Selasa, 12 Juli 2016

Green Eyed - Chapter 8


Pagi ini, Elena bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah mandi, ia mengintip Nico yang masih tertidur di sofa. Mengingat seorang gadis—ralat, dua orang gadis menyebutnya dengan panggilan ‘sayang’ membuatnya geram. Elena kembali ke kamar, memilih pakaian apa yang akan ia kenakan untuk ke kantor Nico. Oh, Elena bahkan tidak tahu apa nama dan di  mana letak kantornya.

Sebuah terusan berwarna peach tanpa lengan yang akan dipadukan dengan sebuah blazer sempat menarik perhatian Elena. Tapi tidak, itu terlalu pendek. Kembali ia mencari-cari pakaian yang tepat dan nyaman untuk digunakan. Elena mendesah frustasi melihat sekian banyak pakaian di lemari yang sama sekali tidak menarik perhatian. Akhirnya dengan putus asa ia meraih sebuah blue jeans yang dipadukan dengan kemeja putih berkerah China.

Elena membubuhkan bedak tipis dan lipstik yang terkesan natural, kemudian mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Elena mengernyit saat ada suara gaduh yang tiba-tiba senyap. Ia segera berlari ke luar kamar untuk memastikan apa yang terjadi.

“Nico!” Teriak Elena saat melihat lelaki itu mengendap-endap untuk keluar dari rumah. Ia melihat punggung Nico menegak, kemudian perlahan Nico berbalik untuk melihat Elena.

“Kau mau kabur?” Hardik Elena yang membuat Evan terkikik melihatnya.

“Tidak Elena, aku hanya mau pulang untuk berganti pakaian. Nanti aku akan menjemputmu lagi.” Ujar Nico santai.

“Tidak. Kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku.” Tatapan mengancam Elena membuat Nico meneguk ludahnya. “Kak, awasi dia. Awas jika dia sampai kabur.” Elena memperingatkan Evan, kemudian kembali ke kamarnya.

 “Sialan! Matilah aku.” Gumam Nico yang mendapat perhatian dari Evan.

“Ada apa sebenarnya?” Tanya Evan penasaran. Jarang-jarang ia melihat si tuan besar itu bernyali ciut seperti ini.

“Kemarin Sherly menelpon secara ‘tidak sopan’.” Nico menegaskan suaranya pada dua kata terakhir, “dan Elena akan membuat perhitungan.” Lanjut Nico yang ditanggapi kekehan geli oleh calon kakak iparnya itu.

“Ayo, aku sudah siap.” Teriak Elena dengan sepatu hitam bertumit tingginya yang beradu dengan lantai.

“Selamat berjuang, bro.” Evan menepuk pundak Nico untuk memberinya semangat. Ia tahu betul bagaimana sifat posesif adiknya.
***

Elena POV
Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sebuah perusahaan yang sangat besar ini. D’Royale Inc. Aku pernah lewat di depan perusahaan itu beberapa kali, tapi aku tak terlalu memerhatikannya. Bangunan megah dengan eksterior yang indah, membuatku berdecak kagum saat memerhatikannya dengan saksama. Ditambah lagi bos tampan yang berjalan di sampingku, membuatku bangga bisa berjalan bersamanya.

Sesaat aku memerhatikan Nico yang biasanya bergaya kasual tiba-tiba tampak maskulin dalam balutan jas mahal dan sepatu mengkilatnya. Pantas saja sekretaris itu berlaku genit padanya. Aku memerhatikan sekeliling perusahaan tersebut. Karyawan tampak meluangkan waktunya untuk memandangi kami yang berjalan beriringan.

Ha, lihat, aku adalah pasangan bos kalian! Gumamku bangga dalam hati.

Lift sampai di lantai tujuh, aku mengedarkan pandanganku untuk mencari sekretaris genit itu.

“Dimana perempuan itu?” Tanyaku mendesak.

“Siapa maksudmu?” Jawab Nico berpura-pura hingga aku menghadiahkan tatapan jawab-aku-sekarang padanya. “Oke, oke… ikuti aku.” Aku menghentikan langkahku. Membuat Nico juga berhenti beberapa langkah di depanku. 

