Senin, 13 Juni 2016

Purple Maple (Lima)


DESAHAN napas Kalila memburu dalam setiap tarikan oksigen ke paru-parunya. Kedua lututnya terasa lemas seperti agar-agar, hingga membuatnya tidak mampu berdiri dengan benar. Ia menelan ludah susah payah sambil bibirnya kembali mengerang tertahan.

“Aku tidak bisa melakukan ini.”

“Ayolah, Lil Princess.” Suara Diego mengalun penuh rayuan setan. “Aku akan melakukannya dengan lembut.”

“Sungguh?” tanya Kalila lemas.

Diego mengangguk meyakinkan, hingga membuat Kalila mengangkat bahu pasrah. Ia memutuskan untuk berhenti berlari untuk kabur. Dan begitu pertahanan gadis itu lengah, ia langsung melesakkan jemarinya dalam balutan bedak tabur di dalam mangkuk yang digenggamnya. Kemudian kesepuluh jemari itu mencoreng kasar wajah Kalila. Hingga gadis itu berteriak kesal karena Diego mengingkari kata-katanya tadi.

“Ah, sial kau, Diego!” umpat Kalila jengkel sambil mengusap-usap wajahnya yang dipenuhi bubuk putih. “Tadi kau bilang akan melakukannya dengan lembut.”

“Jangan mudah memercayai lawanmu, Lil Princess. Dunia ini kejam!” elak Diego diikuti tawa iblis yang membuat Kalila geram. Lelaki itu tetap tertawa seolah tidak peduli bahwa sekarang waktu menunjukkan pukul tiga dini hari.

Bagaimana tidak? Kalila kalah telak dalam permainan poker melawan Diego. Lelaki itu bergitu mudah memasang ekspresi datar. Sementara Kalila tidak bisa menutupi ekspresi wajahnya ketika ia mendapat kartu jelek dan menyeretnya dalam kekalahan. Sekarang ia harus menerima kekalahan dengan wajah berlumur bedak, sementara Diego terbahak atas kemenangannya.

“Berhenti tertawa!” bentak Kalila dengan kekesalan yang memuncak. Kekalahan bukanlah hal yang mudah untuk gadis seperti dirinya. “Tunjukkan di mana kamar mandinya.”

“Buat apa? Jangan cuci wajahmu. Kau lebih cantik seperti itu, Lil Princess,” kata Diego di sela tawanya yang berderai. “Ayo kita lanjut bermain!”

“Tidak! Aku tidak akan sudi bermain poker sialan itu lagi denganmu,” ujar Kalila sambil mendecakkan lidah. Ia mengacak-acak tumpukan kartu yang berlimpap di atas meja, lalu menghentakkan kakinya memasuki dapur. Kemudian membasuh wajahnya di keran tempat mencuci piring.

Begitu kembali ke ruang tengah, Kalila mendapati Diego tidak berada di ruangan itu. Tanpa menolehkan kepalanya, ia melirik cepat ke penjuru ruangan. Ia mencoba mencari lelaki itu tanpa terlihat panik sama sekali. Kemudian matanya menangkap pintu kaca yang mengarah ke balkon dalam keadaan terbuka.

Kalila berjalan perlahan dan waspada. Takut kalau Diego muncul tiba-tiba untuk mengejutkannya lalu memulai kembali tawa iblisnya. Beruntung, kekhawatirannya tidak terjadi. Karena ternyata lelaki itu tengah berbaring santai di atas salah satu sun lounger rotan yang diletakkan berhimpitan di balkon apartemen. Kepalanya menengadah langsung ke arah pemandangan langit malam.

“Oh, hai, Lil Princess,” sapa Diego begitu menyadari kehadiran Kalila. Seulas senyum tulus menghiasi wajah lelaki itu. Detik berikutnya ia menepuk-nepuk sun lounger di sampingnya, memberi tanda agar Kalila berbaring di sampingnya.

Tanpa keraguan seperti sebelumnya, Kalila menurut dan merebahkan dirinya di atas sun lounger. Memandang pada titik-titik kecil yang bersinar samar di atas kanvas hitam.

“Kau ingin kita bermain apa sekarang?”

“Apa pun selain poker.”

Hem,” gumam Diego sambil menimbang-nimbang dalam hati. Sesekali kening lelaki mengernyit dan matanya menyipit. Hingga muncul satu usulan yang menurutnya terbaik. “Bagaimana kalau... Jawab Tiga Detik? Kau tahu, kan, menjawab cepat di antara dua pilihan yang diajukan lawan.”

