Kamis, 07 Juli 2016

Purple Maple (Tujuh)


SEMUA orang mengenakan pakaian serba putih. Kalila berkali-kali memicingkan matanya. Lampu kelap-kelip yang berputar dari langit-langit memantul sempurna di atas warna putih di sekelilingnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia datang ke tempat seperti ini.

Acara ini bertajuk ‘Angels of Heaven’ dengan dress code baju putih. Bahkan Kalila bisa melihat beberapa orang tampak sangat menghayati acara. Setidaknya, mata Kalila sudah menangkap tiga orang gadis yang mengenakan sepasang sayap burung buatan berwarna putih di punggung mereka.


Musik menghentak di penjuru ruangan dengan penerangan minim itu. Semua orang bergerak di tengah lantai dansa. Tenggelam dalam alunan nada-nada yang menggoda. Sementara Kalila masih bertahan di tepi ruangan bersama Erin yang memutuskan tidak ikut turun jika tidak bersama Kalila.

“Kau benar-benar cantik, Kal,” puji Erin sekali lagi di dekat telinga Kalila. Walau merasa iri, tetapi Erin tidak bisa menyangkal kenyataan itu. Kalila benar-benar tampak sempurna dalam balutan gaun berpotongan sabrina yang menggantung hingga bagian atas lututnya. Ditambah bando yang melingkari kepalanya berhiaskan tiga helai bulu burung merpati. “Kau seperti bidadari turun dari kahyangan. Sedangkan aku tampak seperti kuntilanak bangkit dari kubur.”

Erin masih bertanya-tanya kenapa kecantikkan seperti itu harus disembunyikan di balik bayang-bayang topi. Seolah itu adalah aib memalukan. Entah mengapa ia tiba-tiba ia teringat pada Valeria. Tapi sepertinya bukan pilihan yang bijak untuk membahas gadis itu sekarang. Lagi pula Kalila juga tidak memancing tema untuk membahas Valeria.

Kalila mengernyit mendengar gurauan Erin yang seolah merasa tidak percaya diri. Padahal kata-katanya itu sama sekali tidak benar. Gadis itu cantik dengan gaun berpotongan halter yang menampilkan bahu dan lehernya. “Kau juga cantik, kok.”

Erin tersenyum lalu melirik jam tangannya yang didominasi warna putih. Detik berikutnya, tanpa peringatan ia sudah menarik Kalila bergabung di lantai dansa.

“Aku rasa aku tidak bisa,” ucap Kalila nyaris berteriak di tengah musik. Tetapi Erin langsung menarik tangannya ketika ia hendak pergi.

Erin bergerak luwes selaras dengan irama sambil mendekat pada Kalila. “Gerakkan saja tangan dan kakimu mengikuti musik.”

Sejujurnya, ini bukan pertama kalinya untuk Kalila. Ia sudah sering datang ke pesta seperti ini. Tentu saja dengan bantuan seorang di kelompoknya sehingga mereka bisa masuk walaupun belum cukup umur. Tetapi itu sudah berlalu. Ia sudah berjanji menghindari acara semacam ini. Ah, andai saja tadi ia tidak langsung menyetujui ajakan Erin tanpa interogasi yang detail.

Semua ini gara-gara Diego!

Tetapi sudah tidak ada celah untuk mundur. Lelaki itu juga yang menyarankannya untuk menikmati waktu dengan teman perempuannya. Dan itu adalah Erin. Mungkin ia juga harus membuka hati untuk dirinya sendiri. Kapan terakhir kali ia melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri tanpa terikat rasa bersalah? Mungkin ini adalah saat yang tepat. Lagi pula acara ini hanya dipenuhi para gadis, jadi sepertinya tidak akan ada masalah.

Kalila memejamkan mata sejenak sebelum kemudian ia mendapati dirinya tengah mengangkat lengan seperti yang lainnya. Ia memundurkan kepala dan bergerak seirama alunan musik yang cepat dan merayu.
***

Erin terpukau sejenak menatap Kalila. Ia tidak menyangka gadis itu bisa berdansa selincah itu. Kalila benar-benar tahu cara bergerak. Gadis itu mengerti cara menebarkan pesona. Dan Erin menganggumi itu.

