Kamis, 28 Juli 2016

Purple Maple (Sepuluh)


KALILA berlari-lari kecil menaiki tangga menuju kamarnya. Sebenarnya, ia masih memiliki banyak waktu. Tepatnya lima jam lima puluh tujuh menit lagi sebelum Diego datang menjemputnya pukul setengah lima nanti.

Ini hanya makan malam biasa. Berulang kali Kalila menanamkan mantra itu dalam benaknya. Berusaha untuk meredakan kepakan di dalam perutnya. Entah mengapa sebagian kecil hatinya mengharapkan sesuatu yang istimewa dari ajakan Diego kali ini. Mungkin saja karena ini ajakan makan malam pertama sepanjang perkenalannya dengan lelaki itu.

Tadi mereka baru saja selesai makan siang seperti biasa saat ajakan itu terlontar. Yang benar saja? Entah mengapa acara makan siang itu mulai terdengar seperti rutinitas. Lalu mengapa juga Kalila harus merasa istimewa dengan ajakan makan malam?

Kalila menampar dirinya secara mental. Matanya terpejam dengan kepala yang menggeleng. Lalu tiba-tiba saja ia tertegun saat menggenggam gagang pintu kamarnya yang terasa hangat. Seolah ada seseorang yang baru saja masuk atau keluar dari kamarnya. Ah, lupakan. Mana mungkin itu terjadi. Lagipula pintunya masih dalam keadaan terkunci seperti terakhir kali ia meninggalkan kamarnya sebelum berangkat kuliah tadi pagi. Mungkin ia hanya terlalu gugup.

Ini hanya makan malam biasa.

Ini hanya makan malam biasa.

Ini hanya makan malam biasa.

Kalila kembali mengulang mantranya sambil membuka lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan satu persatu pakaian terbaiknya. Selain coat  dan parka tentu saja. Tetapi tidak satu pun dari gaun-gaun itu yang memenuhi ekspektasinya.

Kalila mengerang kesal. Tidak cukup waktu untuk berbelanja pakaian sekarang. Mata Kalila kembali menimbang-nimbang pada gaun-gaun yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

Oh, ayolah. Ini hanya makan malam biasa. Kalila memperingatkan dirinya sendiri. Seharusnya pakaian yang mana saja tidak akan menjadi masalah.

Perdebatan batinnya terputus saat ponsel Kalila berbunyi nyaring. Cepat-cepat, ia mengeluarkan ponselnya yang masih berada dalam tas yang tadi dibawanya. Tetapi sayangnya, telepon itu sama sekali tidak menyelamatkannya dari kebimbangan. Karena jantungnya semakin berdebar lebih cepat saat matanya melirik nama yang muncul di layar ponsel.

Kalila menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia berdeham pelan sebelum menempelkan ponsel ke telinga. Oh, semoga suaranya terdengar biasa saja saat menyapa si peneleponnya.

“Halo?”

“Jangan lupa dengan janji makan kita malam ini,” sambut suara ramah di ujung sana. Kalila seakan bisa melihat jelas lelaki itu sedang tersenyum hanya dengan mendengar suaranya. “Aku harap kau tidak sedang kebingungan memilih pakaian sekarang.”

Sial. Sejak kapan lelaki ini punya intuisi yang bagus tentang dirinya?

“T-tentu saja tidak,” sanggah Kalila cepat. Ia berharap kebohongannya tidak tergambar jelas dalam suaranya. “Aku sedang... um, belajar sekarang.”

“Oke, Mahasiswi Teladan,” sahut Diego lantas tertawa kecil. “Sampai bertemu nanti.”

“Ya, ya. Cepat urus kuliahmu sana!” omel Kalila sambil memutus sambungan telepon mereka. Detik berikutnya ia sudah merebahkan diri di atas gaun-gaun yang belum dipilihnya.
***

Diego menyeringai geli menatap sekilas layar ponselnya sebelum meletakkan benda itu pada jok mobil yang tadi diduduki Kalila. Walaupun baru saja bertemu, entah mengapa ia merasa rindu mendengar omelan gadis itu setiap kali ia berhasil menjailinya. Tetapi perasaannya itu harus diredam untuk sementara waktu. Kalau tidak, ia bisa membuat lecet mobil-mobil lain yang memadati area parkir fakultasnya ini.