“Kita jaga jarak. Kau masuklah duluan.” Ya, ini strategi. Aku ingin melihat seperti apa perempuan itu bersikap jika ia tak melihatku bersama dengan Nico. Nico mengangguk, kemudian berjalan dengan tegang. Sebentar lagi akan kuberi pelajaran pada perempuan itu!

“Selamat pagi pak Nico.” Suara genit gadis itu menusuk telingaku. “Lama aku tidak melihatmu.” Gadis itu menyangga dagunya dengan sebelah tangannya. Oke, darahku sudah mulai mendidih, dan jika gadis itu berani macam-macam, aku akan menghajarnya. Bisa kulihat Nico mencari-cariku, namun aku bersembunyi di suatu tempat yang tak terjangkau olehnya.

“Ayo, sebentar lagi pertemuannya, aku akan menyiapkan semuanya.” Gadis itu mulai mengikuti Nico menuju ke ruangannya. Sialan! Aku menghentakkan langkahku, ingin segera membuka pintu yang baru saja ditutup oleh gadis genit itu. Aku tidak rela Nico berada satu ruangan dengannya.

Aku membuka pintu dengan kasar, melihat sebelah tangan Nico yang digenggam oleh gadis itu. Aku tak akan menyalahkan Nico untuk ini, posisinya lebih menguntungkan jika gadis itu yang merayunya. Dan aku yakin Nico tak akan macam-macam karena ia tahu aku bersamanya.

“Apa yang kau lakukan dengan suamiku?”

Apa? Suami kubilang? Ah biar saja, Nico juga pernah melakukannya padaku saat kejadian pemerasan tempo hari. Gadis itu mengernyit, menatap Nico dengan penuh tanya.

“Tidak mungkin.” Gadis itu menggeleng pelan. Dan gelengannya semakin membuat darahku mendidih.

“Kau… kubilang lepaskan tanganmu darinya!” Aku menyentak tangan gadis itu, dan mendorongnya untuk menjauh dari Nico.

“Elena…” Aku mendengar Nico menyebut namaku dan entah mengapa bagiku itu seperti pembelaan untuk sekretaris genitnya itu. Aku berbalik dan menatap tajam Nico, lelaki itu hanya mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

Ini belum selesai!
***
Nico POV
Aku duduk di kursi kebesaranku, aku memeriksa berkas-berkas yang sudah bertumpuk di meja sambil sesekali menatap Elena yang berkacak pinggang mengintimidasi Sherly. Mereka berdua sama-sama berkepala batu dan tak satupun mau mengalah.

“Dasar genit, penggoda suami orang!” Hardik Elena menimpali kalimat pedas Sherly.

“Oh ya? Aku bahkan tidak yakin kalian menikah. Nico tak pernah berkata apapun padaku.” Sherly berbicara dengan nada sarkastis sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah Sherly, membuatku terkesiap. Elena menarik kerah kemeja Sherly dan mengacungkan telunjuknya tepat di wajah gadis itu. Aku ragu harus melerai mereka atau membiarkan urusan para gadis itu berlanjut.

“Kau…”

“Jaga bicaramu, Sherly. Kau tidak pantas berbicara seperti itu pada istri atasanmu.” Akhirnya  aku memilih bicara dari pada muncul korban pembunuhan di kantorku. Kemudian esok harinya, ‘Sekretaris D’Royale Inc ditemukan tewas di ruangan bosnya’ akan menjadi headline di setiap surat kabar. Oke, dan kini aku percaya, Elena tak pernah main-main dengan kata-katanya, termasuk menjadikanku sebagai makanan anjing liar.

“Nah, kau dengar itu?” Ujar Elena dengan senyum kemenangan yang dihadiahi pelototan oleh Sherly. “Sekarang sudah jelas bukan? Dan kau, jaga sikapmu.”

Kulihat wajah Sherly berubah, mungkin campuran malu dan marah. Kemudian ia meninggalkan kami begitu saja. Sungguh aku ingin meminta maaf pada gadis itu. Aku memang selalu menghindarinya karena ia begitu agresif dan itu sangat menggangguku. Namun setidaknya dengan kejadian ini, gadis itu akan memahami posisinya. Entah apa yang dipikirkan ayahku dengan tetap mempekerjakan gadis ini, tentu saja kecuali karena fakta bahwa dia cantik.

