Selasa, 28 Juni 2016

Green Eyed Chapter 7


Nico POV
Jantungku berdetak hebat. Aku sudah berusaha menginjak remku sedalam mungkin. Tapi sepertinya lagi-lagi dewi fortuna tak berpihak kepadaku. Aku saling melempar pandang dengan gadis di sampingku yang juga terpaku menatapku.

“Apa itu tadi?” Gumamku yang kemudian disambut gelengan pelan oleh gadis di sampingku. Sesaat teriakan seorang lelaki mencuri perhatian kami. Lalu kami turun untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Aku ragu gadis itu masih hidup saat melihat kondisinya.

“Trisia, bangun!” Seorang lelaki berkaus hitam yang ada di hadapanku menepuk pelan wajah gadis yang tergeletak itu berkali-kali. Namun gadis itu tak juga menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

“Maafkan kami. Dia tiba-tiba berada di tengah jalan.” Ujar Elena terbata-bata. Aku bahkan tak mampu mengatakan apapun. Aku terpaku menatap darah yang mengalir membasahi jalanan, sementara lelaki itu sama sekali tak menggubris Elena. Tanpa mengatakan sepatah katapun pada kami, lelaki itu mengangkat tubuh kurus gadis itu, membawanya ke sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari situ.

“Nick, ayo kita ikuti mobil itu.” Elena menarik tanganku, namun kakiku terasa kaku. Sepertinya otak dan hatiku memiliki pikiran yang berbeda. Aku cukup sadar dengan kondisi macam apa aku berada. Tapi entahlah, aku sedang tidak yakin pada diriku sendiri.

“Nick!” Gadis di sampingku sedikit mengeraskan suaranya. Apa dia pikir aku sudah tuli hingga membuatnya berteriak begitu kerasnya di telingaku?

“Ah kau ini bertingkah seperti orang idiot!” Bentak Elena yang kemudian mendorongku menuju bangku penumpang, kemudian ia berputar menuju bangku kemudi dan menginjak gasnya untuk mengejar mobil hitam yang hampir hilang dari pandangan kami.

“Nick, kau baik-baik saja?” Tanya Elena saat aku tak juga membuka mulutku. Beginikah yang dirasakan Elena saat itu?

“Aku baik-baik saja. Apakah orang itu baik-baik saja?”

“Entahlah. Jika kita bisa menemukannyadi rumah sakit, mungkin kita akan tahu keadaannya.”

Aku bisa saja meminta Dani—kaki tanganku—untuk menyelidiki gadis itu, tapi aku bahkan tak tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang. Mungkin kalian juga pernah merasakannya? Seperti otakmu menghilang secara tiba-tiba dan tak ada perasaan bersalah sedikitpun yang bergelayut di hatimu. Rasanya seperti jiwaku meninggalkan ragaku ke suatu tempat dan bisa dikatakan aku merasa kosong.

Aku melihat mobil itu berbelok ke sebuah rumah sakit dan Elena masih berusaha agar tidak kehilangan jejak. Kulihat lelaki itu membopong gadis yang ia panggil Trisia tadi dan menidurkannya di sebuah brankar yang dibawa oleh beberapa orang perawat.

Entah kapan Elena turun, ia membuka pintu di sampingku dan menarikku keluar. Ia menarik tanganku menuju pintu UGD yang tak jauh dari tempat parkir. Aku mengedarkan pandanganku, mencari-cari kemana lelaki itu membawanya. Dan kulihat lelaki itu duduk dengan membenamkan wajahnya pada telapak tangannya.

“Kau mau kesana?”
***
Elena POV
Aku memerhatikan Nico yang sedari tadi memilih bungkam. Aku merasa Nico sedang berada di dunia lain. Ia linglung dan aku yakin dia tak menyadari pertanyaanku barusan. Mata lelaki itu lurus menatap seseorang yang ada beberapa meter di hadapan kami.

Aku tak perlu menunggunya, aku penasaran. Kuhampiri lelaki itu dan meninggalkan Nico yang masih mematung dan berkutat dengan pikirannya.

“Bagaimana dengannya? Sungguh kami minta maaf, kami benar-benar tidak sengaja.” Aku tak yakin aku harus mengatakan ini. Namun apapun konsekuensinya aku akan menerimanya. Lihat, aku bahkan lupa pada masalahku sendiri yang sebesar gunung itu.