Beruntung, Diego bisa menemukan tempat kosong di samping sebuah mobil hatchback. Tanpa menunggu lama, ia langsung memarkirkan mobilnya di sana. Saat keluar dari mobil, ia baru menyadari seorang lelaki yang sedang berdiri bersandar pada mobil berwarna silver stone itu.

“Bisa bicara sebentar?” tanya lelaki itu tajam.

“Denganku?” Diego balas bertanya begitu menyadari mobil ini sama dengan mobil yang melaju di depan Rainbow Cafe tadi.

“Kulihat, kau cukup akrab dengan Kal. Memang ada hubungan apa di antara kalian?” tanya lelaki itu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jeans-nya.

“Memang apa urusannya denganmu?” balas Diego menolak bersikap ramah.

“Kalau kau memang pacarnya, aku akan berhenti mendekatinya,” jawab lelaki itu sambil melempar tatapan tajam. “Kalau bukan, aku harap kau menjauhi Kal.”

Diego mendenguskan tawa sebelum memandang lurus pada lawan bicaranya. “Ya. Aku memang pacarnya.”
***

Kalila mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Midi dress ungu yang dikenakannya mungkin tampak berlebihan untuk sebuah makan malam biasa. Tetapi untuk apa ia memikirkan hal itu? Bukankah tidak ada seorang pun yang ingin dibuatnya terkesan, kan? Penampilannya malam ini hanya untuk dirinya sendiri.

Rambut Kalila yang di-blow ringan sengaja dibiarkan tergerai jatuh ke bahunya. Polesan lipstik merah muda pada bibirnya dengan sentuhan pop purple eyes yang serasi dengan gaunnya. Ia memilih pump shoes hitam untuk menggantikan tugas chukka boots kesayangannya.

Seulas senyum hinggap di bibir Kalila saat ia menatap penampilannya sendiri di cermin. Perfecto. Mungkinkah Diego juga akan menganggap penampilannya mengagumkan? Seolah tersadar, detik berikutnya ia sudah menggelengkan kepala. Untuk apa ia memikirkan Diego? Lelaki itu pasti tidak akan peduli.

Kalila tersentak saat ponselnya bergetar dan menampilkan nama seseorang yang baru saja dipikirkannya. Sambil berusaha mengatur debaran manis yang nyaris memorakporandakan isi hatinya, ia menjawab panggilan itu.

“Aku sudah di bawah.”

Suara yang dalam itu langsung menyentuh pendengarannya bahkan sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata sapaan. Buru-buru Kalila meraih tasnya, memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, dan keluar dari kamarnya. Sebelum melangkah turun, ia memastikan pintunya sudah terkunci dengan benar.

Begitu tiba di bawah, Kalila mendapati sebuah mobil sedan sport hitam terparkir di depan pagar rumah indekosnya. Seorang lelaki dengan kemeja hitam tanpa dasi berdiri angkuh di samping pintu penumpang. Sebuah senyum atau seringai, Kalila tidak bisa memastikannya, langsung terbit di sudut bibir lelaki itu begitu ia menyadari kehadiran Kalila.

Lelaki itu bergerak membukakan pintu untuk Kalila dengan gaya seorang gentleman. Kemudian ia mengitari kap mobil dan duduk di balik kemudi. Sebelum ia menyalakan mesin mobil, Kalila menyentuh ringan bahunya.

“Boleh mampir dulu ke suatu tempat?”
***

Kalila dan Diego menapaki hamparan hijau yang luas. Sementara langit yang berangsur jingga melukiskan senja di ufuk barat. Patung-patung malaikat dan juga panteon tampak berjajar rapi di antara petak-petak yang terbagi dan berhiaskan beragam jenis bunga. Sedikit mengingatkan pada taman di kastel ala Eropa.

Tempat peristirahatan terakhir yang satu ini memang tampak begitu asri dengan pepohonan hijau yang meneduhkan. Angin bermbus semilir membawa semerbak aroma bunga. Benar-benar jauh dari kesan suram yang biasanya melekat pada suasana area pekuburan.

Tanpa banyak bertanya, Diego mengiringi langkah Kalila. Seperti biasa, penampilan gadis itu lagi-lagi memukau indra penglihatannya. Seolah tanpa harus bersusah payah, Kalila selalu memiliki daya tarik tersendiri baginya. Entah karena segenggam perasaan yang merajai hatinya atau gadis itu memang berniat memikatnya.