“Boleh,” sahut Kalila setuju. “Kau atau aku yang lebih dulu bertanya.”

“Kau saja,” jawab Diego dengan bibir berkedut jail. “Aku mencoba mengalah kali ini.”

Sial. Kalila mengumpat dalam hati. Ternyata lelaki ini masih saja sempat mengolok-oloknya. Lihat saja! Kalila yakin ia tidak akan kalah kali ini. Tetapi semakin Kalila mencoba mencari pertanyaan yang sulit dipilih, ia malah menanyakan pilihan paling sederhana.

“Siang atau malam?”

“Siang,” jawab Diego tanpa kesulitan lantas ganti bertanya. “Bulan atau matahari?”

“Bulan.” Kalila tersenyum karena bisa menjawab cepat. “Teh atau kopi?”

“Kopi. Susu atau yoghurt?”

Yoghurt. Tindik atau tato?”

“Tato. Bantal atau guling?”

“Guling. Pantai atau gunung?”

Hem... gunung.” Diego menjawab sedikit bingung karena sebenarnya ia menyukai keduanya. Tanpa menyadari bahwa Kalila menyeringai senang mendengarnya kebingungan. “Syal atau topi?”

“Syal,” jawab Kalila cepat. Terlalu cepat hingga nyaris seperti gumaman.

“Kenapa syal? Bukankah setiap hari kau selalu mengenakan topi?” Rasa penasaran Diego menyela giliran pertanyaan Kalila.

“Diam dan terus saja bermain, Jagoan. Atau kau dianggap kalah karena terlalu banyak tanya,” sahut Kalila ketus. Terang-terangan menolak untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia malah melontarkan pilihan terlalu mudah yang langsung disesalinya. “Piano atau biola?”

“Piano.” Diego menjawab tanpa berpikir. “Buket bunga atau kebun bunga?”

“Kebun bunga. Menara Eiffel atau

“Kenapa kebun bunga?”

Kalila mendengus. Ini terakhir kalinya ia menoleransi rasa penasaran lelaki itu. “Karena bunga tanpa akar itu menyedihkan, Mr. Quidnunc. Sekarang jawab saja pertanyaanku. Menara Eiffel atau Big Ben?”

“Big Ben,” jawab Diego singkat lantas menghela napas panjang. “Aku yang sekarang atau aku yang dulu?”

Kalila menelan ludahnya yang terasa pahit. Dan ia langsung menyadari kekalahannya kali ini, ketika ia kehilangan tiga detiknya yang berharga.
***

“Rileks saja, Lil Princess. Aku tidak akan memangsamu hidup-hidup.” Diego bergumam geli. Ia sudah tidak tahan berada dalam keheningan yang memerangkap mereka dalam perjalanan menuju kampus.

Kalila melempar pandangannya keluar jendela mobil. Ia menarik rapat topinya, mencoba menghindarkan ketegangan yang masih memancar jelas dari sekujur tubuhnya. Mengapa ia harus merasa canggung hanya karena satu pertanyaan itu?

Tadi Diego melompat senang begitu tiga detik terlewat tanpa jawaban dari Kalila. Sementara ia tetap tertegun dan sama sekali tidak menghindar saat Diego mencorengkan bedak ke wajahnya. Lelaki itu mengakhiri permainan mereka begitu saja dan mempersilakan Kalila untuk beristirahat di tempat tidurnya. Sementara Diego sendiri tidur di sofa bilberry-nya.

“Aku tahu kau pasti bingung mendengar pertanyaanku tadi. Tapi lupakan saja. Anggap aku tidak pernah bertanya. Itu hanya bagian dari permainan yang kumenangkan,” tambah Diego lantas terkekeh bangga. Tadi ia menyadari benar perubahan sikap Kalila setelah pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.

“Aku tidak sedang memikirkan itu,” gumam Kalila perlahan. Lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Aku hanya khawatir akan terlambat sampai ke kampus.”

“Itu tidak akan terjadi,” ucap Diego penuh percaya diri. “Aku ini adalah pengemudi yang hebat.”