Lelaki itu tak juga menengadahkan kepalanya. Namun kulihat tangannya bergerak untuk mengusap wajahnya. Dia menangis. Mungkin gadis itu adalah seseorang yang berarti untuknya.

“Maafkan aku.”

“Aku tahu bukan kalian yang salah.” Ujar lelaki itu. Ia tersenyum, namun aku tahu itu hanya senyum yang dipaksakan. Mataku beralih pada Nico yang mendekat ke arahku.

“Mengapa dia seperti itu? Dia bisa saja membahayakan keselamatan yang lainnya.” Aku mendengar nada Nico yang terkesan menyalahkan. Lelaki ini benar-benar tak mengarti situasi.

“Aku meminta maaf pada kalian atas namanya. Dia sedang dalam kondisi yang kurang baik. Permisi.”

Aku tahu pasti lelaki tersinggung. Bagaimanapun juga dia sedang mengalami musibah saat ini. Aku mendesah, menatap manusia keras kepala di sampingku. Aku meraih tangannya yang mengepal kuat.  Raut wajahnya tak terbaca dan membuatku sedikit takut.

“Kau mau disini atau pulang?” Tanyaku pada lelaki yang beberapa menit terakhir ini lebih memilih diam. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya ia melingkarkan tangannya di sekitar pinggangku, kemudian membimbingku untuk keluar. Sesaat aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok lelaki berkaus hitam yang tiba-tiba saja menghilang. Namun aku tak melihatnya. Mungkin lain kali aku akan menjenguk gadis itu.
***
Kami bertiga duduk bersama. Ya, bertiga. Evan sedang duduk tepat di hadapan Nico, melipat tangannya, menatapku dan Nico secara bergantian. Kami semua membisu. Aku berusaha mereka-rekaapa yang sedang terjadi, hingga Evan berdehem untuk mencairkan suasana kaku yang menyelimuti kami.

“Kenapa kalian di sini?” Pertanyaan itu bukan untuk ‘kami’, tapi lebih tertuju pada Nico.

“Adikmu merindukanmu.” Jawab Nico ringan. Mungkin jika aku di posisi Evan, aku akan marah, menunjuk wajah Nick sambil mengumpat kasar. Tetapi aku yakin, Evan jauh lebih sabar dari pada aku. Hanya saja, aku khawatir ini akan menyulut kemarahan Evan.

Seumur hidup aku hanya dua kali melihat Evan marah. Pertama saat orang tua kami bercerai, kedua saat mantan pacarnya memakiku di depan umum. Dan itu sangat mengerikan. Bahkan untuk beberapa hari aku tak berani mendekatinya karena aura kelam di sekitarnya tampak tak mudah surut begitu saja.

“Kau tahu situasinya tidak memungkinkan. Apalagi di rumah ini.” Ujar Evan dengan suaranya yang terdengar putus asa.

“Aku tahu, aku sudah menyiapkan tempat. Sebuah aparteman untuk Elena.”

“Apa?” Tanyaku dan Evan bersamaan. Entah kapan lelaki itu mengurusnya. Aku bahkan tak pernah tahu bahwa dia telah menyiapkan sebuah apartemen untukku.

“Aku sudah memikirkan semuanya, Evan. Tenanglah. Aku sudah berjanji padamu, bukan bahwa aku akan menjaga Elena.”Nico menggenggam sebelah tanganku yang terasa dingin. Entah mengapa, setiap sentuhan dari tubuhnya selalu membuatku hangat, bahkan tatapan matanya padaku pun membuat hatiku juga terasa hangat. Kadang aku curiga pada lelaki tampan ini, apakah dia memang seorang manusia atau dia adalah salah satu spesies sejenis Jacob Black.

Evan berdehem, membuyarkan lamunanku tentang Jacob Black. Namun mataku masih tak bisa terlepas dari jeratan mata coklat yang memabukkan itu.

“Elena.” Suara Evan seolah menyadarkanku dari hipnotis lelaki di sampingku. Evan menatapku tajam. Sangat tajam bak trisula Dewa Siwa yang siap menghujamku. “Apa bisa kau jelaskan apa artinya ini?” Lanjutnya.

Entahlah aku harus mulai dari mana. Sebelumnya aku tak pernah sungkan pada Evan setiap aku menceritakan pacar baruku padanya. Tapi berbeda kali ini. Kali ini lelaki yang mencuri hatiku adalah seseorang yang juga dikenal oleh Evan.

