijikkan saat matahari bertahta, dan menjadi sejenis hantu saat bulan menampakkan batang hidungnya. Dan itu membuatku seperti orang gila yang berbicara sendiri.

Sangat kusayangkan aku tak bisa bersamanya seperti normalnya sejoli yang merajut kasih. Setelah kejadian malam itu, aku bahkan tak pernah menemukan penyihir itu. Aku hanya mendapatkan sebuah surat konyol yang berisi ‘Saat halo menyapa cinta’.

Aku memindah saluran televisi, namun tak satupun menarik perhatianku hingga aku terpaku pada drama picisan yang mendayu-dayu. Hal itu membuat pikiranku melayang-layang, aku yang dulu selalu mengagumi Theo, tak pernah tahu bahwa kenyataannya ia nyaris sama menyebalkannya seperti Kevin, dan itu sangat menguji kesabaranku. Apa ini artinya cintaku sudah mulai surut?

Kucing itu kembali bergelayut di tanganku, seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku yakin ia lapar. Aku beranjak, membuat spageti dan segelas susu untuk mengisi perut kami. Jangan lupa, dia hanya kucing jadi-jadian yang menolak segala macam makanan kucing.
***
“Theo, sampai kapan kau akan seperti ini?” Tanyaku sembari mengelus bulu halusnya. Aku meletakkannya di pangkuanku sambil menonton televisi yang menyajikan tayangan memasak. Aku mendesah, kecewa bahwa Theo sama seperti kucing pada umumnya—kecuali nafsu makannya.

Entah mengapa rasa benciku pada hewan berbulu itu sedikit berkurang, mengingat sudah hampir satu bulan aku tinggal bersamanya. Aku memejamkan mataku sejenak, memikirkan cara apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan tubuhnya seperti semula.

“Aku juga tidak tahu.” Suara serak itu membuatku terkejut. Aku membuka mataku, mengalihkan pandanganku pada jendela yang membingkai langit gelap di luar sana.

“Ini semua salahmu, Mia. Aku jadi tidak bisa hidup seperti biasanya.” Theo mengembuskan napasnya perlahan. Nada kecewa terdengar dari suaranya, membuatku semakin merasa bersalah.

“Maaf, aku juga sudah berusaha mencari penyihir itu. Tapi aku tidak menemukannya.” Tak kurang cara telah kulakukan demi Theo. Jika tahu akan begini akhirnya, aku akan memilih untuk terlarut dalam drama picisan di televisi dari pada membuat lelaki yang kusukai berubah wujud demi imajinasi konyolku.

“Tidak adakah tanda atau pesan darinya? Demi Tuhan, aku bosan terjebak di tubuh seperti ini.” Ujar Theo mengusap wajahnya.

Sekelebat ingatan muncul di benakku, “Saat halo menyapa cinta.”

“Apa?”

“Itu surat yang ditinggalkan wanita itu.” Aku menatap Theo yang tampaknya sama bingungnya denganku. Aku tersenyum saat memikirkan beberapa kemungkinan.

“Kenapa?”

“Halo Theo, aku mencintaimu.”

Satu… dua… tiga… Kenapa lelaki itu belum berubah wujud?

Sial! Apa yang barusan kukatakan? Aku mengumpat diriku sendiri dalam hati. Jantungku seolah hendak mendobrak rusukku. Aku mampu merasakan wajahku terasa panas sedangkan Theo masih memandangiku dengan tatapan heran.

“Apa kau serius?”

Ya!  “Ti-tidak… A- aku hanya mencoba menebak pesan itu.” Ujarku gugup yang hanya dibalas anggukan oleh Theo.

“Aku bisa menebaknya. Baiklah, Mia, kurasa aku butuh udara segar. Aku ingin jalan-jalan dulu.”

Aku hanya mengangguk, membiarkannya menikmati malamnya. Apakah Theo marah karena aku mengucapkan itu padanya? Atau dia merasa sungkan? Aku tahu dia sudah memiliki kekasih, mungkin dia keberatan jika ada gadis lain yang menyatakan cinta padanya. Ngomong-ngomong, apakah gadis itu tengah mencarinya sekarang? Membayangkan wajah sombong gadis itu membuatku ingin tertawa.