Diego tersentak dari lamunannya saat Kalila tiba-tiba berhenti melangkah di depan sebuah petak berukirkan sebaris nama. Diego berasumsi itu adalah nama seorang gadis. Kalila meletakkan sekumpulan bunga Lili putih dalam pot yang dibawanya ke samping nisan. Sekumpulan bunga lainnya tumbuh subur dalam pot yang berjajar di belakang nisan. Sejenak, Kalila tampak terdiam dengan kepala tertunduk, sebelum akhirnya wajah cantiknya terdistorsi seulas senyum sedih.

Begitu mereka sudah kembali duduk di dalam mobil, Diego tidak bisa lagi menahan pertanyaan untuk meluncur dari bibirnya.

“Siapa itu Evelyn?”
***

Selalu seperti ini.

Perasaan itu selalu saja menghinggapi hati Kalila setiap kali ia usai berkunjung ke pemakaman ini. Seolah ada secuil bagian dalam dirinya yang berubah kosong. Rasa sesal yang menggerogoti tanpa mau tahu bahwa waktu tidak mungkin bisa diputar kembali. Kurang lebih sama dengan perasaannya saat mengetahui Diego terluka. Tetapi ia bersikap pengecut dan tidak melakukan apa-apa.

“Siapa itu Evelyn?”

Suara Diego sontak membuyarkan lamunan Kalila. Ia menoleh dan mendapati lelaki itu tengah menatapnya dengan kening berkerut tanda tanya. Tentu saja Diego akan bertanya. Itu sangat jelas. Dan ia sendiri juga memang tidak berniat menyembunyikan apa pun.

“Evelyn... adalah adik kelasku... adik kelas kita dulu.”

Kening Diego semakin mengernyit karena berusaha mengingat nama yang tidak terlalu familier di telinganya itu. “Kau akrab dengannya?”

Kalila menjawab pertanyaan Diego dengan sebuah gelengan lemah. “Aku ‘mengenal’ dia bukan dengan cara yang baik. Waktu itu sebelum aku bertemu denganmu.”

Diego memasang telinganya baik-baik sambil kembali menjalankan mobil. Pandangan Kalila terpaku sejenak pada area pemakaman yang mulai menjauh. Sepasang mata gadis itu berubah sendu dan Diego ingin tahu apa penyebabnya.

Kalila menghela napas berat, bingung harus memulai dari mana. “Teman-temanku saat itu,” ujarnya dengan hidung berkerut seolah jijik mendengar kalimatnya sendiri. “Salah satu dari mereka pernah memiliki masalah dengan Evelyn. Dan entah bagaimana caranya, dia berhasil menularkan kebencian itu pada orang lain, termasuk aku, hingga membuat kami setuju untuk bergabung dalam rencananya.

“Tanpa mencoba memahami masalah yang masih samar-samar itu, kami sengaja mencegat Evelyn di salah satu koridor sekolah yang sepi. Kami menyeretnya ke kamar mandi, menghujatnya dengan kata-kata kasar, dan melakukan hal buruk lainnya,” jelas Kalila susah payah, nyaris seperti hendak mengigit lidahnya sendiri. “Aku tidak pernah melihatnya lagi di sekolah setelah itu.”

Diego meraih tangan Kalila dan menggenggamnya penuh kelembutan. Seakan-akan ia bisa menyalurkan kekuatan melalui ujung jemarinya.

“Hingga suatu hari, aku tidak sengaja mendengar percakapan guru tentang murid yang meninggal bunuh diri. Pihak keluarga meminta sekolah merahasiakan aib itu rapat-rapat,” lanjut Kalila dengan suara tercekat. “Dan perasaan bersalah menghantuiku dalam-dalam begitu mengetahui itu adalah Evelyn.”

Perlahan, Diego membawa mobilnya menepi. Ia merasa kesulitan membagi konsentrasinya pada jalan di depannya atau gadis di sampingnya.

“Apa kau yakin itu ada hubungannya dengan ‘perkenalan’ kalian waktu itu?“ Susah payah Diego mencoba meminjam pilihan kata yang tidak terlalu menyinggung perasaan Kalila.

Kalila mengangguk. “Semuanya terlalu kebetulan jika dikatakan tidak berhubungan.” Sejenak, ia terdiam saat merasakan napasnya berubah sesak. Begitu bisa kembali bernapas dengan normal, ia melanjutkan, “Mungkin satu-satunya kebetulan adalah Evelyn meninggal tepat di hari ulang tahunnya. Seminggu setelah hari ulang tahunku.”