Diam-diam Erin bersyukur Elliot tidak melihat semua ini. Jika tidak, mungkin lelaki itu juga akan terpesona dan benar-benar berpaling darinya. Ia menelan salivanya yang terasa pahit saat membayangkan hal itu.

“Senang rasanya melihatmu akhirnya bisa rileks,” kata Erin di dekat telinga Kalila.

Kalila ikut memajukan kepalanya dan membalas, “Terima kasih sudah mengajakku.”

“Sebentar lagi pintu akan dibuka untuk para lelaki,” lanjut Erin. Wajah gadis itu dihiasi humor ringan. “Lebih baik kita tetap bersembunyi seperti ini. Atau kabur ke toilet jika ada yang menganggu.”

“Jadi, ini bukan acara khusus perempu—“

Kata-kata Kalila terpotong saat seseorang membentur punggungnya. Hingga ia terdorong maju ke arah Erin. Erin sempat menghardik sekilas pada pelaku di belakang Kalila. Tetapi orang itu langsung menghambur dalam kerumunan.

“Biarkan saja,” cegah Kalila saat melihat Erin seperti hendak melompat mencari pelakunya. “Aku tidak apa-apa. Lebih baik kita bersenang-senang.”

“Tapi gaunmu jadi kotor,” ucap Erin sambil berdecak kesal dari balik punggung Kalila. “Tunggu di sini, ya. Aku mau ke loker penitipan.”

“Hei, Erin!” seru Kalila. Tetapi seolah tidak mendengar atau memang sengaja tidak peduli, Erin terus berjalan menjauh.

Ck. Kalila merasa kesal karena Erin meninggalkannya begitu saja. Seperti inikah yang disebut ‘teman’? Sementara sekeliling Kalila semakin disesaki dengan orang-orang yang menari penuh kebebasan. Mereka semua mengimpit dan membuatnya terempas tanpa pertahanan. Hingga tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya tertarik ke belakang.

Sebelum menyadari apa yang terjadi, Kalila sudah merasakan lengan seseorang melingkar di pinggangnya. Aroma alkohol samar-samar tercium saat orang itu mengendus lekukan antara leher dan bahu Kalila.

“Kau harus membayar kerugianku, Elena,” bisik lelaki itu yang langsung mengundang ekspresi jijik di wajah Kalila.

Walaupun kaget, tetapi Kalila bergerak cepat membebaskan diri. Ia berbalik dan bertatapan langsung dengan seorang lelaki yang menatapnya bingung sekaligus penuh minat.
***

Jonathan Adam menyesap wiskinya lalu mengernyit samar merasakan minuman itu seperti menyengat rongga mulutnya. Lelaki itu duduk di bar kecil yang ada di luar ruangan tempat berlangsungnya acara. Ia dan beberapa lelaki lainnya harus bersabar menunggu untuk dipersilakan masuk dan bertemu sekumpulan bidadari di dalam sana.

Lelaki itu benar-benar membutuhkan pesta ini. Bagaimanapun ia harus segera melupakan ekspresi jijik gadis yang menolak sentuhannya. Gadis yang sudah menghacurkan perabotannya hanya karena memergokinya sedang bersama gadis lain. Seharusnya gadis itu maklum atau malah bangga memiliki kekasih seperti dirinya. Sempurna dan dipuja para perempuan.

Mengapa pula gadis itu harus bersikap berlebihan? Bahkan menatap lelaki setampan dirinya seolah ia adalah seekor siput yang menjijikan. Bahkan sekarang gadis itu menghilang ditelan  bumi. Gadis itu harus membayar semua kerugian yang dialaminya. Gadis bernama Elena itu. Mengingat nama itu membuat ia sedikit membanting gelasnya ke atas meja bar.

Saat itulah tampak tiga orang gadis berpakaian serba putih menghampirinya. Salah seorang dari mereka langsung menarik perhatiannya. Gadis dengan rambut dicat pirang.

“Jonathan Adam.” Gadis itu menyebut namanya. Padahal ia sama sekali tidak merasa kenal dengan mereka. Tetapi itu wajar saja terjadi untuk lelaki sepertinya.

Hello, Angels,” sapa Jonathan dengan senyum penuh rayuan. “Kenapa kalian tidak berada di dalam bersama bidadari lainnya?”

