Rabu, 08 Juni 2016

RabuRabuChallenge - Whiter Than White

Keluarga, haruskah yang dinamakan keluarga adalah orang yang memiliki darah yang sama? Jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang damai, bukan ditengah kekacauan ini. Aku tak akan mengelak jika aku dianggap turut andil dalam kekacauan ini. Aku cukup tahu diri dengan tidak menganggap diriku sebagai satu-satunya malaikat dalam keluargaku.

Kurasa siapapun akan keberatan jika dihadapkan pada ayah yang tukang judi, ibu yang menjadi simpanan beberapa pejabat tinggi negara, adik laki-laki yang menjadi buronan lantaran aksi perampokan bank negara beberapa minggu yang lalu.

Apa yang bisa kubanggakan saat orang lain menanyakan status sosial dan pekerjaan orang tuaku? Apakah aku harus mengatakan bahwa ayahku investor sebuah perusahaan dengan saham yang bercecer dimana-mana? Atau ibuku yang merupakan istri pejabat negara? Tidak, bahkan ketika aku memuliakan pekerjaan mereka, tak akan ada sedikitpun perhatian mereka. Keegoisan dalam keluargaku bagaikan sebuah pembatas tak kasat mata yang menjadikan kami bagai orang lain yang terikat dalam seutas tali yang disebut keluarga.

Aku menggesekkan kakiku pada tanah, menuliskan huruf acak untuk mengisi waktu. Sepuluh menit telah berlalu sejak aku memutuskan duduk di bangku bercat putih itu. Seseorang yang kutunggu tak juga muncul batang hidungnya. Aku masih memerhatikan sepatu biru tua milikku yang masih bergerak gelisah. Kemudian sepasang sepatu berwarna merah berhenti tepat di hadapanku.

Mataku bergerak naik memerhatikan pemilik sepatu tersebut dengan efek slow motion yang mendramatisir. Rambut merahnya menjuntai panjang hingga ke pinggangnya. Tampak kontras dengan terusan putih yang dikenakannya.

“Maaf, aku terlambat, Angga.” Ujar gadis itu dengan senyum menawan di wajahnya. Ini adalah hal kedua yang kusukai darinya setelah kecantikannya. Linda, anak direktur utama perusahaan asuransi terbesar se-Asia. Pencapaian yang luar biasa ditengah keharmonisan keluarga seperti yang aku impikan selama ini.

“Tidak apa-apa, Linda. Kau tampak cantik dengan pakaian putih itu.” Aku tersenyum menatap matanya yang berbinar.

Apa yang bisa kudefinisikan dari warna putih selain murni, bersih atau suci? Jika putih adalah keluarga Linda, maka hitam adalah keluargaku. Entah kapan aku bisa hidup damai dalam kesucian dan kemurnian dari sebuah keluarga.

Aku menggamit jemari Linda, melangkah sejajar menuju suatu tempat yang telah kami sepakati. Merasakan deruan angin yang membawa ombak menghantam karang. Kami duduk di sebuah tebing membiarkan cipratan-cipratan air laut membasahi tubuh kami.

“Aku tak pernah merasa sedamai ini.” Ujar Linda sambil memejamkan matanya.

“Aku senang kau menikmatinya.” Aku mengeratkan genggamanku pada jemari Linda.

Pakaian kami semakin basah, hingga aku memutuskan untuk membawa Linda menjauh. Namun sayang, keadaan yang tidak menguntungkan membuat Linda terpeleset hingga terjatuh.

“Linda!!” Teriakku saat gadis itu terjun bebas dan menghantam karang di bawah sana. Seketika pakaian Linda berubah warna semerah darah. Aku mengusap wajahku gelisah lalu berlari untuk mencari pertolongan.
***

Linda, gadis itu telah pergi. Tetapi, tak ada alasan yang membuatku terpuruk dalam kesedihan selama berbulan-bulan. Aku menyesap secangkir kopi, kemudian seorang gadis menarik kursi dan duduk di hadapanku.

“Apa kau sudah lama menunggu?” Tanya gadis itu sambil meletakkan tasnya di atas meja.

“Tidak, Risty. Kau akan mengajakku kemana hari ini?”

“Aku ingin membeli pakaian. Ayahku memberi ini kemarin.” Kata gadis itu sambil menunjukkan sebuah kartu kredit unlimited. Tak heran, ayahnya yang merupakan konglomerat begitu mencintai anak semata wayangnya.

“Beruntung sekali hidupmu.” Ujarku sambil tersenyum senang.

Kami memilih sebuah mall untuk menjadi tujuan Risty berbelanja. Sudah tiga jam kami berputar-putar dengan delapan kantong belanja yang memenuhi kedua tanganku.