Sejak mengetahui kenyataan itu, Kalila berangsur menjauh dari kelompok populer itu. Ia tidak ingin lagi terlibat dalam masalah serupa. Maka, ia menyendiri ke tempat yang paling dihindari teman-temannya; perpustakaan. Tempat itu terlalu membosankan bagi mereka yang hobi merumpi. Dan pengkhalwatan itu yang membawanya bertemu dengan Diego.

“Tapi aku tidak menyangka, hal itu terulang lagi padamu.” Kalila bisa mendengar dengan jelas suaranya yang serak dan nyaris pecah menjadi isakan air mata.

Sosok Diego yang berlinang darah memenuhi kelopak matanya. Tidak ada hal lain yang terpikirkan selain kabur dan pindah ke kota di mana Evelyn dimakamkan. Setiap hari ia datang mengunjungi makam Evelyn. Hingga setitik pikiran buruk membuatnya berharap bisa ikut mati dan terlepas dari perasaan bersalahnya.

Kalila tahu benar bahwa ia tidak termaafkan. Evelyn tidak meninggal karena bunuh diri. Kebodohan Kalila yang sudah membunuh gadis itu. Diego tidak terluka karena tergelincir saat memanjat pohon maple. Keegoisan Kalila yang sudah melukai lelaki itu.

“Maafkan aku,” ujar Kalila lagi. “Semua gara-gara aku.”

Tidak perlu menunggu diminta, Diego langsung merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian berulang kali ia mengusap punggung yang sudah menanggung perasaan bersalah yang mengurung.
***

“Astaga, kau serius kita akan makan malam di sini?” tanya Kalila dengan nada cemas.

Saat ini Kalila dan Diego sudah berada dalam lift yang akan mengantar mereka ke lantai teratas hotel bintang lima itu. Begitu mengetahui restoran macam apa yang mereka datangi, Kalila langsung menyesali penampilannya. Seharusnya tadi ia mengenakan long dress atau gaun lain yang lebih elegan dan pantas.

“Ya.” Diego mengangguk membenarkan. “Memang kenapa?”

Ah, benar juga. Kalila mengembuskan napas berat. Bagaimana ia bisa lupa? Bagi Diego—dan mungkin sebagian besar lelaki lainnya—masalah pemilihan gaun seperti ini bukanlah hal yang penting.

“Lupakan,” gumam Kalila lirih, beberapa detik sebelum pintu lift terbuka.

Tanpa meminta izin lebih dahulu, Diego langsung menggenggam tangan Kalila dan menarik gadis itu masuk. Lelaki itu sepertinya sama sekali tidak peduli dengan badai yang mulai mengaduk perasaan Kalila. Bahkan dengan kurang ajarnya, lelaki itu malah tersenyum penuh kemenangan.

“Hentikan.”

“Apa?” Diego menghentikan langkahnya dan menatap Kalila dengan perasaan tidak bersalah.

“Sepertinya kau terlalu menikmati ini,” gerutu Kalila sambil menggerakkan tangannya yang digenggam Diego. “Lihat, kau sampai menyeringai begitu.”

“Aku hanya merasa bahagia. Memangnya salah?”

Kalila melirik sekilas pada lelaki di sampingnya. “Aku yakin kau sudah sering mengajak gadis lain makan malam seperti ini.”

“Jadi kau cemburu?”

“Tidak!” sanggah Kalila cepat.

Diego terkekeh. “Tenang saja, aku tidak akan begitu.”

“Sudah kubilang, ti

Seorang pramusaji datang menyambut dan menghentikan perdebatan kecil itu. Lelaki berdasi kupu-kupu itu mengantarkan Kalila dan Diego ke meja yang berada di samping sebuah jendela kaca besar. Suasana restoran itu cukup tenang dengan alunan musik klasik yang memenuhi ruangan. Sama sekali tidak ada pikuk yang mengganggu pendengaran. Bahkan jarak antar mejanya membuat para pramusajinya bergerak leluasa.

“Wah, indah sekali.” Kalila berdecak kagum saat melihat ke luar jendela. Pemandangan langit malam dengan bulan yang bertengger tenang di hadapannya seperti sebuah lukisan raksasa. Untuk sesaat ia seolah bisa melupakan segala perasaan yang menghimpit dadanya.

“Sayangnya, restoran ini tidak memiliki balkon,” gumam Diego sambil ikut melempar pandangan pada apa yang menarik perhatian Kalila di luar sana.