“Apa dia memang seperti itu padamu?”

“Begitulah. Dan terima kasih kau sudah mengakui dirimu sebagai istriku di depannya. Aku akan secepatnya mengabulkan semua itu.” Aku mengecup pipinya, menghadirkan semburat kemerahan di wajah cantiknya.

“Baiklah istriku, aku harus menghadiri pertemuan dulu. Tunggu di sini.”
***
Elena POV
Sebentar lagi aku akan mati kebosanan di sini. Tak ada hal berarti yang bisa kulakukan. Aku beranjak meninggalkan kantor Nico setelah mengirimkan pesan padanya bahwa aku akan pulang. Aku berjalan malas, menyilangkan kakiku mengikuti garis lantai. Semua mata tertuju padaku, namun aku tak peduli. Mungkin si sekretaris genit itu sudah menyebarkan gosip ke seluruh perusahaan.

Aku memilih taksi meski Nico memintaku untuk membawa mobilnya. Agendaku panjang. Aku harus menjemput Nico jika aku menggunakan mobilnya dan aku tidak mau acaraku terganggu. Aku ingin belanja, ke salon, membeli novel, lalu… ke rumah sakit.

Rumah sakit.

Entah mengapa aku penasaran dengan keadaan gadis itu. Bagaimanapun juga aku takut kalau-kalau gadis itu bernasib sama dengan seseorang yang kutabrak beberapa waktu yang lalu. Mungkin aku ingin sedikit bertanggung jawab pada gadis itu sebagai bentuk tanggung jawabku pada orang yang meninggal karenaku.

Taksi membawaku ke sebuah rumah sakit yang kudatangi kemarin. Aku melangkah menuju resepsionis, menanyakan tentang sedikit informasi yang kuketahui tentang gadis itu. Kemudian resepsionis menyebutkan ruangannya. 

Jasmine 208.

Aku mengintip sedikit pada kaca di sisi pintu yang memang difungsikan untuk itu. Tak ada seorangpun yang ada di ruangannya. Aku memberanikan diri untuk masuk. Aku mengintip nama pasien yang tertulis pada ranjang, Trisia Arissandy. Gadis itu tampak kurus, wajah tirusnya begitu pucat. Perban melingkar pada tangan kirinya. Selebihnya, semua tampak baik-baik saja.

“Trisia, maafkan kami.” Gumamku pada gadis itu. Aku tahu ia tak mendengarku, dan aku berharap dia memang tak mendengarku. Aku terus memandangi wajahnya, rasa bersalah kembali bergelayut di hatiku. Aku tengah merapikan selimut yang menutupi tubuhnya ketika seseorang berdehem di belakangku.

“Ada yang bisa kubantu?” Suara maskulin itu membuatku menegang. Aku memutar tubuhku, kemudian mataku bertemu dengan seorang lelaki yang mengenakan kemeja merah hati yang memandangku dengan penuh pertanyaan.

“Maaf, aku hanya ingin menjenguknya.” Aku mengamati ekspresinya yang datar dan aku menelan ludahku dengan susah payah. “Maafkan kami atas kejadian kemarin. Em… bagaimana kondisinya?”

“Seperti yang kau lihat.” Kata lelaki itu santai, kemudian berjalan melewati ranjang dan berdiri di sisi lain. “Hanya retak di tangan kirinya dan luka pada bagian belakang kepalanya. Sekarang dia tertidur karena obat.”

Aku bisa melihatnya. Dan syukurlah gadis itu tidak separah yang kukira mengingat bagaimana darah bercucuran di tempat kejadian kemarin. Tapi tunggu… kepala bagian belakang? Apakah itu tidak berdampak pada ingatannya? Semacam hilang ingatan seperti di drama seri picisan setiap sore yang selalu tidak sengaja kutonton.