“Apa kau bersama  pasanganmu malam ini?”

“Tentu saja. Dia sudah ada di dalam. Kalian bisa menemaniku di acara lainnya.”

“Sayang sekali kalau begitu,” ucap Lory dengan ekspresi kecewa. “Padahal ada seorang gadis yang ingin sekali menemanimu.”

Kening Jonathan berkerut sangsi. “Siapa?”

“Untuk itu... dia memintamu untuk menemuinya di dalam.”

Jonathan tersenyum miring. “Kenapa tidak dia saja yang mendatangiku?”

“Entahlah,” ujar Jenna yang berdiri di samping Lory. Tubuhnya yang kurus tampak pas dalam gaun bermodel kemben dengan rok yang mekar seperti mahkota bunga yang diletakkan terbalik. “Mungkin karena dia tipikal gadis yang suka jual mahal.”

Sorry, Angels.” Jonathan menggelengkan kepala. “Tapi aku tidak tertarik.”

“Kenapa? Kau merasa tidak mampu menaklukan gadis ini?” Kali ini Lory kembali bersuara. Dagunya terangkat dengan angkuh. Membuat harga diri Jonathan sedikit terusik.

“Yang benar saja!” bantah Jonathan cepat lantas terkekeh sinis. “Memang siapa gadis ini?”

“Kalau tidak salah namanya... Elena,” tambah Sharon. Ia beruntung karena mengetahui informasi penting itu dari seorang temannya. “Rambutnya pendek di atas bahu.”

Mendengar nama itu seketika membakar semangat Jonathan. Tunggu—bukankah rambut Elena panjang? Atau gadis itu sengaja memotong rambutnya sebagai bentuk penyesalan?

“Di mana dia?” tanya Jonathan lantas meneguk habis wiskinya.

“Mudah saja mengenalinya di sana. Gadis itu mengenakan gaun bernoda wine di punggungnya.” Lory menyebutkan ciri-ciri yang dimaksud.

Begitu pintu dibuka untuk para lelaki, Jonathan berjalan dengan langkah membara ke dalam ruangan acara. Benar saja. Dengan mudah ia menemukan gadis yang dimaksud.

Gadis itu berjalan sedikit sempoyongan berusaha menembus kerumunan. Tumpahan wine meninggalkan motif di bagian punggung gaunnya. Tanpa menunggu lama, Jonathan langsung bergerak. Ia menarik gadis itu dalam pelukannya diikuti bisikan sensual.

Tetapi apa yang didapatnya malah sebuah penolakkan kasar. Gadis itu menepis tangannya lalu bergerak menghadap padanya. Tanpa rasa takut, gadis itu menatapnya tajam dengan sepasang mata cokelat. Saat itulah Jonathan baru menyadari bahwa itu bukan gadis yang dicarinya.

“Hei, kau bukan Elena! Dasar penipu!” seru Jonathan dengan kening mengernyit. Tetapi ia tetap mendekat pada gadis yang baru saja terlepas dari dekapannya. Ia melangkah tegap seolah bangga dengan tubuh atletis di balik kaus putih polosnya. “Tapi tidak masalah. Kau juga cantik.”

“Menjauh dariku!”

Bukannya gentar, Jonathan malah bersikap ramah dengan mengulurkan tangannya. Seulas senyum hadir di wajahnya. Jenis senyum yang sanggup membuat para gadis meleleh bahagia.

“Namaku Jonathan Adam. Kau bisa memanggilku ‘Sweetheart’.”

Tetapi tidak dengan gadis di hadapannya. Gadis itu malah membeku di tempat. Sementara tangannya menampik tangan Jonathan yang terulur padanya. “Dalam mimpimu!” teriak gadis itu sambil langsung berbalik hendak menjauh.

Tanpa membuang waktu atas harga dirinya yang terinjak, Jonathan bergerak cepat menarik rambut gadis itu. Detik berikutnya, tengkuk gadis itu sudah berada dalam cengkeramannya.

“Bersikaplah yang manis, Sweetheart,” bisik Jonathan dengan geram. Terlihat jelas rahang lelaki itu yang terkatup karena tersinggung. “Aku mulai muak dengan kegilaan kalian akhir-akhir ini. Bersikaplah seperti perempuan. Memohonlah untuk cintaku.”