Aku berkali-kali menguap, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah lima jam Theo pergi, tetapi dia masih belum kembali juga. Aku meraih jaketku, kemudian beranjak untuk mencari lelaki itu. Aku mengitari daerah sekitar rumahku, tapi tidak juga kutemukan batang hidungnya. Aku mencoba mencari kemungkinan dimana ia berada.

Setengah berlari, aku menemukan lelaki itu duduk pada pagar pembatas jalan mengamati pemandangan lautan cahaya yang terpancar dari rumah-rumah yang berjajar. Aku melangkah, mendekati Theo dan berdiri di sampingnya. 

“Ayo pulang. Apa yang kau lakukan di sini?” Ujarku sambil ikut memandangi lampu-lampu yang berkelap-kelip layaknya bintang-bintang di langit.

“Tidak, aku hanya membutuhkan sedikit hiburan. Semua yang terjadi membuatku sedikit bingung.”

“Maafkan aku, Theo.  Jika saja aku tidak menemui penyihir itu, mungkin kau tidak akan menjadi seperti ini.”

“Apa kau yang memintanya untuk merubahku menjadi seperti ini?”

“Tidak… tidak…” Sergahku cepat. “Saat itu aku menginginkan kisah romantis yang tidak biasa, kemudian aku mendatangi stan ramalan. Lalu wanita itu bilang, kejutan itu akan ada pada lelaki yang kulihat pertama kali saat bulan tertutup awan. Dan…”

“Dan aku adalah orang pertama yang kau lihat.” Theo melanjutkan kalimatku yang terputus. Aku mengangguk, dan melihatnya tersenyum getir membuatku yakin sekarang dia pasti membenciku.

“Maafkan aku.”

“Tapi apa kau percaya bahwa ini bukan kebetulan?”

“A-apa?”

“Wanita itu bilang orang yang pertama kali kau lihat, dan itu adalah aku. Kurasa ini memang takdir.”

“Apa maksudmu?”

“Aku mencintaimu, Mia.”

Apa dia tidak salah bicara? Dia baru saja mengatakan bahwa dia mencintaiku? Tapi bukankah dia lari saat aku mengatakan itu padanya?

“Karena kau tidak serius saat mengatakannya padaku tadi.” Ujar Theo yang seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengernyit menatapnya. “Aku kecewa karena kau mengatakan itu bukan karena perasaanmu. Padahal tadinya aku sangat senang.”

“Ini salah Theo, kau sudah punya seseorang. Aku tak ingin mengganggu hubungan kalian.”

“Aku?”

“Vany.”

“Vany? Dia tetanggaku, Mia. Dan tak ada apapun di antara kami. Aku hanya menyukaimu, sejak pertama kali aku melihatmu sebagai mahasiswa baru.”

Aku tak tahu ini pengaruh penyihir itu atau tulus dari hati Theo. Tetapi aku sungguh ingin bersorak sekarang. Theo sang idola menyukaiku?

“Aku… aku juga menyukaimu.” Aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah dalam hatiku. Senyum lelaki itu sangat menular, membuatku tak tahan untuk mengurai senyum yang sejak tadi kutahan. Theo menyentuh jemariku, dan entah mengapa tangannya terasa begitu hangat.

“Hei, jangan bermesraan di pingir jalan.” Teriak seseorang di belakang kami diikuti kilatan blitz yang membutakan mata.

“Kevin, sialan kau. Hentikan!”

“Theo, lama sekali aku tak melihat batang hidungmu. Kemana saja kau?” Tanya Kevin dengan seringaian khasnya. Aku dan Theo saling melempar pandang.

“Kau bisa melihat Theo?”

“Kau pikir aku buta?” Ujar Kevin sambil mengerucutkan bibirnya. Ini adalah sebuah jawaban. Dan aku yakin Theo sudah kembali seperti semula.

“Sebuah gosip, Theo dan Mia. Sampai jumpa teman.” Seringai puas tersungging di bibirnya, kemudian ia pergi meninggalkan kami.

Aku menengadahkan kepalaku, memandangi langin yang bertaburan bintang.

“Halo.” Suara Theo mencuri perhatianku.

“Apa?”

“Itu.” Theo menunjuk ke arah bulan yang bersinar terang. “Cincin yang ada di sekitar bulan.”

Oh tentu saja itu disebut halo. Bagaimana bisa aku sama sekali tak menyadari maksud penyihir itu? Saat halo menyapa cinta.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D