“Seperti yang kau lihat, kak.” Ujarku ragu. Aku bisa melihat rahangnya mengeras. Dan aku pastikan dia tak setuju pada hubungan kami, sama halnya denganku dan Vano dulu.

Evan mengembuskan napasnya seolah beban beratnya baru saja menguap bersamaan dengan napasnya. Aku merasa seperti seorang tersangka yang menanti hukumanku dibacakan oleh hakim. Aku tahu pada akhirnya Evan akan membiarkanku, tapi tanpa persetujuannya sering kali itu membuatku kurang beruntung.

“Aku sudah menduganya.” Nadanya terdengar lelah. “Aku sudah memperingatkanmu Nick dan tampaknya kau tak peduli.” Evan menatap Nick tajam yang dibalas Nick dengan anggukan sombongnya. Tentu saja, Nick tak akan peduli dengan peringatan orang lain.

“Karena sudah kubilang padamu bahwa aku menginginkan Elena.” Senyum Nick mengembang, menatap mataku dan membawaku menuju dunia lain yang hanya ada kami berdua di dalamnya. Telingaku mendadak tuli, hanya bisa mendengar suara Nick. Begitu juga mataku, aku hanya bisa melihat Nick dan kebun bunga yang terhampar luas mengelilingi kami. Mungkin aku sedang mabuk.
***
Nico POV
Kurebahkan tubuhku di sofa panjang yang ada di rumah Elena. Evan sudah menyuruhku pulang, namun aku tak ingin jauh dari Elena. Saat kukatakan aku akan mengantar Elena ke apartemen, sepertinya Evan ragu akan membiarkanku membawa adiknya tengah malam seperti ini.

Aku memainkan ponselku, menghapus beberapa foto dan kontak gadis-gadis yang sering menghubungiku. Aku sudah memutuskan tak akan lagi menghubungi mereka. Aku akan meninggalkan mereka hanya untuk Elena. Elenaku.

Aku tersenyum membayangkan gadis itu kini menjadi milikku meski aku belum bisa memiliki dia sepenuhnya. Pidato panjang Evan tentang ‘menjaga adiknya’ hanya berlalu begitu saja di telingaku, karena tanpa pidatonya, aku tahu apa yang harus kulakukan. Dia tak perlu mengguruiku. Sebuah pesan masuk, mengagetkanku yang tengah sibuk membayangkan Elena.

Hai sayang, kau masih sibuk? Aku merindukanmu. Telpon aku secepatnya ya.

Jantungku seolah berhenti untuk beberapa detik. Bianka. Model seksi majalah fashion ternama. Salah satu teman kencan yang berpotensi menghabiskan seluruh uangku bahkan uang ayahku, mengingat dia pernah menggoda ayahku saat masih menjalin hubungan denganku. Tapi karena dia cantik, aku memaafkannya. Itu cerita lama, mungkin sebelum mengenal… Ariana atau Lolita? Mungkin aku mengenal Lolita lebih dulu.

Tapi kini, aku memilih untuk menutup semua masa laluku, begitu juga dengan pesan itu. Aku memilih untuk menghapusnya sebelum perang dunia ketiga mengharuskanku menjadi korban tewas karena amukan macan betina yang beringas itu.

“Kenapa tidak dibalas?” Suara seorang gadis yang sangat kukenal membuatku berjingkat. Aku mengedarkan pandanganku, namun tak seorangpun yang dapat kutangkap dengan mataku. Aku berhalusinasi. Mungkin karena rasa takutku. Nico takut? Aku bahkan mulai tak yakin dengan keberanianku.

“Siapa yang kau cari?” Suara itu terdengar jelas di telingaku saat aku kembali merebahkan tubuhku. Aku memutar kepalaku, menangkap sosok gadis yang berjongkok di samping sofa. Aku mulai khawatir dengan posisinya yang seperti itu, ia akan membaca pesan Bianka tadi. Tapi kekhawatiranku tampaknya sudah terjawab begitu melihat alisnya yang menyatu dan bibirnya yang mengerucut. Tatapan matanya seolah menyampaikan pesan tersirat penuh ancaman.

“Ti… Tidak… Apa yang kau lakukan di situ, sayang?” Aku menarik tangannya, membawanya untuk duduk di sampingku. Aku mengecup puncak kepalanya sambil tak henti-hentinya berdoa agar gadis itu tidak salah paham.