Untuk membuktikan kata-katanya, Diego menginjak pedal gas sambil menggerakkan setirnya memasuki celah-celah sempit di antara kendaraan yang memadati jalanan di bawah sinar matahari yang cukup terik hari ini. Tidak menghiraukan reaksi Kalila yang langsung mencengkeram kuat sabuk pengamannya. Mata gadis itu terpejam. Sementara hatinya merapalkan doa keselamatan diri.
***

Elliot duduk di salah satu kursi panjang yang diletakkan di depan gedung fakultas. Sebuah buku yang memuat materi kuliahnya siang ini, terbuka di pangkuannya. Ia membaca dengan tekun, walau sesekali ia menyempatkan waktu untuk melirik sekitarnya. Lalu kembali membaca saat seseorang yang dicarinya tidak terlihat.

“Hai!” sapa seseorang sambil menepuk ringan bahu Elliot dan membuat lelaki itu menoleh.

Elliot menoleh dan tersenyum. Ia memandang dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk mengutip penampilan gadis yang duduk di sampingnya. Ikat rambut, jam tangan, kemeja, rok, tas, dan sepatunya semua dalam warna yang senada.

“Jadi, tema hari ini pink, ya?”

Tingtong! Tepat sekali!” seru gadis itu sambil mengacungkan dua ibu jarinya dengan ceria. Tetapi detik berikutnya bibir gadis itu tampak mengerucut saat menunjukkan kesepuluh jemarinya kepada Elliot. “Kuteks pink-ku habis. Yang ada hanya magenta.”


Elliot melirik lalu mengernyit bingung. Ia yakin tidak ada masalah dalam penglihatannya, tetapi warna itu terlihat sama saja di mata Elliot. “Itu juga bagus. Warna apa saja cocok denganmu, Erin,” ujar Elliot kemudian, berusaha menutupi pengetahuan sempitnya tentang nama-nama warna.

Erin tersenyum dan menggigit bibir bawahnya sekilas. Ia harus mengalihkan perhatian sebelum tubuhnya bergerak sendiri untuk memeluk lelaki berlesung pipit ini. “Kau sedang belajar?”

Elliot mengangguk. “Ya. Sedikit.”

Elliot sadar, jika ingin mendekati gadis yang pintar, maka ia harus banyak membaca untuk mengimbangi. Atau setidaknya ia harus banyak belajar agar terlihat pintar. Sehingga tidak akan ada ketimpangan dalam setiap topik pembicaraan mereka nanti.

“Apa kau sudah makan siang?” tanya Erin menunjukkan perhatiannya.

“Belum,” jawab Elliot lantas menggelengkan kepala. “Mungkin nanti setelah kuliah.”

“Kebetulan sekali kalau begitu,” ucap Erin menyembunyikan perasaan senangnya dengan sia-sia. Tanganya merogoh sesuatu dari dalam tas dan menyodorkannya pada Elliot. “Tadi aku sempat memasak sedikit. Makanlah. Supaya kau tidak terlambat makan siang.”

Sepasang mata Elliot tampak antusias menatap kotak makan di tangan Erin. Aroma telur dan keju menguar samar dari balik kotak berwarna pink atau magenta itu. Benar-benar menggugah selera makannya.

“Oh, oh, itu Kal.” Tiba-tiba Erin bergumam dan mengurungkan niat untuk membuka kotak makannya. Gadis itu mengangkat tangan hendak menyapa Kalila yang sedang berjalan menuju pintu utama gedung. Tetapi ada tangan lain yang menurunkan tangannya kembali ke pangkuan.

“Kenapa?” tanya Erin bingung.

“Tolong jangan terlihat dekat denganku jika ada Kal,” jawab Elliot dengan ekspresi serius. Seolah binar ramah yang tadi menghias wajah lelaki itu hanya ada dalam mimpi Erin.

“Memang kenapa?”

Elliot memutar bola matanya, seolah enggan mengucapkannya. “Dia sepertinya tidak terlalu suka.”

Setelah berkata begitu, Elliot sudah melangkah cepat menyambut Kalila dengan senyum yang masih menjadi milik Erin beberapa saat yang lalu. Lelaki itu meninggalkan Erin tertegun dengan tangan lemas menggenggam kotak makan. Sementara hatinya dipenuhi berbagai macam spekulasi.
***

Sepasang mata Kalila perlahan terbuka satu persatu saat merasakan mobil sudah berhenti melaju. Begitu mendapati semuanya masih dalam keadaan utuh, gadis itu menghela napas lega. Ia juga sudah bisa kembali merasakan debaran jantungnya.

