Rabu, 08 Juni 2016

RabuRabuChallenge - After Blackout

Ada rindu dan juga ketakutan di mata lelaki itu. Ia merindu gadis yang sosoknya selalu bisa dilihatnya. Walau hanya secara sepihak. Tetapi ia juga takut jika tiba-tiba saja gadis itu akan meninggalkannya. Ia takut jika mata gadis itu akan tertutup selamanya. Dan menenggelamkannya dalam kubangan hitam kesedihan.

Seperti dongeng yang selalu dituturkan gadis itu saat mereka masih kecil.

‘Sang putri terbangun dari tidur panjangnya setelah mendapat ciuman cinta sejati dari sang pangeran. Dan akhirnya, mereka hidup bahagia selamanya.’

Sederet kalimat itu mengalir deras dalam benak lelaki itu. Lengkap dengan suara cempreng khas gadis kecil. Kemudian ia mengalihkan pandangan menatap nanar pada gadis yang terbaring tidak berdaya di hadapannya. Gadis itu adalah gadis yang sama dengan gadis kecil yang sering membacakan dongeng kepadanya saat mereka masih anak-anak.

Dan mirisnya, keadaan gadis itu saat ini mirip seperti tokoh putri dalam dongeng favoritnya.

Sudah sebelas bulan. Dan selama itu pula Giselle tertidur di atas tempat tidur rumah sakit dengan berbagai alat yang terpasang pada tubuhnya. Tubuhnya tergeletak tidak berdaya dengan kulit yang pucat. Sering kali lelaki itu berharap bisa menggantikannya menanggung semua rasa sakit itu.

Sanak saudaranya, teman-teman, dan juga rekan-rekan sesama model sering datang untuk menjenguk. Mereka semua mendoakan kesembuhan Giselle. Berita tentang musibah yang menimpa Giselle dan orang tuanya memang sudah diketahui banyak orang. Itu juga yang membuat Gabriel—kakak Giselle, langsung terbang pulang meninggalkan kuliahnya di Indonesia.

Bahkan wartawan dari beberapa media cetak pernah datang demi meliput perkembangan kesehatan Giselle. Gadis itu memang cukup dikenal sebagai model perempuan yang berprestasi. Tetapi Gabriel  selalu menolak kedatangan para pemburu berita itu.

“Giselle,” lelaki itu berbisik memanggil gadisnya. Entah mengapa, walaupun ia bisa melihat sendiri bahwa kedua mata itu masih terpejam, tetapi ia yakin bahwa gadis itu masih di sini. Ia merasa yakin Giselle berada di dekatnya.

Dan lelaki itu berharap gadisnya bisa mengerti betapa ia menginginkannya untuk kembali. Ia rela melakukan apa pun untuk membuat gadis itu kembali terbangun.

Apa pun. Termasuk mengecup bibirnya seperti pangeran yang memberikan ciuman cinta sejati untuk membangunkan sang putri dari kutukan.

Sayangnya, cara itu benar-benar hanya ada di dalam dongeng. Logika sudah berkali-kali memberi peringatan sebelum lelaki itu melakukan tindakan konyol yang terlintas liar dalam benaknya. Tetapi perasaannya terus saja memberi dukungan bahwa tidak ada salahnya mencoba.

Lalu sekarang apa? Giselle belum juga terbangun. Dan ia sendiri sudah menjadi lelaki berengsek karena mencium seorang gadis yang sedang tidak berdaya.
***

Sebuah ketukan ringan di bahu lelaki itu, membuatnya terjaga seketika. Entah sejak kapan ia sudah terlelap berbantal lengan di tepi tempat tidur Giselle. Ia mendongak dan mendapati Gabriel berdiri di sampingnya. Sepasang mata lelaki itu tampak lelah dan sendu menatap keadaan adik gadisnya.

“Beristirahatlah sejenak, Giberto. Biar aku yang menjaga Giselle.”

Gilberto mengangguk patuh. Ia bangkit dan membiarkan Gabriel menduduki tempatnya. Ia menatap sekilas ke arah Giselle sebelum bergerak menuju kamar mandi.

Berkali-kali, Gilberto membasuh wajahnya dengan air yang mengucur dari keran wastafel. Titik-titik air tertinggal di sudut-sudut wajahnya. Bergelayut di antara bakal janggutnya yang semakin lama tidak mengenal pisau cukur.

Perasaan bersalah menamparnya berulang kali saat mengingat kembali apa yang sudah dilakukannya tadi. Ia merasa bersalah pada Gabriel. Orang yang sudah memercayakan Giselle padanya.

Dan terutama lebih buruknya lagi. Ia merasa bersalah pada Giselle. Bagaimana mungkin ia tega bertindak tidak senonoh pada gadis yang dicintainya itu.