“Aku lelah, Risty.” Ujarku yang semakin mirip pembantu daripada seorang pacar.

“Tunggu, Angga. Ini yang terakhir. Bagus, tidak?” Tanya Risty sambil menunjukkan sebuah kemeja tanpa lengan berwarna putih.

Aku mengangguk, “Bagus. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat besok sore. Pakailah kemeja itu.”
***

Sore ini, Risty terlebih dulu menungguku. Sebuah kemeja putih dipadukan dengan celana bermotif bunga menambah kesan modisnya. Aku menggandengnya menuju tempat favoritku, tak jauh dari tempat kami bertemu.

Aku berdiri di atas tebing, menyaksikan Risty yang berdiri membelakangiku dan berpose layaknya patung Christo Redentor.

“Aku sangat beruntung bisa menyaksikan ini.” Kata gadis itu dengan suara riang.

“Kau dipenuhi keberuntungan, sayang.” Balasku yang kemudian menyentuh pundaknya.

Namun entah mengapa gadis itu justru terjun bebas ke bawah sana, hingga suara teriakannya terhenti tepat saat darah memancar di sekitar tubuhnya.

“Risty!!” Teriakku saat menyadari tubuh gadis itu telah tergeletak di bawah sana. Aku berbalik, untuk mencari pertolongan, namun seseorang berdiri menghalangi langkahku.

“Minggir, aku harus mencari pertolongan.” Ujarku berusaha menghindari tatapan menyelidik seorang gadis di hadapanku.

“Untuk apa? Bukankah kau sengaja melakukannya?” Tanya gadis itu.

“Sengaja? Untuk apa? Jangan berbicara yang tidak-tidak.”

“Aku sudah mengamatimu sejak setahun yang lalu. Kau membawa empat gadis berbeda dengan akhir seperti ini.”

Aku tercengang menatap gadis itu, “Aku tak mengerti, apa maksudmu?”

“Aku tahu semuanya. Aku anak penjaga tempat ini. Dan sejak kau membawa teman ketigamu, aku menjadi yakin betul bahwa kau adalah orang yang sama yang mendorong gadis-gadis itu. Tapi aku masih tak mengerti dengan tujuanmu.”

Aku menggertakkan gigi menahan amarah yang hampir menguasai diriku. Aku tak menyangka bahwa tindakanku seceroboh ini. Aku yakin betul tak seorangpun ada di tebing saat aku mendorong mereka.

“Aku benci melihat mereka bahagia.” Ujarku dengan suara berat. “Mereka hanya anak manja, aku benci melihat mereka.”

“Lantas mengapa kau mendekati mereka?”

“Aku hanya ingin melampiaskan apa yang kurasakan selama ini. Harus mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup. Bahkan, kelaparan meski ada makanan di depan mataku. Kau tahu kenapa? Karena keluargaku dipenuhi amarah dan keegoisan. Yang menjadi milik mereka tak akan pernah menjadi milikku. Aku menyesal harus dilahirkan dalam kekacauan itu. Dan aku benci melihat gadis-gadis sombong itu begitu mudahnya mendapatkan apa yang mereka mau dari keluarga mereka!”

“Kau hanya iri. Tapi tidak seharusnya kau melakukan semua itu.” Ujar gadis itu yang lagi-lagi menyulut emosiku.

“Kau tidak akan mengerti!” Hardikku seraya mencengkeram kerah kemeja ungu miliknya. “Jangan ikut campur dengan urusanku atau kau akan berakhir sama dengan mereka.” Aku menyeret gadis itu ke ujung tebing, bersiap mendorongnya agar jiwanya tenang menemani Risty di bawah sana.

“Silahkan jika kau mau melakukannya, Angga.”

Mataku terbelalak menatap gadis yang balik menajamkan pandangannya padaku. Mengapa ia mengetahui namaku? Aku tak pernah merasa pernah mengenal gadis ini sebelumnya. Aku melonggarkan cengkeramanku, mencoba menggali ingatan tentang gadis di hadapanku.

“Siapa kau?” Tanyaku penasaran.

“Apa kau tak mengingatku?” Kata gadis itu sambil mengernyitkan dahinya. Aku menatap wajahnya yang berkulit pucat dan rambut pirang gelapnya yang melambai-lambai diterpa angin.

Aku hanya menggeleng. Ingatan payahku tak cukup mampu menunjukkan siapa gadis itu.

“Aku mengerti apa yang kau rasakan.” Ujar gadis itu lagi. “Aku juga sama buruknya denganmu.”

“Tidak. Kau tidak tahu apapun.”

