Rabu, 01 Maret 2017

Green Eyed Chapter 10



NICO POV
Aku menatap kepergian mereka berdua. Seketika rasa kecewaatau marahbagaikan halilintar yang menyambar hatiku. Aku melaju dengan kecepatan tinggi membayangkan gadisku terpuruk sendirian di lorong rumah sakit, dan berharap aku akan segera tiba untuk dapat segera memeluknya. Tapi sepertinya aku berpikir terlalu jauh hingga membuatku jatuh.

Aku merangkul emosiku, menenangkannya dengan logika. Lalu berjalan menyusuri lorong rumah sakit berlantai granit tersebut. Kulihat tangan lelaki itu melingkar di bahu gadisku. Tanpa sungkan ia terus berjalan menuntun Elena meski gelagat Elena tampak enggan, hal itu membuatku resah.

“Hai bung, kurasa dia bisa berjalan sendiri.” Aku menarik tangan lelaki kurang ajar yang telah memeluk milikku sebelum emosiku menghancurkan segalanya.

“Maaf, aku hanya membantunya. Kakaknya baru saja mengalami kecelakaan, dan kurasa…”

“Jangan rasakan apapun. Sebaiknya kau segera kembali, pasienmu sudah menunggu. Kau harus bertanggung jawab sebagai dokter.”

“Aku lebih tahu apa yang harus ku kerjakan. Jangan mengajariku.” Ujar lelaki itu dengan nada santainya, “Ayo, Elena.” Ia kembali melingkarkan tangannya pada bahu Elena.

Aku merasa sudah cukup sabar menghadapi lelaki brengsek itu. Tanpa kusadari tanganku mengepal dengan erat. Menyadari itu, Elena memberikan jarak untuk lelaki itu.
“Terima kasih, aku bisa sendiri.” Ujar Elena yang kemudian berjalan menjauhi kami.

“Elena…” Panggil lelaki itu.

Aku mengacungkan jari telunjukku tepat di hadapannya, “Jangan kau berani dekati dia.”
***
“Apa yang terjadi?” Kuhampiri Elena yang duduk di kursi kayu di samping kasir kantin.

“Evan mengalami kecelakkaan dan pendarahan di kepalanya. Kondisinya masih kritis dan belum sadarkan diri. Aku menghubungi orang tua kami tapi tak satupun yang tersambung. Apa yang harus kulakukan?”

Aku terdiam sesaat, emosiku padam seketika berganti perasaan sedih menatap Elena yang tampak pucat. Air mata terus mengalir dari matanya.

“Aku akan mencoba menghubungi orang tuamu. Sudahlah. Aku yakin semua akan baik-baik saja, Elena.”

“Apakah ini adalah balasan untukku?”

“Cukup, Elena. Ini bukan balasan. Jika ini adalah sebuah balasan, maka bukan Evan yang terbaring di ruangan itu, tapi aku.”

Elena terdiam, menatapku dengan tatapan garangnya. Aku paham maksud gadis itu, tetapi aku memilih untuk berpura-pura tidak memahaminya. Hal itu kulakukan bukan tanpa sebab, aku yakin, jika aku meneruskan topik ini, dia akan semakin marah. Dan aku bertaruh hal itu sama sekali tidak baik untuknya, untukku, maupun untuk kenyamanan kantin ini.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi firasatku Evan akan segera siuman. Sebaiknya kau tenangkan dirimu.” Kucoba menenangkan gadis itu dengan memeluk pundaknya yang terasa semakin kurus.
***
ELENA POV
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Aku mendengar jelas suara detak jantungnya yang terdengar kencang. Aku tahu pasti apa sebabnya. Jelas karena perasaan kesalnya pada Andre.

“Apa kau masih merasa kesal?”

“Untuk apa?” Tanya Nico yang kemudian mendorong tubuhku untuk menatapku.

“Kau cemburu?”

“Untuk apa aku cemburu?”

“Pembohong. Aku tahu kau cemburu dan kau kesal pada Andre karena sikap manisnya padaku. Bukan begitu?”
 “Apa kau merasa sikap lelaki itu manis? Kau suka dengannya?”

Aku tersenyum melihat sikapnya saat cemburu. Itu justru terlihat sangat manis bagiku. Selama ini aku tidak pernah melihatnya mengungkapkan secara langsung bahwa dia cemburu. Dia selalu bersikap keren di hadapanku.

“Kenapa kau tidak menghajarnya seperti yang terakhir kali kau lakukan?”

Lelaki itu tertawa.

“Kau ingin aku melakukannya? Cemburu buta dan mengobrak abrik ketenangan rumah sakit ini? Lalu satpam akan membawaku ke kantor polisi? Tidak Elena, aku sadar, aku sudah agak tua untuk melakukan hal kekanakan seperti itu.” Ujar Nico sambil menegaskan kata ‘agak’ pada ucapannya.

“Kenapa? Aku sering menonton dalam drama, ketika seorang lelaki cemburu, dia akan menghajar lawannya dan melindungi gadisnya. Kurasa hal itu akan menyenangkan.”