“Lihat, kita tiba sepuluh menit lebih cepat,” ujar Diego sambil memandang jam tangannya dengan bangga. “I’m your hero, Lil Princess.”

Hero? Hero jidatmu!” omel Kalila dengan kekesalan yang menguap ke atas kepalanya. “Kau nyaris membunuhku, Diego. Astaga. Jangan pernah lagi kau mengemudi seperti itu.”

Diego tersenyum senang. Sama sekali tidak terpengaruh dengan omelan Kalila yang masih uring-uringan. Ia memandang gadis itu dengan sepasang mata yang bebinar rindu.

“Apa kau lihat-lihat?” Sepasang mata cokelat terang Kalila memelotot galak.

“Aku lebih senang mendengarmu mengomel sepanjang hari, Lil Princess,” ujar Diego sambil mengurai senyum yang lebih manis daripada tiga ton gula batu. “Ketimbang melihatmu terdiam seperti patung hanya karena pertanyaan bodoh yang satu itu.”

Kalila kembali menunduk, sengaja menyembunyikan wajah di bawah bayang-bayang topinya.

“Asal kau tahu, yang mana pun aku. Baik yang dulu atau pun sekarang, selalu menyimpan namamu di hati dan pikiranku, Lil Princess.”
***

Diego menghentikan mobilnya dengan mulus di area parkir gedung Fakultas Hukum. Ia turun dari mobil dengan berbagai senyum yang hinggap dan pergi di sudut bibirnya. Sikapnya itu tentu saja mengundang perhatian beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Menimbulkan kesalahpahaman yang membuat para gadis itu berpikir senyuman itu ditujukan untuk mereka.

Tetapi tidak seorang pun yang berani menunjukkan rasa senang secara terang-terangan. Mereka hanya mengangguk kikuk menjawab senyum Diego. Tanpa berniat balas tersenyum apalagi memberanikan diri untuk menyapa. Karena sudah menjadi rahasia umum jika seorang gadis dengan rambut dicat pirang bertanduk ifrit bisa muncul dari mana saja jika mengetahui seseorang mencoba menyainginya untuk mendekati Diego.

“Diego!”

Sapaan khas diikuti hentakan hak sepatu di lantai langsung terdengar begitu Diego memasuki pintu utama gedung. Suara itu langsung membuat gadis-gadis lain menyingkir dengan cepat. Malas terseret dalam urusan absurd yang membuang waktu.

“Ke mana saja, sih?” tanya Lory lantas mengamit lengan Diego dengan manja. “Kemarin kau menghilang begitu saja. Kau membolos kuliah kemarin siang dan juga pagi ini. Yang paling parah, kau tidak menjawab telepon dan SMS-ku. Aku mengkhawatirkanmu, kau tahu?”

“Ada sesuatu yang harus kuurus,” jawab Diego sekenanya. Tetapi tetap berusaha bersikap ramah. Dalam hati, ia berharap itu cukup untuk menjawab pertanyaan Lory. Sehingga gadis itu tidak perlu menerornya dengan berbagai pertanyaan lain.

Sebenarnya, Diego merasa jemu dengan perhatian Lory yang berlebihan kepadanya. Tetapi ia membiarkan saja gadis itu beredar di sekitarnya. Dan berharap semoga Lory cepat bosan dan pergi dengan senang hati. Sialnya, gadis itu masih juga tidak sadar diri. Sementara Diego tidak bisa bersikap buruk dengan mengusir Lory dari hadapannya. Ia tidak akan mampu. Karena ia tahu benar bagaimana rasa sakit yang akan timbul setelah itu.

“Setidaknya kau harus memberi kabar padaku.” Lory memberengut dengan bibir merah menyala.

“Oke,” jawab Diego sambil tersenyum sopan.

“Omong-omong, kenapa kau datang lebih cepat?” tanya Lory sambil mengangkat tangan Diego. untuk melihat jam tangan yang terpasang di tangan lelaki itu. Alih-alih melihat miliknya sendiri. “Kuliah, kan, baru dimulai jam tiga.”

Diego tersenyum sekilas saat teringat pada wajah Kalila beberapa saat sebelum gadis itu turun dari mobilnya. “Aku hanya ingin mampir ke perpustakaan dulu.”

