Jumat, 22 Juli 2016

Green Eyed - Chapter 9



Di sebuah area rumah sakit yang berarsitektur megah layaknya Istana Buckingham, tampak seorang gadis tengah berjalan mondar mandir di sepanjang lorong. Kemudian ia duduk di sebuah ruang tunggu, memainkan ponselnya sejenak lalu berdiri lagi. Ia menghela napas panjang ketika beberapa perawat terlihat keluar dari sebuah kamar yang terletak di ujung lorong.

Seketika keheningan tercipta setelah beberapa perawat tersebut memasuki kamar lain. Gadis itu menegapkan punggungnya, melangkah anggun bak seorang supermodel. Tumitnya beradu dengan lantai granit, menghasilkan bunyi konstan yang dramatis. Jemari gadis itu meraih gagang pintu, perlahan memutarnya sebelum menggumamkan semangat untuk dirinya sendiri.

Sepasang mata sewarna zamrud menatapnya penuh tanya, disusul seulas senyum simpul menyambut kedatangan gadis itu. Ia menelan ludahnya dengan susah payah, mencoba menarik kembali suaranya yang sesaat meninggalkannya tunggang langgang dilanda kegugupan.

“Hai.” Sapa gadis itu dengan senyum kaku.

“Hai,” mata sewarna zamrud itu mencoba mencari tahu siapa gadis yang tengah berdiri di hadapannya. “Maaf, apa kau mengenalku?”

“Em… a-aku Elena.” Ujar gadis itu gugup. Seulas senyum kembali menghiasi bibir pucat milik lawan bicaranya. “A-aku… em… maaf, sebenarnya aku salah satu orang yang menabrakmu. Maksudku aku berada di mobil yang sama saat itu. Aku ingin minta maaf padamu, aku…”

“Aku yang seharusnya minta maaf.” Senyum gadis itu mulai surut, mata hijaunya menerawang dinding berwarna krem yang dihiasi lukisan abstrak berwarna pastel yang terkesan pucat. Terlihat gurat kesedihan dalam wajahnya.

“Elena, maafkan aku yang membuatmu dalam posisi sulit.” Mata hijau itu kembali menatap Elena. “Aku Trisia.”

Elena memerhatikan gadis itu, wajahnya yang tirus dan pucat membuatnya semakin merasa bersalah. Elena menebak-nebak bagaimana perasaan Trisia saat kekasihnya meninggalkannya. Tiba-tiba ia teringat dengan Nico. Elena mengembuskan napasnya yang terasa menyesakkan dada.

Sejak saat itu, hampir setiap hari Elena menjenguk Trisia di rumah sakit. Setidaknya ia ingin membantu gadis itu untuk melupakan kesedihannya.Ini tentang perasaan dan Elena tahu tak akan mudah membuat gadis itu bangkit dari keterpurukannya.

“Apa kau mau jalan-jalan?” Tanya Elena saat gadis itu masih menikmati makanannya. Trisia sudah pulang dari rumah sakit sejak hampir sebulan yang lalu. Seharusnya itulah kesempatan Elena untuk menjauh dari kehidupan gadis itu, tetapi ia justru merasa nyaman berada di dekatnya. Selama ini dia tak memiliki teman, dan gadis itu adalah satu-satunya teman yang tulus bagi Elena.

Trisia menggeleng. “Aku akan pulang ke rumah setelah ini, Harry bilang akan menjemputku.” Ujar gadis itu lembut. Dia memang orang yang tenang, sangat berbanding terbalk dengan sifat Elena. Itulah yang terkadang membuat orang lan tak menyadari kesedihannya. Terkadang, Elena sibuk menduga, seberapa kecewa hati Trisia saat menyadari  bahwa Elenalah yang telah membnuh kekasihnya.

“Baiklah.” Ujar Elena mengalah yang kemudian disusul oleh suara maskulin yang mencuri perhatian mereka.

Elena POV
Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang lain dari biasanya. Lelaki itu menghampiri kami, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan dengan pasti. Kurasa tatapan itu berarti buruk. Aku merasa dia menyimpan sesuatu dan aku masih mencoba mereka-reka perasaan canggung ini.