Baru saja gadis itu berniat melawan, saat tiba-tiba seseorang membentak di dekat telinga Jonathan. Bahkan orang itu menarik paksa cengkeramannya.

“Lepaskan dia!”
***

Kalila menghela napas lega saat tengkuknya terbebas dari cengkeraman lelaki itu. Ia menoleh pada Jonathan yang terlihat kesal. Seseorang sudah menginterupsi sikap kasar lelaki itu sekaligus menyelamatkan Kalila. Tidak seperti keramaian di sekitarnya yang bersikap acuh tidak acuh. Padahal semua itu terjadi di depan mata mereka. Entah tidak ingin ikut campur atau memang terlalu menikmati acara.

“Hei, hei. Tidak perlu cemburu,” ucap Jonathan lemah lembut seolah sedang menenangkan singa yang mengamuk.

“Kau menyakitinya, keparat!”

“Tidak pantas seorang gadis berkata seperti itu.” Jonathan masih melanjutkan sandiwara yang membuat telinga Kalila muak. “Kau mau menunggu antrean, Sweetheart? Aku tidak bisa mencium tiga orang gadis sekaligus malam ini. Hanya satu orang yang akan mendapat kecupanku saat Angel’s Kiss tengah malam nanti.”

Tanpa peduli pada omong kosong yang terus meluncur dari bibir lelaki itu, Kalila lantas bergerak menyela di antara seteru itu. “Ayo kita pergi, Erin!” ujar Kalila sambil menarik tangan penyelamatnya.

Sayangnya, Jonathan bergerak cepat menangkap tangan Kalila. Ia menarik gadis itu hingga berhadapan dengannya. “Urusan kita belum selesai, Sweetheart.”

Erin bergerak maju dan menyentak paksa cekalan tangan Jonathan. Dengan pandangan garang yang masih terkunci pada lelaki di hadapannya, ia mendesis bernada perintah, “Pergi, Kal!”

Tetapi Kalila bergeming. Ia tidak ingin meninggalkan Erin menghadapi lelaki seperti ini sendirian.

“Pergi ke toilet, nanti aku akan menyusul,” bisik Erin begitu menyadari sikap keras kepala Kalila. Ia mendukung kata-katanya dengan mendorong punggung Kalila menjauh. Cepat-cepat ia mengadang Jonathan yang hendak maju mengejar Kalila.

“Kenapa kau menyakitinya?” tanya Erin tajam.

“Bukan urusanmu! Minggir!”

“Kau seharusnya merayunya, bajingan!” balas Erin sengit. “Apa kau sudah kehilangan kemampuanmu memikat perempuan?”

Mata Jonathan melebar terluka. Harga dirinya benar-benar tercoreng malam ini. Berani-beraninya mereka—para jalang ini—meremehkan dirinya. “Tutup mulutmu, Jalang!” 

“Lihat? Kau bahkan tidak bisa memperlakukanku dengan baik.”

Seperti dihujani sebaskom es batu, Jonathan seolah tersadar. Benar. Bukan seperti ini seharusnya. Para gadis selalu berlutut padanya karena sikap manisnya. Kacau! Semua kacau! Ini pasti gara-gara Elena si perempuan sial.

“Sekarang dekati dia,” ujar Erin sambil melipat tangan di depan dada. “Dan bersikaplah seperti seorang gentleman.”

Jonathan tersenyum miring. Alisnya terangkat dengan antusias. “Aku memang akan melakukannya.”

Erin tersenyum memandang Jonathan yang berjalan mengikuti arah kepergian Kalila. Selesai sudah tugasnya malam ini. Kaki Erin melangkah pongah ke arah bar. Ia duduk menyilangkan kaki di kursi tinggi berlapis kulit imitasi berwarna hitam. Sepertinya perayaan kecil dirasa perlu bagi pencapaiannya.

Angel Face,” ucapnya pada bartender sambil mengacungkan jari telunjuknya.

Seharusnya setelah malam ini, Kalila merasa jera karena berusaha menjauhkan Elliot darinya. Jika tidak berakhir dalam jeratan Jonathan Adam, maka ia akan berakhir di tangan Lory dan teman-temannya yang sudah menunggu di toilet. Yang mana saja tidak menjadi masalah bagi Erin.