“Oh.” Bibir Lory membulat kecewa saat jawaban yang diharapkannya ternyata tidak menjadi kenyataan. Dalam dunia harapannya, ia melihat Diego berkata bahwa lelaki itu sengaja datang lebih cepat hanya untuk bertemu Lory. Seperti apa yang dirasakannya selama ini. Kehadiran lelaki itu dengan senyum yang menawan serupa ekstrak papaver somniferum bagi hari-hari Lory. “Apa kau sudah makan siang?”

“Sudah.” Diego menjawab sambil bersusah payah menahan tawa kecilnya. Benaknya memutar ulang sosok Kalila yang tadi menggerakkan sendoknya dengan kikuk seperti robot.

Lory memutar otaknya sekali lagi. Ia masih ingin berada di dekat Diego. Sekaligus ingin menghindari tempat tujuan lelaki itu yang dianggapnya membosankan. Tempat di mana ada larangan untuk bersuara. Padahal ia perlu mengobrol banyak dengan Diego.

“Mau kubelikan kopi?”

Hem... boleh.”

Jawaban itu mengundang helaan napas Lory. Setidaknya ia bisa memiliki banyak waktu sebelum ikut terjebak dalam keheningan perpustakaan hingga jam kuliah mereka tiba.

“Kalau begitu, setelah ke kantin aku akan menyusulmu ke perpustakaan,” pamit Lory lantas disambut anggukan kepala Diego.
***

Lory menghela napas berat saat mendapati suasana kantin yang padat siang ini. Para jiwa yang kelaparan tumpang-tindih duduk mengelilingi meja, berjuang mengisi perut mereka. Beruntung, stan yang menjual kopi tampak lengang. Hanya ada sekitar tiga orang berwajah kusut yang sedang mengantri, menanti kafeina cair itu mengisi kembali semangat mereka.

Tetapi ini lebih baik daripada ruangan penuh buku yang hanya membuat Lory mengantuk. Ia juga masih tidak habis pikir mengapa Diego lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan alih-alih nongkrong di kafe. Apa lelaki itu hanya ingin mendengarkan musik klasik yang mendominasi ruang suara di antara limpapan buku-buku?

Lory tidak cocok dengan tempat seperti itu. Ia lebih cocok berada di tengah keramaian dan menjadi pusat perhatian. Untuk memperlihatkan pada dunia betapa cantik dirinya. Dan hanya lelaki setampan Diego yang pantas bersanding dengannya.

Yang Lory tidak habis pikir, mengapa lelaki itu masih suka bermain tarik-ulur dengannya? Padahal kode yang diperlihatkannya sudah seperti melihat bintang di malam hari. Sangat jelas. Tetapi ia tidak keberatan untuk menunggu sebelum mengambil langkah selanjutnya.

Langkah Lory berhenti seketika di depan pintu kantin. Kakinya yang berbalut wedges denim itu berhenti menghentak lantai. Matanya tidak sengaja menangkap sosok yang tengah berjalan keluar dari gedung Fakultas Ekonomi. Akhir-akhir ini, sensor penglihatannya terhadap bangunan itu memang meningkat tajam setelah kejadian tempo hari.

Maka, Lory mengambil langkah menjauhi kantin, melupakan sejenak tentang kopi. Ia mengubah haluan dan bergerak cepat mendekati orang itu. Jemari dengan kuku dicat berwarna indigo itu mengetuk perlahan bahu gontai di hadapanya.

Orang itu menoleh dengan malas. Tetapi begitu ia melihat Lory, ekspresi suram yang menaunginya perlahan sirna. Bahunya menegak dengan kening yang mengernyit karena sedang menggali ingatan. Sebuah nama muncul di benaknya, dan bibirnya langsung menyuarakan nama itu.

“Lory!” serunya lantas meraih bahu Lory dan menempelkan pipi mereka secara bergantian. “Astaga, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.”

“Sudah kuduga, kau benar-benar Erin,” balas Lory takjub setelah ritual cium pipi kanan-cium pipi kiri di antara mereka sudah selesai. “Tadi aku sempat ragu. Rambutmu berbeda.”

“Oh, ini?” Erin menarik sejumput rambut keriting gantungnya ke depan hidung. “Aku mengeritingnya sedikit. Dan mengecatnya. Walaupun tidak seberani pilihanmu.”

“Tapi brunette cocok denganmu, Erin. Kau tampak lebih cantik dan segar.”

“Terima kasih,” balas Erin sambil menepuk ringan lengan Lory. “Tapi kau selalu jadi yang tercantik. Apalagi rambut pirang itu membuatmu semakin percaya diri.”