“Apakah itu tidak mempengaruhi ingatannya? Em… maksudku, seperti di drama-drama, kecelakaan yang melibatkan kepala akan mempengaruhi… ingatannya.” Ucapku ragu. Lelaki itu hanya menaikan sebelah alisnya, membuatnya terlihat… tampan. Oh, tidak, apa aku baru saja terpesona pada lelaki selain Nico? Dia akan membunuhku nanti!

“Kuharap itu terjadi padanya. Tapi sayangnya tidak.” Kata lelaki itu yang membuatku memelototkan mataku secara berlebihan untuknya. Apa-apaan ini? Dia ingin gadis itu melupakannya?

“Kenapa dia… em… mengapa kau berharap seperti itu? Bukankah kau… mencintainya? Ah, maksudku kalian tampak seperti pasangan. Maaf jika aku salah.” Oh, Elena, apa kau sedang mengusik pribadi mereka sekarang?

“Kau melihat bahwa aku mencintainya?”

Tentu saja. Orang buta juga bisa melihatnya! “Begitulah, terkadang orang lain cukup mampu melihatnya dari caramu menatapnya.”

“Mungkin begitu, tapi dia adalah kekasih adikku.” Aku mendadak menghentikan napasku saat lelaki itu tersenyum kecut menatap gadis yang tengah terbaring itu. Elena bodoh! “Adikku mengalami kecelakaan beberapa minggu yang lalu, dan dia tewas. Itu berdampak pada kondisi psikologis Trisia. Saat aku lengah, dia akan mencoba melakukan aksi bunuh diri seperti kemarin. Untuk itu aku tidak menyalahkan kalian, dan aku minta maaf.”

Kecelakaan beberapa hari yang lalu? Meninggal? Tiba-tiba firasat buruk menghantuiku.

“Dimana terjadinya kecelakaan itu?” Aku penasaran. Bahkan rasa penasaranku seolah lebih besar dari alam semesta.

“Sunshine Mall.”

Deg. Dua kata tersebut seolah mampu membuatku mati berdiri. Bagaimana tidak? Aku tak yakin ada kecelakaan lainnya di situ selama aku sedang dalam misi ‘kabur’. Dan benarkah aku yang menjadi penyebab utama rusaknya kebahagiaan mereka?

“Kenapa? Kau baik-baik saja?” Tanya lelaki itu membuyarkan lamunanku.

“Aku baik-baik saja.” Jawabku mencoba tenang. “Baiklah, kurasa aku harus pergi. Aku masih ada urusan.” Pamitku yang ditanggapi dengan senyuman oleh lelaki itu.

Lututku terasa lemas begitu aku keluar dari ruangan itu. Aku berjalan tertatih dan bertumpu pada dinding. Aku merasa seseorang telah menggodam kepalaku. Mengapa aku harus menemui gadis itu?
***
Nico POV
Berulang kali aku mencoba menghubunginya. Tetapi ponselnya selalu berada di luar jangkauan. Entah kemana perginya gadis itu. Aku sempat menghubungi Evan untuk menanyakan keberadaan adiknya, tapi ia pun tak tahu dimana adiknya. Aku mengusap kepalaku kesal.

Pertemuan yang cukup panjang itu membuatku lelah, ditambah lagi dengan sekretaris cerewet yang berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama padaku, disusul dengan hilangnya Elena. Baiklah, ini memang baru tiga jam sejak terakhir kali aku bertemu Elena. Ini mungkin berlebihan, tapi aku merasa ada sesuatu yang mengganjal hatiku.

Aku memutuskan untuk mencari Elena. Tepat saat aku hendak meraih gagang pintu, pintu itu terbuka dengan kasar sehingga mengenai tubuhku. Sial! Saat aku hendak menegur tersangka yang menyakitiku,  seseorang itu justru melingkarkan tangannya di leherku, memelukku dengan erat.

“Elena…”

“Nick, aku sudah menghancurkan hidupnya.” Ujar Elena di tengah tangis sesegukannya. Aku mengernyit tak mengerti. Kemudian aku membimbingnya menuju sofa dan mendengarkan ceritanya. Siapa sangka kebetulan tak masuk akal ini akan menghampiri kami? Mimpi buruk itu seolah kembali lagi menghantui Elena. Membuat luka lamanya kembali terbuka.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D