Erin mengangguk ringan saat bartender menghadirkan minuman ke hadapannya. Ia mengulas senyum tipis sebelum menyesap campuran gin, apricot, dan calvados dalam gelasnya. Gadis itu menghela napas sambil membayangkan Elliot ada di sampingnya.
***

Kalila berjalan cepat menyeruak di antara kerumunan. Saat menengok ke belakang, ia melihat Erin masih berdebat dengan lelaki itu. Ia tidak bisa melihat wajah Erin karena gadis itu memunggunginya. Tetapi ia bisa melihat jelas ekspresi lelaki itu mengeras di bawah cahaya temaram. Entah apa yang sudah dikatakan Erin.

Pandangan Kalila kembali ke depan. Ia harus memerhatikan langkahnya. Sebaiknya ia menunggu Erin di toilet seperti yang diminta gadis itu. Lagipula lelaki yang tadi tidak akan mengejar mereka ke dalam toilet wanita.

Sekali lagi, Kalila menoleh ke belakang begitu ia berhasil keluar dari kerumunan. Tetapi apa yang dilihatnya bukanlah Erin melainkan lelaki itu mengikutinya. Kalila berjalan lebih cepat melewati deretan sofa hitam yang sudah dipenuhi senda gurau. Beberapa pasangan bahkan seperti tidak bisa menahan gairah dan mulai berciuman.

Sepatu hak tinggi yang dikenakan Kalila menganggu langkahnya. Pergelangan kakinya terasa nyeri setelah kakinya salah melangkah. Ia bergerak terpincang-pincang sambil berusaha menemukan arah yang benar. Ah, di saat seperti ini ia benar-benar merindukan chukka boots-nya.

Hingga akhirnya, Kalila menabrak seseorang. Ia mengangkat kepala dan bernapas lega di tengah aroma alkohol yang menguar di udara. Wajah itu begitu menenangkan di tengah kegelapan yang disela lampu warna-warni.

Sementara Jonathan seperti mendapat kesempatan begitu melihat Kalila berhenti berjalan. Tanpa menunggu, ia langsung menarik lengan gadis itu ke arahnya. Kali ini, ia tidak akan membiarkan gadis itu bersikap jual mahal. Padahal gadis itu sendiri yang meminta untuk bertemu dengannya. Bahkan menggunakan nama Elena untuk memancingnya.

Lagi-lagi gangguan datang. Jonathan berdecak kesal saat seseorang menarik paksa gadis itu hingga menjauh dari hadapannya. Bahkan orang itu bersikap sok pahlawan dengan memosisikan gadis itu di belakang punggungnya.

“Hei, cari pelacurmu sendiri, Jagoan!” umpat Jonathan sambil maju menantang. “Dia milikku!”

Dalam gerakan cepat, orang itu malah menangkap lengan Jonathan dan memuntirnya ke belakang.

Terkesiap dengan perlawanan yang tidak diduganya, Jonathan mencoba mencari cara lain. “Aku tidak suka memakai kekerasan seperti ini, Kawan. Tapi gadis itu yang memintaku menemuinya tapi dia malah bersikap sok jual mahal.”

“Itu tidak benar!” sanggah Kalila. Apa lelaki ini benar-benar mabuk hingga bisa mengarang cerita seperti itu?

“Jangan menipuku, Jalang!” umpat Jonathan lagi. Kali ini ia berusaha meronta mencoba meraih Kalila. Tetapi yang didapatnya untuk itu malah lebih buruk. Cengkeraman di tangannya malah semakin kuat hingga membuatnya mengaduh.

“Dengar, dia bukan pelacur dan bukan perempuan jalang,” bisik orang itu tepat di telinga Jonathan. Nadanya sarat akan ancaman yang tidak main-main. “Begitu kulepaskan tanganmu, enyahlah dari hadapanku.”

Orang itu melepaskan Jonathan seperti janjinya. Dan dengan bijaksana Jonathan memilih menjauh sebelum ada orang lain yang akan mempermalukannya malam ini. Ia berjalan dengan umpatan yang masih melompat dari bibirnya.