“Keluargaku hancur setelah ayahku sakit parah dan meninggal, kemudian ibuku meninggalkanku dan adikku karena hidup kami yang tak lagi sama. Lalu aku...” mata gadis itu tampak berkaca-kaca saat memberikan jeda pada ceritanya, “Aku meninggalkan adikku di sebuah stasiun saat ia masih sangat kecil. Menanggalkan segala tanggung jawabku dan menghilang. Hingga penjaga daerah tebing ini mengangkatku sebagai anak.”

Tiba-tiba secercah ingatan mulai menyentuh ingatanku. Beberapa tahun yang lalu, aku duduk di pinggiran tebing. Lalu kulihat seorang gadis kecil menangis sambil memeluk lututnya. Gadis bergaun merah yang menerawang jauh, menatap matahari senja yang nyaris ditelan lautan.

Dia berkata bahwa dia telah melakukan dosa besar, dia telah membuang adiknya, satu-satunya keluarga yang bisa diharapkannya. Saat itu, aku mengaitkan jari kelingkingku dengan miliknya. Aku berjanji untuk membantunya mencari adik kecilnya. Aku ingat, saat itu aku juga berjanji padanya untuk menjadi keluarganya. Namun aku melupakan janjiku dan meninggalkan gadis itu sendiri.

“Rossa...”

“Aku senang kau mengingatku, kak.”

Gadis itu tersenyum lebar, kemudian memelukku dengan erat hingga membuatku nyaris terjatuh. Sejenak, hatiku luluh karena gadis kecil, satu-satunya orang yang menganggapku keluarga itu kini telah tumbuh menjadi gadis jelita yang masih setia dengan janjinya.

“Jangan lakukan itu lagi, aku akan tetap menjadi keluargamu. Mari kita mulai segalanya dari awal. Mengubah segalanya menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Kita akan lalui semua ini bersama-sama, kak.”

Kurasa racun di otak dan hatiku terlalu pekat, bahkan seorang malaikat semurni Rossa, tak akan mampu mengubah diriku yang terlanjur penuh dosa ini. Aku menarik bibirku, memandangi gadis di hadapanku yang mulai berurai air mata. Mungkin aku bisa mencobanya.
***

Langit senja memancarkan semburat kemerahan, menjadi latar pemandangan seorang gadis bergaun hitam dengan rambut pirang gelap alami yang tergerai indah. Gaun panjangnya berkibar diterpa angin, menampakkan kaki telanjangnya yang menapak di atas tebing yang biasa kusinggahi. Aku mematri langkahku, memerhatikan sosok yang mulai membuatku bimbang.

“Apa yang kau lakukan disitu? Kemarilah, kak.” Suara lembut gadis itu membelai telingaku, menyadarkan lamunan hampa yang sedari tadi mengganggu aktivitasku.

“Kau sendiri?” Aku mulai melangkah, menyejajarkan diriku di sampingnya. Gadis itu tumbuh dengan baik. Bahkan tingginya sudah nyaris melampaui bagian bawah telingaku.

“Aku hanya mengamati senja. Bukankah senja terlihat romantis?”

“Kurasa begitu. Kenapa kau memakai pakaian seperti itu? Anginnya sangat kencang.” Aku melepaskan jaket berwarna putih yang kukenakan, kemudian memakaikannya pada Rossa untuk menutup pundak telanjangnya.

“Kurasa kau sedang memikirkan sesuatu. Apa kau tidak ingin membaginya denganku?” Tanya gadis itu dengan tatapan menyelidik.

“Aku sudah tak bisa membersihkan jiwaku yang telah pekat dengan kebencian. Tangan ini bahkan telah menghilangkan banyak nyawa. Aku merasa tak pantas lagi untuk menginjakkan kakiku di bumi.”

Aku merasa sangat berputus asa. Rossa telah mengajariku banyak hal selama beberapa hari terakhir, dan itu membuatku menyadari bahwa aku adalah manusia terburuk yang pernah menghirup udara di bumi. Aku bahkan merasa tak seorangpun yang akan mampu menarikku dari lubang hitam yang terus mengisap tubuhku.

“Apa yang kau katakan?”

“Mungkin aku tak bisa lagi menepati janjiku padamu. Teruslah berjuang untuk menemukan adikmu. Maafkan aku, Rossa.”

Aku memeluknya, merasakan kehangatan tubuhnya yang juga menghangatkan hatiku, mencairkan air mataku yang telah lama membeku. Aku bahkan tak mampu mengucapkan apa yang ingin kuucapkan. Lidahku terasa kelu meski untuk mengucapkan sepatah kata.

Menurut semua orang, aku adalah bagian terburuk dari yang paling buruk. Tetapi dia mengajariku bahwa yang terburuk justru mampu memberikan yang terbaik bahkan lebih dari yang paling baik. Aku melangkah mundur, menjauhkan tubuhku sebelum keteguhanku runtuh. Mengurai senyum terakhirku untuknya. Untuk malaikat kecilku.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D