“Sayang, Bianka merindukanmu.” Ujar Elena dengan nada manja yang dibuat-buat. Aku sedang dalam posisi tersudut dan aku menyalahkan Bianka untuk ini. Aku sengaja tidak pernah menghubunginya untuk memutuskan hubungan dengannya, dan dari sekian banyaknya hari, kenapa dia memilih malam ini untuk mengirimkan pesan sialan itu padaku?

“Mungkin itu salah sambung, sayang.” Aku meraih pundaknya, memeluknya dengan erat. Oke, sejauh ini tidak ada tanda-tanda Elena akan mengeluarkan mantra mematikannya untukku.

“Dia pacarmu?” Tanyanya penuh selidik. Aku masih tak melepaskan pelukanku padanya. Sengaja. Aku takut menatapnya.

“Bukankah pacarku adalah kau?” Suaraku mantap, terdengar sangat meyakinkan.

“Awas saja jika kau berani macam-macam. Kupastikan kau hanya akan menjadi seonggok daging untuk makanan anjing liar.” Ancaman Elena tidak sepenuhnya membuatku takut, karena aku yakin dia tak akan setega itu. Tapi ada hal lain yang membuatku khawatir, dia meninggalkanku.

“Sungguh Elena, aku akan menepati janjiku. Tidak akan ada orang lain di antara kita. Aku janji padamu. Kau bisa lakukan apapun padaku jika aku mengkhianatimu.”

Senyuman yang cukup lebar menghiasi wajah cantik Elena. Dalam hati aku bersyukur bahwa dia tidak akan mengamuk untuk malam ini. Ya setidaknya malam ini di mana aku sedang berada di atap yang sama dengan Evan. Aku menyusuri wajah Elena dengan telunjukku. Mengamati setiap senti wajahnya. Alisnya yang rapi, mata hitamnya yang sedikit sipit, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung serta bibirnya. Bibirnya yang mungil dan merah tanpa polesan lipstik.

Ibu jariku mengusap bibirnya yang lembut. Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya, bibirku memaut bibirnya perlahan. Elena memejamkan matanya, menikmati ciuman lembut yang kuberikan padanya. Kurasakan ia membalas ciumanku, kedua tangannya melingkar di leherku. Aku menciumnya semakin dalam. Saat rasa nyaman mulai menelusup di hatiku, ponsel sialan di atas meja itu berdering memekakkan telingaku.

“Sialan!” Gerutuku pada ponsel yang terus berdering tak tahu diri itu. Elena menjauhkan wajahnya dariku. Ia mencoba mengatur napasnya yang tidak teratur. Wajahnya merona, membuatku ingin kembali menciumnya.

Aku meraih ponselku, membaca nama penelpon yang terpampang di layar ponselku. Sherly. Ya ampun, apa lagi ini. Sekilas aku menatap Elena yang lagi-lagi mulai cemberut. Oh, ayolah, ini hanya sekretarisku di kantor ayah.

“Ya.”

“Selamat malam, sayang.” Ujar Sherly dengan nada cerianya. Jantungku terasa dipilin di dalam dada. Aku kembali melirik gadis di sampingku. Gadis itu tampaknya sudah siap menerkamku begitu nanti aku menutup telpon.

“Bersikaplah sopan, Sher.” Aku menjaga agar nadaku terdengar tegas. Untuk Sherly maupun Elena.

“Uh, kau sangat galak akhir-akhir ini, sayang. Ayahmu besok ada rapat dengan klien baru. Tapi beliau terbang ke Australia tadi sore. Beliau memintaku untuk menghubungimu agar kau bisa menggantikannya.”

Sialan, tua bangka itu lagi-lagi seenaknya.

“Baiklah.” Aku menanggapinya singkat, kemudian mematikan daya ponselku. Aku tak ingin malam ini menjadi lebih buruk dari ini.

“Rupanya cara sekretaris menyapamu di kantor cukup mengesankan.” Sindir Elena yang sepertinya mencuri dengar dari percakapan kami.

“Aku bisa jelaskan, sayang. Ini tidak seperti yang kau kira.” Aku kembali merayunya dengan cara yang sama. Tetapi tampaknya itu tak berhasil, karena gadis itu beringsut dengan kesar dan menunjuk wajahku dengan jemarinya yang lentik.

“Kau… Aku besok akan mengikutimu ke kantor. Dan lihat apa yang bisa kulakukan.”

“Tapi sayang,”

“Tidak ada tapi-tapian.” Bentak Elena yang kemudian meninggalkanku ke lantai dua.


Baiklah, Nico, tampaknya sebuah perang dunia ketiga akan dimulai! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D