Lory tertawa kecil mendengar pujian yang dilontarkan Erin. Detik berikutnya ia sudah mendekat maju dan berbisik di dekat telinga Erin. “Sepertinya kita tidak bisa mengobrol lebih lama di sini. Kau sadar, kan, para lelaki mulai mencuri pandang ke arah kita?”

Erin memutar pandangan dan mendapatkan bukti dari kata-kata Lory. Beberapa lelaki tampak melirik penuh gengsi ke arah mereka. Walaupun ada juga yang cukup berani melemparkan senyum saat mata mereka bersitatap dengan mata Erin.

“Benar, benar,” balas Erin sambil tersenyum miring. “Sebaiknya kita pindah mengobrol di tempat yang lebih nyaman. Kafe mungkin? Kau ada tempat yang recommended?”

Lory mengetuk dagunya dengan jari telunjuk. “Bagaimana kalau Rainbow Cafe?”
***

“Wah, wah, Rainbow Cake pesananmu benar-benar cantik.” Erin berkomentar lantas menyeruput jus stroberi dalam gelas tinggi di hadapannya. Tetapi yang diajak bicara justru terang-terangan tidak mendengarkan. Gadis itu malah celingukan memerhatikan seluruh penjuru kafe.

Erin mencebik dalam hati. Gadis itu masih juga belum berubah rupanya. Sama seperti dahulu. Selalu merasa jadi yang lebih cantik dan lebih baik.

Sejak dahulu, Erin sadar benar bahwa ia mudah sekali menarik kekaguman orang-orang di sekitarnya. Parasnya yang cantik dengan mudah membuat banyak lelaki menyatakan cinta kepadanya. Tetapi ia bersikap sangat pemilih dan menolak semua lelaki yang menurutnya tidak menarik. Erin merasa dirinya sangat berharga dan satu-satunya di dunia.

Sampai akhirnya ia bertemu Lory.

Mereka bertemu pertama kali saat berada di kelas yang sama dalam sebuah lembaga bimbingan belajar. Dan baru kali itu, Erin menemukan seseorang yang tampak seperti duplikat jiwanya yang sempurna. Hanya saja aura mengintimidasi yang dimiliki Lory, tidak ada dalam diri Erin. Itulah yang membedakan mereka berdua. Maka, Erin tidak menampilkan rasa persaingannya secara terang-terangan. Ia memilih menjadi sekutu Lory. Mereka sering pergi bersama setelah jam bimbingan belajar usai. Membahas tentang perawatan kecantikan, tren fashion terbaru, atau membicarakan gosip terhangat seputar aktor tampan Hollywood.

“Apa, sih, yang kau cari?” tanya Erin sambil menyentuh lengan Lory. Ia mulai kesal karena tidak diperhatikan.

Kali ini sepertinya, Erin berhasil menarik perhatian Lory yang akhirnya berhenti celingukan. “Waktu itu aku pernah melihat seorang pelayan yang memiliki mata hijau. Seperti orang Eropa.”

“Kau yakin itu bukan lensa kontak?”

“Sepertinya bukan, karena itu kelihatan asli. Makanya, aku ingin tahu pendapatmu,” jawab Lory lantas menyesap espresso-nya. “Tapi itu tidak penting sekarang.” Lory mengibaskan tangannya di udara. “Omong-omong, sudah lama, ya, rasanya kita tidak nongkrong cantik seperti ini.”

Kepala Erin mengangguk setuju. “Benar, benar. Terakhir kali sepertinya... tiga hari sebelum ujian akhir.”

Tidak seorang pun di antar mereka yang berniat melanjutkan hubungan setelah berpisah dari lembaga bimbingan belajar itu. Begitu jadwal les mereka berakhir, maka pertemanan mereka juga ikut berakhir. Lory dan Erin memang terlihat akrab di permukaan. Padahal jauh di dalam hati, mereka adalah rival abadi. Itu yang membuat Erin tidak menyangka, Lory mau merepotkan diri untuk menyapanya tadi.

“Jadi, kau kuliah di Fakultas Ekonomi, ya?”

Erin mengangguk. Telapak tangannya menangkup gelas dengan permukaan yang dipenuhi titik-titik air, yang kemudian mengantarkan sensasi dingin pada kulit gadis itu. “Jurusan Manajemen.”