Gilberto menundukkan kepalanya dalam-dalam, sebagai bentuk penyesalan atas perbuatanya. Kemudian ia kembali memanjatkan doa agar gadis itu kembali membuka matanya. Kembali sehat dan ceria seperti yang dikenalnya selama ini. Kembali kepada semua orang yang menunggunya. Kembali kepada Gilberto untuk mendengarkan pernyataan cintanya.

Ya. Gilberto telah jatuh cinta pada teman masa kecilnya. Tetapi ia sendiri tidak tahu sejak kapan perasaan di dalam hatinya ini berubah menjadi cinta. Mereka terlalu sering bersama sehingga ia tidak bisa dengan cepat mengenali perubahan reaksi hatiku terhadap kehadiran gadis itu.

Tetapi jika ciumannnya bahkan tidak bisa membangunkan Giselle, apakah itu berarti bahwa gadis itu bukanlah cinta sejatinya?

Jantung Gilberto seakan dihujam ribuan anak panah ketika memikirkan kemungkinan itu. Tetapi jika memang itu benar, ia rela. Ia tidak akan menghalangi Giselle untuk menemukan cinta sejatinya. Mungkin ia akan merasa cukup dengan mengungkapkan perasaan terpendamnya pada Giselle. Ia sudah tidak lagi peduli pada dirinya sendiri. Ia hanya ingin gadis itu kembali.
***

Gabriel sudah pergi beberapa saat yang lalu, mengembalikan kursi di samping tempat tidur Giselle kepada Gilberto. Lelaki itu selalu menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Mengurus banyak hal yang ditinggalkan orang tuanya. Mencari pelipur lara di antara kesibukannya. Seolah semua itu mampu menyembuhkan duka di hatinya.

Gilberto mengulurkan tangannya dan membelai ringan pipi Giselle yang semakin tampak pucat. Seperti bulan yang kehilangan cahaya dan membiarkan bumi menghitam dalam kegelapan abadi.

Seperti dunia Gilerto saat ini.

Seperti dunia Gilerto tanpa senyuman Giselle.

Seperti dunia Gilerto tanpa dongeng yang harus didengarnya berulang kali.

“Kumohon, jangan tinggalkan aku....” Gilberto meraih dan mengecup punggung tangan  Giselle penuh harap. Bahkan ia tidak lagi mampu menghalau air matanya. “Aku mencintaimu, Giselle. Kumohon kembalilah....”

Tiba-tiba saja Gilberto merasakan jemari Giselle bergerak lemah dalam genggamannya. Sontak ia berdiri dari duduknya untuk memastikan bahwa ini bukan bagian dari khayalannya. Benar saja. Mata gadis itu terbuka walaupun tampak redup.

“Giselle,” panggil Gilberto dengan harapan yang masih bergayut berat. Ia memberanikan diri walaupun ada kemungkinan bahwa suaranya sendiri akan berkhianat dan membuatnya sadar jika saja ini hanyalah mimpi.

Tetapi gadis itu seolah mengerti keraguan Gilberto. Maka, ia menjawab dengan mengerjapkan matanya perlahan. Dan memaksa lelaki itu untuk menerima bahwa ini adalah kenyataan.

Ada rindu dan juga ketakutan di mata lelaki itu. Ia sangat merindukan gadis yang terbaring sambil menatapnya tanpa ekspresi yang kuat. Tetapi ia juga merasa takut jika apa yang dilihatnya saat ini hanyalah bagian dari ilusi yang muncul karena ia terlalu berharap. Tetapi kemudian gadis itu mengulas senyum tipis, seolah ingin meyakinkan lelaki yang ternganga menatapnya. Senyuman itu nyatanya mulai melukiskan warna-warna ceria di atas tumpahan cat hitam dalam kanvas hidup Gilberto.

Gemetar, tangan Gilberto menekan tombol di samping tempat tidur.

“Dokter, dia sudah sadar! Dia sudah sadar!” seru lelaki itu sarat akan rasa haru sekaligus senang.

Begitu para pengabdi medis berpakaian serba putih itu memasuki ruangan, ia bergerak keluar untuk memberi ruang bagi pekerjaan mereka. Kakinya mondar-mandir di koridor yang dipenuhi aroma disinfektan. Sementara tangannya menggenggam ponsel yang ditempelkan di telinga, menunggu panggilannya tersambung.

“Halo?”

Sesaat, lelaki itu seperti kehilangan suaranya. Tetapi beberapa detik kemudian, ia sudah bisa berkata cepat tanpa terkendali. Walaupun ia terus mengulang kalimat serupa.

“Dia sudah sadar! Gabriel, dia sudah sadar! Giselle sudah sadar!” ucapnya dengan suara garau, merasakan kabut hitam berangsur hilang diembus cahaya yang berpendar menjelma warna pelangi. Menghapus ketidaksadaran yang direnggut kegelapan.



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D