“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Trisia pada lelaki itu. Mungkin ia juga merasakan kejanggalan pada lelaki itu. Terlebih saat menatapku.

“Aku baik-baik saja, ayo kita pulang.”

Hanya itu kalimat yang dikatakannya sebelum menuntun Trisia kelar dari kafe yang didominasi warna pelangi tersebut. Ia bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun padaku seperti biasanya. Hari ini lelaki itu tampak jauh lebih dingin. Sejenak kuasakan bulu kudukku merinding. Mungkinkah ia menyadarinya?

Aku memainkan sedotan pada gelas tinggi yang tersemat sebuah stroberi pada bibir gelasnya. Sibuk memikirkan perubahan tingkah lelaki itu. Jika memang kenyataannya lelaki itu menyadari bahwa akulah penyebab adiknya meninggal, apakah dia masih akan menuntutku? Memikirkan membuatku ngeri. Mungkin aku perlu istirahat sekarang.

Suara ponselku berdering tepat ketika aku memasuki sebuah taksi. Nico. Aku tersenyum menyadari bahwa aku merindukan lelaki itu. Sudah dua hari ini ia berada di luar kota karena tugas yang diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja.

“Halo, sayang.” Ujar lelaki itu setelah nada sambung berganti dengan suaraku. “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik. Bagaimana dengan pekerjaanmu di sana?” Sudah dua minggu Nico tak lagi mengurus perusahaan ayahnya. Ia kembali bekerja di kantor pajak dan kebetulan sebuah tugas perusahaan tempatnya bekerja harus memisahkan kami sejenak. Mungkin ini terdengar kekanakan, tapi jauh darinya membuatku gelisah.

“Cukup melelahkan. Apalagi aku tak bisa melihatmu.” Suara itu terdengar hangat diikuti tawa kecil yang lolos dari bibirnya. “Aku tidak tahan berada jauh darimu.”

“Aku merindukanmu.” Tiba-tiba rasa kesepian menelusup dalam hatiku. Pikiran tentang Harry berkecamuk dalam benakku. Aku menggigit bibirku, sejenak tenggelam dalam lamunan singkatku.

“Elena, kau baik-baik saja?” Suara Nico menyadarkanku kembali. Dan aku sepenuhnya mengalihkan perhatianku pada benda kecil yang menempel pada telingaku.

“Ak baik-baik saja, Nick.”

“Baiklah, aku akan menelponmu lagi nanti malam. Jaga dirimu baik-baik, sayang.”

Aku mengembuskan napas besar yang terasa mengganjal tenggorokanku setelah menutup telpon dari Nico. Aku masih berharap bisa berbicara lebih lama dengannya. Mungkin aku masih harus lebih bersabar lagi.

Nico POV
Aku masih memandangi wajah Elena yang menjadi wallpaper  di ponsel empat inci milikku. Entah mengapa sejak semalam aku merasa ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Beberapa pekerjaan masih harus kuselesaikan hari ini sebelum besok aku kembali.

Aku masih memandangi ponselku sementara pikiranku tenggelam oleh Elena. Sejak kemarin Evan jga tak berada di rumah karena urusan pekerjaan. Meninggalkan Elena sendiri membuat pikiranku tidak tenang. Terlebih setelah mimpi semalam. Mimpi yang cukup buruk yang membuatku terbangun dengan suasana hati yang cukup buruk.

“Nico, bersiaplah, sebentar lagi kita akan melakukan inspeksi ke kantor cabang Lockhold.” Ujar seorang pria berbadan tambun yang kuketahui bernama Bram. Aku mengangguk, kemudian beranjak dari kursiku untuk segera bergabung dengan timku.

Inspeksi di kantor cabang Lockhold Inc dilakukan dengan teliti oleh tim kami. Aku sedikit terganggu saat kudengar getaran ponselku yang tak berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Konsentrasiku terbagi lantaran ponselku yang tenang sejenak kembali mencari perhatianku. Tentu saja aku tak bisa mengangkatnya dalam situasi seperti ini. Aku hanya berharap agar pekerjaan ini cepat selesai.

