Kamis, 27 April 2017

Purple Maple (Epilog)




INI pasti mimpi.

Kalila mendongak, memandang takjub sekumpulan bunga wisteria yang menggantung di atas kepalanya. Bunga-bunga itu berwarna putih, violet, dan ungu. Semuanya kompak bermekaran dan membentuk terowongan panjang yang indah. Seolah sedang menuntunnya ke alam mimpi.

Diego berada di belakang, mendorong kursi rodanya. Kalila memang sudah diperbolehkan pulang. Beberapa perbannya sudah dilepas. Tetapi kakinya masih tidak kuat berdiri maupun berjalan. Jadi, ia akan membutuhkan kursi roda sampai ia dinyatakan benar-benar sembuh. Berdua, mereka menyusuri keindahan itu tanpa banyak bicara. Hingga akhirnya mereka tiba di ujung terowongan.


Tetapi mimpi indah itu ternyata belum berakhir.

Dua orang berseragam seperti pramusaji restoranlengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna ungudatang menyambut dan menunjukkan sebuah meja yang sudah disiapkan untuk mereka. Meja itu berbentuk bundar dengan taplak satin sewarna lavendel berada di antara dua kursi yang berhadapan. Kursi-kursi itu memiliki sandaran tinggi yang dipenuhi ukiran. Seperti kursi yang biasanya berada di istana. Dan semua itu ditata di bawah naungan pergola yang juga berhiaskan bunga wisteria.

Saat masih tersihir dengan pemandangan di hadapannya, tiba-tiba Kalila memekik kaget saat merasakan tubuhnya melayang. Dengan mudah, Diego menggendong dan mendudukkannya di salah satu kursi yang dilapisi beledu bewarna ungu gelap itu.

“Lil Princess seharusnya duduk di kursi untuk Tuan Putri,” bisik lelaki itu di telinganya.

Wajah Kalila menghangat. “Terima kasih.”

“Terima kasih untuk apa?” tanya Diego begitu ia duduk di kursinya.

Dan saat itulah Kalila baru menyadari bahwa kedua pramusaji tadi sudah menghilang. Bersama dengan kursi rodanya. Sengaja memberi ruang privasi untuk mereka berdua.

“Terima kasih untuk semuanya. Tempat ini sangat indah,” jawab Kalila lalu menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Udara yang terasa segar dan membawa harum bunga wisteria. Ia juga bersyukur masih diberi kesempatan untuk berterima kasih pada Valeria. “Dan terima kasih kau sudah bersedia mengantarkanku menemui Elliot.”

“Justru aku yang heran, setelah apa yang bajbajaj itu lakukan padamu, kau malah berbaik hati menjenguknya di penjara.”

“Apa?” Kalila mengernyit, berusaha menahan tawanya. Tetapi ia takut sudah salah mendengar. “Bajaj?”

“Yah, aku tidak mau berkata kasar di depanmu,” jawab Diego sambil mengangkat bahu.

Baru kemudian Kalila melepaskan tawanya. “Jangan membencinya. Elliot melakukan itu karena kasih sayangnya yang terlampau besar pada Evelyn. Kau lihat sendiri, kan, dia menangis dan meminta maaf. Aku yakin dia sudah menyesali perbuatannya. Lagi pula karena kecelakaan itu, aku jadi sadar bahwa hal terpenting adalah orang-orang yang kucintai.”

Itu benar adanya. Orang tuanya sepakat untuk membagi tugas untuk mengurus bisnis mereka dan menemani Kalila di rumah secara bergantian. Dan itu berlaku seterusnya bahkan setelah Kalila sembuh total. Ia juga sudah tidak mau lagi menyembunyikan perasaannya kepada lelaki di hadapannya.

“Apa aku termasuk di dalam orang-orang itu?” tanya Diego sambil menatap langsung sepasang mata cokelat terang milik gadis di hadapannya.

Gadis itu tersipu, menghindari pandangannya. Tetapi detik berikutnya, ia menjawab dengan anggukan. Dan juga senyuman.

“Omong-omong, aku tidak menyangka kau masih menyimpan itu.”

Kalila menyentuh benda yang dimaksud Diego. Syal ungu pupus pemberian Diego di malam yang nahas itu. Yang selalu menghangatkannya saat tidur. Yang tetap membuat ia mampu mengingat semua kesalahannya di masa lalu.

“Tentu saja. Aku tidak punya alasan untuk membuangnya.”

“Tapi kurasa syal dan bunga kurang sesuai kalau dipadukan bersama.” Sekarang Diego mengerti mengapa Kalila memilih syal dibanding topi.

Kalila memandang bunga-bunga di sekelilingnya. Penuh nuansa musim semi. Sementara ia berpenampilan seperti hendak menghadapi musim dingin. “Biar saja.”

“Aku punya sesuatu yang jauh lebih baik daripada syal buluk itu.” Diego meletakkan sebuah kotak persegi panjang ke atas meja, lalu mendorongnya perlahan ke hadapan Kalila. “Mungkin ini terlambat, tapi lebih baik daripada tidak. Jadi, selamat ulang tahun, Lil Princess.”

Mata Kalila terbelalak heran sekaligus senang. Ia menatap bergantian antara kotak di atas meja dan lelaki di hadapannya. Lelaki yang masih saja penuh dengan kejutan. Kalila membuka hadiahnya dan mendapati sebuah kalung berliontin batu ametis di dalam kotak itu. Liontin itu berbentuk daun maple.