“Kau merasa seperti itu? Tapi itu adalah drama. Kerusakan yang ditimbulkan oleh perkelahian itu tidak akan dipermasalahkan. Lalu jika aku melakukannya? Jangan bercanda, Elena, aku hanyalah pegawai kantor pajak sekarang. Gajiku tidak sebesar saat aku menjadi direktur sementara di perusahaan ayah. Lalu berapa uang yang harus kukeluarkan untuk membayar kerusakan itu?” Kata Nico tertawa.

“Setidaknya aku senang mengetahui bahwa kau merasa cemburu.”

“Mungkin seharusnya aku tak perlu cemburu.” Aku mengernyitkan dahi mendengar pernyataan itu. Kutatap matanya dengan tatapan penuh tanya. Lelaki itu memandangku dengan melempar senyumnya padaku. “Cemburu adalah bagian dari perasaan. Dan seharusnya aku yakin bahwa perasaanmu padaku tidak akan pernah berubah. Jika aku merasa cemburu, bukankah itu berarti aku tidak percaya padamu?”

“Apa itu artinya kau tidak merasakan cemburu?”

“Aku merasakannya. Tapi kau tidak akan tahu.”

“Pembohong.”

“Kenapa sekarang kau menuduhku pembohong? Jika saat menonton drama kau tahu saat-saat lelaki itu cemburu hanya dengan melihatnya, kenapa kau tidak bisa melihat perasaanku? Kau menyebalkan, Elena.” Gerutu lelaki itu yang membuatku tersenyum geli.

Aku sadar, kami memang tidak sedang menjalankan skenario drama. Mungkin aku terlalu terbuai dalam drama-drama romantis yang sering kutonton. Dan realitanya kehidupanku tidak sesuai dengan apa yang seharusnya kuinginkan. Hal itu membuatku kembali teringat bahwa kecelakaan itu juga bukanlah sebuah drama. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa menghindar.


NICO POV
Entahlah, aku sudah mengendalikan diriku untuk bersikap lebih dewasa. Tetapi Elena selalu membuatku kesal. Aku mencuci wajahku untuk menghilangkan rasa kantukku. Aku kembali ke ruang tunggu di depan ruang ICU, ini sudah pukul empat pagi dan Elena masih terjaga di tempat duduknya. Wajahnya tampak murung dan pucat sambil sesekali ia memainkan ponselnya. Kurasa ia masih mencoba menghubungi orang tuanya.

“Halo, ma, Evan sedang kritis, tidak bisakah kau pulang? Aku sangat takut.” Ujar Elena yang tampaknya telah tersambung dengan ibunya. Aku menghentikan langkahku, membiarkannya memiliki ruang untuk berbicara dengan orang tuanya. Namun tampaknya pembicaraan itu tak berlangsung selama yang kuduga, Pembicaraan itu berakhir ditutup dengan tangisan pilu Elena.

“Apa yang terjadi?” Aku berlutut dihadapan Elena, menyibakkan rambut kusutnya yang menutupi wajahnya.

“Aku baru saja tersambung dengan ibuku, kami tidak banyak bicara.”

“Lalu?”

“Aku mengatakan bahwa Evan sedang kritis, tapi beliau masih ada proyek penting di Paris, lalu menyuruhku menghubungi ayahku.”

Aku sudah tahu bahwa ibu Elena adalah orang yang unik. Evan pernah menceritakannya padaku. Sebelumnya aku tidak pernah melihat ada seorang ibu yang tidak begitu memerhatikan anak-anak mereka selain ibu Evan dan Elena, dan satu lagi, ibu dari teman SMAku. Bahkan, Roby, ia tak sempat melihat ibunya di saat terakhir kematiannya.

“Aku yakin beliau akan segera kembali. Beliau akan menyelesaikan proyek itu terlebih dulu.” Aku mencoba menghiburnya.

“Kau salah, Nick. Itu artinya dia tak akan bisa pulang setidaknya satu atau dua bulan lagi.”

“Tapi…”

“Kau tidak mengenal ibuku, bukan? Aku dan Evan sudah sangat sering mendapatkan jawaban seperti ini. Dia bahkan tak peduli pada kami. Yang terpenting baginya adalah dia bisa memberikan uang pada kami. Sejak aku kecil, ibuku sudah sering meninggalkan kami hingga beberapa bulan. Hal itu sudah biasa.”

“Meski tak bisa menggantikan orang tuamu, aku akan menemanimu, Elena.”

Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Aku berdiri untuk mengambil duduk di sampingnya ketika tiba-tiba beberapa perawat datang menyerbu ruangan Evan. Pandangan kami tertuju pada ranjang Evan yang dikelilingi oleh beberapa perawat yang tampak panik, begitu pula dengan kami. Elena berteriak memanggil nama Evan saat seorang perawat menghalanginya untuk masuk. Seketika aku melihat elektrokardiograf yang berada di sisi ranjang Evan telah menunjukkan garis lurus, dimana yang kutahu itu adalah sebuah pertanda buruk.


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D