“Oh,” gumam Lory tidak terlalu peduli. Tidak terlalu penting di jurusan apa Erin kuliah. Bukan itu tujuannya menyapa teman lamanya itu. “Apa kau mengenal seorang gadis tinggi... bermata cokelat....”

Kepala Erin dimiringkan ke salah satu sisi. Keningnya mengeryit mencoba memahami deskripsi terbata-bata yang diucapkan Lory. Erin bisa menebak bahwa siapa pun gadis yang dimaksud Lory, pasti bukanlah seseorang yang dikenal Lory. Mungkin hanya seseorang yang tidak sengaja berpapasan dengan Lory di jalan, tetapi karena suatu halyang biasanya sepeleorang itu sudah mengundang rasa jengkel Lory.

Hem... matanya berwarna cokelat terang dan...” Lory mengetuk-ngetuk dagunya, seolah ada tombol pengingat tertanam rahasia di sana. “Sepertinya sering mengenakan topi.”

Erin mengutip deskripsi itu dalam kepalanya. Dan dalam sekejap otaknya menerbitkan sebuah nama yang paling sesuai untuk deskripsi itu. Atau itu hanya efek karena ia terus memikirkan gadis itu dalam beberapa menit terakhir?

“Apa dia mengenakan coat atau parka seperti dalam katalog musim gugur?”

Lory mengangguk untuk membenarkan.

Perasaan ragu berangsur menghilang dari hati Erin. “Apa itu... Kal? Maksudku, Kalila.”

“Kalila?” ulang Lory seolah ingin menghafal nama itu dengan baik. “Apa dia terlihat seperti tidak memiliki sepatu selain chukka boots?”

Tidak salah lagi. “Iya, iya. Itu dia,” jawab Erin sambil menunjuk sesuatu di udara. “Pasti Kalila yang kau maksud.”

Ck. Jadi, nama Kancil Genit itu Kalila,” gumam Lory geram, lalu memandang ke luar jendela kafe. Mendadak deretan pohon di pinggir jalan tampak begitu menyebalkan.

“Kancil Genit?” tanya Erin mulai merasa tertarik. Pasti ada sesuatu yang penting hingga Lory memberikan epitel kesayangan untuk orang yang spesial itu. “Memang ada apa?”

Lory mengembalikan tatapannya ke hadapan Erin. Wajah gadis itu tampak lebih menyeramkan sekarang. Gurat kekesalan mencuat dengan jelas tanpa berniat untuk bersembunyi.

“Kancil Genit bernama Kalila itu,” ucap Lory sambil menyebut nama itu penuh kebencian. “...mencoba menarik perhatian pacarku dengan cara yang licik.”

“Pacar?” tanya Erin heran, sedikit merasa lucu. “Sejak kapan kau menyebut seorang lelaki dengan sebutan ‘pacar’? Dulu kuingat kau masih sering menyebut ‘cecunguk’ atau ‘curut’. Apa kali ini kau serius? Jadi, kau sudah menemukan tambatan hatimu?”

Lory berdecak kesal lantas mendenguskan tawa angkuh. Walaupun rona malu tidak bisa ditutupinya dengan bedak setebal apa pun. “Ralat, maksudku ‘cecunguk yang sedang dekat denganku akhir-akhir ini’. Tapi kita sama-sama tahu, kan, menaklukkan hati cecunguk itu semudah membalikkan telapak tangan,” kata Lory sambil memperagakan ucapannya dengan membalikkan telapak tangan di hadapan Erin. “Cecunguk yang satu ini hanya sedang bermain jual mahal saja. Tinggal menunggu waktu, dia akan merangkak di bawah telapak kakiku.”

Erin diam-diam memutar bola matanya mendengar omong kosong Lory. Selalu begitu. Gadis ini terlalu gengsi untuk mengakui bahwa ia sedang jatuh cinta. Mungkin bagi Lory yang terbiasa dicintai, perasaan itu terkesan menjijikan.

“Jadi, dalam hal ini, Kal tiba-tiba terlibat dalam kedekatan kalian?”

“Ini bukan ‘tiba-tiba’, Erin. Aku yakin Kancil Genit itu sengaja,” ujar Lory lalu menyuapkan rainbow cake ke mulutnya. “Dan sialnya, dia berhasil. Aku pernah melihat Diececunguk itu pergi menuju fakultasmu. Pasti mereka bertemu diam-diam di sana.”