Kalila menghela napas lega. Ia sama sekali tidak menyangka akan mengalami semua ini. Mungkin benar tempat seperti ini sudah tidak cocok untuknya. Kali ini ia berjanji tidak akan pernah datang ke acara serupa. Siapa pun yang mengundangnya.

Tiba-tiba seseorang menyampirkan jas berwarna putih di bahu Kalila, membuyarkan lamunannya. Potongan jas itu tampak maskulin. Jauh berbeda dengan jas putih para dokter. Dan jas itu juga masih mengandung kehangatan tubuh pemiliknya.

“Kau baik-baik saja, Lil Princess?” tanya orang itu khawatir.

Kalila menggeleng. “Terima kasih.”
***

Cahaya berpijar dari lampu-lampu gedung yang menjulang tinggi. Seolah ingin menyaingi gemerlap bintang di langit. Volume kendaraan yang memenuhi jalan belum juga surut padahal sudah hampir tengah malam. Tampaknya semua orang benar-benar ingin menghabiskan malam ini seolah tidak ada hari esok.

“Apa tidak apa-apa kita pergi tanpa berpamitan pada temanmu?” tanya Diego tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya.

“Tidak apa-apa,” jawab Kalila lantas memasukkan ponselnya ke dalam tas pestanya. “Aku sudah mengirim SMS padanya.”

Bibir Diego menarik seringai yang tidak bisa disembunyikannya. “Apa itu berarti kita akan menghabiskan malam ini berdua saja?” tanyanya dengan nada dibuat sensual.

Mata Kalila memelotot lebar. Ia melayangkan pukulan ke bahu Diego. “Jangan mengucapkan sesuatu seolah kita akan melakukan hal tidak senonoh!”

Alih-alih mengaduh atau memohon ampun, lelaki itu malah tergelak. “Hei, masa seperti itu sikapmu pada pahlawan penolongmu?”

Bibir Kalila mencebik mendengar pertanyaan retorik itu. Ia menyilangkan tangan di depan dada dan melempar pandangan ke luar jendela mobil. Sementara suara tawa Diego berangsur mereda dan lenyap dari udara.

“Omong-omong, kenapa tadi kau lari?” tanya Diego berusaha mengganti topik pembicaraan sebelum gondok Kalila berubah sebesar semangka.

“Apa maksudmu?”

“Kalila yang kukenal pasti akan menghadapi orang seperti itu.” Diego melirik sekilas pada Kalila yang tersenyum tipis. “Bukan lari menghindar seperti tadi.”

Kalila tertawa kecil seperti menertawakan diri sendiri. “Jika meladeni orang sinting seperti itu, bisa- bisa aku ikut sinting. Jadi, lebih baik aku menghindari konflik berkepanjangan.”

Mata Diego melebar takjub. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dan Kalila merasa tidak nyaman ditatap seperti itu. Seolah ia baru saja mengakui kebenaran bahwa ia adalah alien dari planet lain.

“Kau sendiri kenapa tiba-tiba muncul di sana? Apa kau... sengaja mengikutiku?” dakwa Kalila sambil memicingkan mata penuh kecurigaan.

“Yang benar saja!” elak Diego lantas terbahak. “Aku pergi ke acara itu bersama teman-teman kuliahku.”

Alis Kalila terangkat sangsi. “Kalau kau memang sudah ada janji, kenapa tadi siang kau mengajakku makan malam?”

“Kau tahu, aku rela membatalkan janji yang lain demi kau,” ujar Diego lantas tersenyum. “Walaupun sialnya, lagi-lagi aku ditabrak oleh gadis yang sama.”

“Salahmu sendiri kenapa selalu muncul di saat seperti itu.”

“Padahal aku lebih berharap mendapat Angel’s Kiss darimu,” gurau Diego dengan senyum usil.

“Dalam mimpimu!”

“Aku baru bisa bermimpi saat aku sedang tidur.” Diego masih melanjutkan candanya sambil menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas berubah merah. “Kau mau menemaniku?”

“Ayolah!” Kalila mendorong ringan bahu Diego penuh kekesalan. “Harusnya kau membantuku menikmati malam yang sudah buruk ini.”

“Memang malam seperti apa yang ingin kau nikmati bersamaku?” tanya Diego dengan seringai yang merahasiakan ribuan makna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D