“Oh, cantik sekali.” Entah sudah berapa kali matanya melihat keindahan hari ini.

“Biar kupasangkan,” ucap Diego sambil mendahului Kalila untuk mengambil kalung itu dari kotaknya. Lelaki itu bangkit dan berpindah ke samping kanannya. Lalu melepaskan syal yang melingkari leher gadis itu. “Sebenarnya aku merencanakan makan bersamamu di bawah pohon maple berdaun ungu yang tumbuh lebat di hari ulang tahunmu. Tapi sekarang semua daunnya sudah gugur.  Jadi, aku hanya bisa memberimu ini.”

“Terima kasih, My Hero Diego,” ucap Kalila dengan tersipu.

Terjadi keheningan selama Diego memasangkan kalung itu di leher Kalila. Ia bisa merasakan dingin dari ujung jemari lelaki itu yang menyentuh sekilas tengkuknya. Tetapi entah mengapa justru membuat kedua pipinya terasa hangat. Bahkan dengan posisi tubuh yang memunggungi Diego, ia bisa merasakan daya tarik yang kuat di antara mereka berdua. Diam-diam, dalam hati Kalila bersyukur Diego tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Karena ia yakin, segala perasaannya tergambar jelas di sana.

Setelah selesai memasangkan kalung itu, Diego tidak langsung kembali ke tempat duduknya. Kedua tangannya bertumpu pada tepi meja dan lengan kursi, tubuhnya menunduk ke arah Kalila.

Kalila menggigit bibirnya. Gawat. Ia tidak akan tahan berada dalam suasana canggung seperti ini. Apa sih yang lelaki itu inginkan?

“Oh, ya, waktu itu kau bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan langsung padaku? Apa itu?” tanya Kalila berusaha mengalihkan keheningan.

Diego tidak langsung menjawab. Lelaki itu tertegun, mencoba mengingat. Tetapi detik berikutnya, ia menyeringai. Lalu merunduk lebih rendah. Lebih dekat pada Kalila.

“Aku ingin mengatakan bahwa apa pun perasaan yang ada di hatiku, kau selalu ada di sana.”

Tubuh Kalila yang tadinya membeku langsung menghangat ketika Diego berbisik di telinganya. Ia menolehkan kepalanya pada Diego. Hingga ia bisa merasakan napas lelaki itu di pipinya. “Hanya itu yang ingin kau katakan?”

Diego mengangguk. “Dan aku juga selalu berharap jika suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi, aku ingin menjadi orang yang pantas bagimu. Yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu. Kalau tidak bisa menjadi pasanganmu, setidaknya aku bisa menjadi temanmu.” Ia menatap kedua mata gadisnya. “Terdengar sinting, kan?”

Kalila menggeleng. “Kau selalu pantas. Aku saja yang bodoh.”

“Lupakan masa lalu, Lil Princess.” Diego menyibak sedikit rambut Kalila yang sudah mulai kembali tumbuh. Setelah sebelumnya dicukur untuk mempermudah proses pengobatan lukanya. Ada sebuah luka memanjang dari bagian atas kepala hingga ke dekat telinga kanannya. “Lagipula sekarang kita punya luka serupa. Yang tidak dimiliki pasangan lain.”

Kening Kalila mengernyit. Untuk menjawab pertanyaan tanpa suara itu, Diego meraih tangan Kalila. Lalu ia membuat gadis itu menyentuh bekas lukanya yang tersembunyi di balik helai-helai rambutnya.

“Malam itu, aku mendapatkan luka ini. Mirip seperti luka milikmu.”

Ekspresi Kalila berubah ngeri. Perasaan bersalah melumuri wajahnya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf... atas segala kebodohanku.”

Bukannya marah atau merasa kesal, Diego malah menggerakkan kepalanya sedikit hingga pipinya berada di depan wajah Kalila. “Ungkapkan maafmu di sini,” gurau Diego sambil menyentuh pipinya sendiri dengan telunjuk.

Kenapa harus begini?  Kalila menelan ludah. Ia beringsut mundur tetapi sandaran kursi membatasi geraknya. Sekujur tubuhnya berubah tegang. Karena sejujurnya, ia belum pernah mencium laki-laki selain ayah dan kakeknya. Dan sekarang... Diego?

Tetapi sedetik berikutnya, Kalila sudah memajukan wajahnya sedikit demi sedikit ke pipi Diego. Sementara kedua tangannya mencengkeram erat kedua lengan kursi.

Beberapa senti sebelum bibirnya menyentuh pipi Diego, tanpa disangka, lelaki itu malah menggerakkan kepalanya menghadap Kalila. Sehingga bibir mereka yang bersentuhan. Walaupun hanya sedetik.

Diego langsung menegakkan tubuhnya. Sambil memasang seringai untuk menyembunyikan gemuruh yang mengguncang rongga dadanya. “Hem, apa ini rasa anggur? Oh, bukan. Mungkin wine? Karena ini memabukkan,” gumamnya tanpa berani menatap Kalila.

Sementara Kalila masih terpangah dengan pipi semerah tomat. Karena ia menyadari bahwa Diego baru saja mencuri ciuman pertamanya.

Ciuman pertama mereka.


PURPLE MAPLE – TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D