Erin mengetukkan ujung kukunya dengan ritme yang teratur di atas meja. “Kalau begitu, kita berada di situasi serupa.”

“Apa maksudmu?” tanya Lory dengan pandangan lurus ke arah mata Erin yang berkilat sinis.

“Aku juga sedang dekat dengan seorang lelaki belakangan ini,” jawab Erin memulai ceritanya. “Tapi tiba-tiba lelaki itu memintaku menjauh kalau ada Kal di dekat kami. Aku jadi mengira-ngira, apa yang sudah dikatakan Kancil Genitmu itu kepada Elliot.”

Lory mengangkat dagunya sambil mempertahankan pandangannya yang saling mengunci dengan teman lamanya itu. Entah mengapa untuk urusan semacam ini, mereka begitu mudah untuk saling mengerti. Seolah hanya dengan tatapan mata, mereka bisa saling membaca hati lawan bicaranya. Itu terbukti dengan seringai manis yang tersungging bersamaan di bibir kedua gadis itu. Sebelum salah satu dari mereka kembali bersuara.

“Mungkin kita perlu bekerja sama untuk memberi Kancil itu sedikit pelajaran.”
***

Lory tiba kembali di kampus tujuh menit sebelum kuliah dimulai. Ia memutuskan untuk langsung menuju ke kelasnya di lantai tiga. Dan seperti dugaannya, lelaki yang ada di pikirannya saat ini sudah duduk di dalam kelas bersama segelintir orang yang hanya menjadi figuran. Bagi Lory, hanya Diego satu-satunya lelaki yang berhak masuk di bingkai pandangnya.

“Maaf, ya. Aku pergi terlalu lama,” ujar Lory dengan kedua alis nyaris menyatu penuh sesal.

Diego mengangkat perhatian dari ponsel dalam genggamannya, lalu menyimpan benda itu ke dalam saku. Seulas senyum simpul muncul di bibir lelaki itu. Entah karena sesuatu yang ditampilkan layar ponselnya atau karena senang melihat kedatangan Lory. Dan Lory lebih memercayai dugaan yang kedua.

Seperti biasa, Lory langsung mengambil tempat duduk tepat di samping Diego. Ia meletakkan gelas kertas berisi kopi yang dijanjikannya ke atas meja lelaki itu. Tidak lupa, disertai senyuman yang paling memikat. “Silakan, kopimu.”

“Terima kasih,” ujar Diego lantas membuka tutup gelas itu dan menyesap isinya.

Lory menumpukan sikunya ke atas meja untuk menyangga pipinya dengan telapak tangan. Matanya memerhatikan secara saksama setiap gerakan yang diambil Diego. Bagaimana detik-detik bibir lelaki itu bersentuhan dengan bibir gelas, membuatnya tanpa sadar menahan napas.

Lelaki ini masih saja melanjutkan permainan jual mahalnya. Lory yakin benar bahwa Diego hanya berpura-pura tidak peduli padanya. Padahal jauh di dalam hati Diego, ia pasti bertanya-tanya ke mana Lory pergi tadi. Tetapi ia hanya memilih diam alih-alih bertanya langsung. Apa Diego takut dianggap sebagai lelaki posesif, huh?

“Ada apa?” tanya Diego sambil menjilat sisa kopi di bibirnya. “Kenapa melihatku seperti itu?”

“Eh?” Lory gelagapan karena tertangkap basah sudah mencuri pandang ke arah Diego. Semburat merah menyebar cepat di bawah blush on yang dipoleskannya tadi pagi. Cepat-cepat ia mengalihkan perhatian dengan mengambil buku dari dalam tas. “Tidak apa. Aku hanya ingin cerita bahwa tadi aku bertemu dengan seorang teman lama. Kami keasyikkan mengobrol di kafe.”

“Oh.” Diego menggedikkan bahunya sekilas lalu kembali meminum kopinya. “Baguslah kalau begitu.”

Lory mengernyit bingung mendengar tanggapan Diego yang menurutnya dingin seolah tidak peduli. Oh, oh... jangan-jangan Diego mengira temannya itu seorang lelaki? Dan apa itu membuat Diego cemburu? Sepasang mata Lory berbinar-binar senang karena spekulasinya sendiri.

“Temanku perempuan, kok. Jadi kau tidak perlu khawatir.”

Memang apa yang perlu dikhawatirkan? Diego bergumam dalam hati, lalu sekali lagi menyesap kopinya tanpa suara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D