Semburat kemerahan telah bertahta di langit senja. Tugasku telah selesai lima menit yang lalu. Aku bergegas meraih ponsel dengan tujuh belas panggilan tak terjawab. Nomor Elena.

Aku mengernyit, untuk apa panggilan sebanyak itu dari Elena? Entah mengapa kekhawatiranku pada gadis itu semakin menjadi-jadi.

Tidak aktif.

Hal itu tentu saja membuatku semakin panik. Aku segera menghubungi Evan dan langsung tersambung tanpa perlu menunggu lama.

“Halo, Ada a…”

“Nick, aku di rumah sakit.” Suara seorang gadis yang sangat ku kenal. Suara itu bagaikan sebuah petir yang menyambar diriku. Membuat tubuhku terasa kaku.

“A-apa? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?”

“Kita bicarakan nanti. Aku sedang dalam perjalanan. Maafkan aku, tapi aku akan menelponmu nanti.” Suara terisak itu membuat pikiranku kacau. Apakah sesuatu telah terjadi pada Elena?
***
Elena POV
Aku menyandarkan kepalaku di sebuah dinding marmer yang terasa dingin. Air mataku tak berhenti mengalir sejak orang-orang berseragam itu membawa Evan ke dalam ruang operasi. Sebuah mobil berkecepatan tinggi telah menabrak Evan tepat saat ia hendak menyeberang untuk menemuiku di kafe.

Bagiku, Evan adalah satu-satunya keluargaku, meski kenyataannya aku masih memiliki orang tua. Tetapi sejak kecil hanya dia yang selalu ada untukku. Hari sudah gelap. Guntur terdengar menggelegar, membuatku semakin tak sabar. Tiga jam telah berlalu, namun tak satupun tanda-tanda pintu operasi akan terbuka. Aku menunggu dengan cemas, bahkan peluh dingin masih mengucur dari pelipisku.

Aku mengusap wajahku yang basah, tak peduli bagaimana orang yang berlalu lalang terus menatapku iba. Tulangku terasa lunglai, seolah tak mampu lagi menahan beban tubuhku.

“Hati-hati.” Kata seseorang yang tiba-tiba mencengkeram kedua lenganku. Aku memicingkan mata. Pandanganku kabur akibat air mata yang terus membasahi mataku.

“Maaf. Terima kasih.” Ujarku sambil menghapus air mataku. Aku menatap lelaki itu dan pintu ruang operasi secara bergantian untuk memastikan apakah pria berpakaian hijau tersebut berasal dari dalam ruangan.

“Pendarahan di kepalanya sudah dihentikan tetapi dia masih belum sadarkan diri. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU untuk sementara waktu.”

Bagaimanapun juga aku tak bisa bernapas lega. Evan masih belum sadarkan diri. Dan aku takut sesuatu akan terjadi padanya.

Pria itu menuntunku ke sebuah kursi yang berasa di sisi kiri koridor. “Saudaramu akan baik-baik saja. Siapa namamu?” Tanya pria itu.

“Elena.”

“Aku Andre, spesialis saraf di rumah sakit ini. Sepertinya beberapa bulan yang lalu aku sering melihatmu di sini.”

“Temanku pernah dirawat di rumah sakit ini.”

“Pantas saja aku sepertinya tak asing dengan wajahmu. Sekarang tanangkan dirimu, dan pergilah ke kantin untuk  mendapatkan segelas air. Saudaramu pasti akan baik-baik saja, aku menjaminnya.”

Aku bergeming. Kakiku masih terasa lemas, dan tak sedikitpun perasaanku menginginkan segelas air untuk dahagaku.

“Ayo, aku akan mengantarmu.” Kata dokter Andre mengulurkan tangannya untuk membantuku. Seberapapun aku menolak tampaknya dia tetap memaksaku. Hingga aku pun meraih uluran tangannya. Samar-samar aku melihat sesorang berdiri di belakang Andre dengan wajahnya yang merah padam.


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D