Kening Kalila mengernyit. Dan ia menatap Diego dengan wajah bertanya-tanya. “Memang kau kira, orang gila mana yang mau makan malam di balkon gedung setinggi ini?”

Diego mengangkat bahu. “Mungkin kita bisa bermain Jawab Tiga Detik sekali lagi? Banyak yang ingin kutanyakan. Oh, dan juga, kau belum menjawab pertanyaanku waktu itu.”

Punggung Kalila menegak saat teringat pada pertanyaan yang dimaksud Diego. Tentang mana yang lebih ia sukai: Diego yang dahulu atau yang sekarang. Tetapi rasanya, bukan saatnya ia menjawab pertanyaan itu.

“Apa itu penting bagimu?” tanya Kalila sambil melipat lengannya di atas meja.

Diego tidak langsung menjawab. Seorang pramusaji datang menginterupsi obrolan mereka demi menghidangkan semangkuk yoghurt beku bertabur potongan stroberi dan kiwi.

“Sangat penting,” ucap Diego begitu pramusaji itu undur diri dari meja mereka. “Jadi, aku bisa menyiapkan banyak hal untuk ulang tahunmu. Bukan hanya sekadar pemandangan bulan dan semangkuk yoghurt.”

Tanpa dinyana, raut wajah Kalila merona kemerahan mendengar kata-kata Diego. Entah bagaimana caranya, tetapi sebaris kalimat itu seolah mampu menyentuh dasar hati Kalila dengan tulus. Seulas senyum bahagia menghias wajah gadis itu tanpa bisa dicegah.
***

Senyuman itu masih betah bertengger di sekujur bibir Kalila. Bahkan ketika ia sudah berada di dalam bangunan indekosnya. Langkah-langkahnya di anak tangga terasa ringan. Tidak sabar untuk segera bertemu hari Sabtu, hari ulang tahunnya. Hingga tanpa sadar, ia sudah tiba di depan kamarnya.

Saat ia akan mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, ponselnya berdering. ‘My Hero Diego’ tertulis di layar ponselnya. Keningnya mengernyit. Kapan ia pernah mengubah nama kontak Ah, Kalila teringat tadi lelaki itu meminjam ponselnya lalu menggerakan jarinya pada layar sambil tersenyum. Ya, senyum menyebalkan itu. Senyum yang disukai Kalila.

Kalila berdeham, lalu menjawab panggilan itu. “Ya?”

Apa My Lil Princess sudah tiba di kastelnya yang hangat?

Senyum Kalila melebar nyaris tertawa, tetapi ia menahannya dengan mengerucutkan bibir. “Sudah kubilang, hentikan panggilan norak itu. Dan juga kenapa kau mengganti nama kontakmu?”

Diego tertawa di seberang sana. Sekilas, terdengar bunyi klakson samar mengiringi suara tawanya. “Karena aku tahu kau sebenarnya menyukai panggilan norak itu.

“Hei, hei. Jangan membiasakan diri menyetir sambil menelepon,” ucap Kalila saat tangannya mengambil kunci dari dalam tas. Tetapi kunci itu tergelincir dari jemarinya lalu jatuh dengan bunyi gemerincing. “Kau tahu, kan, itu bahkan sudah diatur dalam undang-undang keselam

Dan seketika itu juga Kalila membeku. Lama, gadis itu terpaku. Seolah ada jerat tidak kasatmata yang membatasi gerakannya. Hingga akhirnya ia memungut kunci dari atas lantai sambil memerhatikan dengan saksama apa yang dilihatnya.

Halo? Lil Princess?” panggil Diego bingung pada omelan Kalila yang terputus.

Karena gadis itu baru saja menyadari potongan selotip bening yang tadi sengaja ditempelkannya melintangi kosen dan sudut pintu, satu sisinya sudah terlepas. Padahal ia bahkan belum menyentuh pintu sama sekali.

Ia menelan ludah. Matanya melirik perlahan ke lorong yang sepi, seolah takut ada yang mengawasi.  Seluruh lengannya mulai merinding saat ia menyentuh gagang pintu kamar yang terasa hangat.

Kalila?” Ia tidak menghiraukan suara Diego yang berubah panik sekarang. Karena ia juga tidak kalah panik.

Kali ini, Kalila tidak ragu lagi.

Seseorang sudah memasuki kamarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D