Kamis, 13 April 2017

Purple Maple (Tiga belas)


DIEGO tidak pernah merasa seperti ini. Seolah seluruh jiwanya terisap paksa oleh pusaran yang membawanya ke dalam kegelapan. Sebagian dirinya merasa sakit. Bahkan lebih sakit ketika ia harus dirawat di rumah sakit selama hampir lima bulan lamanya. Karena insiden ia terjatuh ke atas bebatuan tajam dan Kalila meninggalkannya.

Untuk kali ini, ia benar-benar memohon agar gadis itu tidak meninggalkannya.

Seharusnya ia hanya boleh berada di dalam ruangan itu selama lima belas menit. Itu adalah peraturan di ruang ICU. Tetapi ia tidak mahir menaati hal itu. Para dokter juga tidak menegurnya atau mengusirnya dengan paksa. Mungkin itu karena pengaruh pamannya yang merupakan salah satu kepala dokter di rumah sakit ini. Atau mungkin mereka semua hanya iba padanya.

Tetapi yang  mana pun  alasannya, Diego sama sekali tidak peduli. Karena bagaimanapun,  yang  terpenting adalah ia bisa selalu berada di sisi Kalila.

Diego berdiri di sisi tempat tidur Kalila. Ia mengusap lengan gadis itu dengan ujung jemarinya. Kulit gadis itu terasa dingin, terlalu dingin. Dan ia berharap, sentuhannya mampu mengembalikan kehangatan untuk Kalila.

“Hai, Lil Princess,” sapa Diego dengan suara parau. Jantungnya terasa seperti dihantam gorila saat melihat Kalila yang terbaring lemah. Wajah cantik gadis itu penuh goresan. Kepalanya dililit perban. Dan kedua matanya terpejam.

“Aku masih ingat.” Diego memulai ceritanya. Walaupun ia tahu Kalila tidak bisa menjawabnya. Sebuah slang terpasang ke dalam tenggorokannya. Untuk membantunya bernapas. “Dulu waktu kita masih SMA, kau pernah bilang bahwa kau ingin kedua orang tuamu ada bersamamu saat hari ulang tahunmu.” Ia membelai buku jari Kalila yang pucat. “Dan tahu tidak, saat ini Mama dan Papamu sedang dalam perjalanan kemari. Walaupun terlambat satu hari, tapi mereka ada untuk hari ulang tahunmu.”

Diego menarik sebuah kursi ke dekat tempat tidur. Lalu ia duduk. Dadanya terasa sangat berat. Seluruh tenaganya terkuras habis. Ia merasa sangat lelah, tetapi tidak bisa terlelap.

“Jadi kumohon, bangunlah. Agar kau bisa bertemu mereka.”

Masih sama. Gadis itu tetap tidak menjawab. Yang terdengar hanya bunyi bip dari mesin-mesin yang katanya membantu Kalila agar tetap hidup.

Penuh kehati-hatian, Diego memberanikan diri menggenggam tangan Kalila. Dalam hati ia berharap bisa menggantikan gadis itu berbaring di atas tempat tidur yang dingin itu. tetapi kenyataannya, ia hanya bisa berada di sisi gadisnya. Perlahan-lahan digerogoti perasaan putus asa.
***

Baru saja Diego menyelesaikan pembicaraannya di telepon, ponselnya sudah berbunyi kembali. Kali ini dari Jason, kakak sepupunya yang bekerja di kepolisian. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding koridor rumah sakit. Lalu menjawab panggilan itu.

Aku meminta mekanik memeriksa mobil itu, dan mereka menemukan bahwa semua minyak rem dari mobil itu habis tidak bersisa,” ujar si penelepon begitu telepon tersambung. Jason  tahu Diego membutuhkan informasi secepat mungkin. “Jadi, karena itu mobil tidak bisa berhenti dan akhirnya hilang kendali.

Sekujur tubuh Diego seolah membeku. “Sabotase?” gumamnya saat teriakan Kalila di telepon hari itu terngiang di telinganya.

Ya,” sahut kakak sepupunya menanggapi gumaman Diego. “Dan bagaimana kabar temanmu itu?

“Keadaannya masih sama. Dia masih belum bangun.”

Aku berdoa untuk kesembuhannya,” ucap polisi itu dengan tulus. “Setelah ini aku akan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Tunggu kabar selanjutnya.

“Baiklah. Terima kasih banyak, Kak atas bantuanmu.”

Diego memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia melangkah ke arah kamar Kalila. Lalu berhenti di depan pintu. Samar-samar ia bisa mendengar ibu Kalila yang masih terisak menangisi keadaan putrinya.

Baru saja ia hendak membuka pintu, saat tiba-tiba sebuah nama muncul dalam benaknya. Gerakannya terhenti. Ia menarik ke luar ponselnya lagi, lalu membuat sebuah panggilan.

Lalu dengan langkah-langkah panjang, ia menjauhi kamar Kalila. Ia harus menemui orang yang mungkin bertanggung jawab pada kejadian ini.
***
 
Tidak ada hujan, tidak ada salju. Lory melongok ke luar jendela hanya untuk memastikan hal itu. Langit tampak terang. Ia juga tidak merasakan firasat apa-apa pagi ini.

Ia memandang ponselnya yang masih menyala. Masih tidak percaya. Beberapa detik yang lalu Diego baru saja meneleponnya. Setelah sekian lama, akhirnya lelaki itu menghubunginya lebih dahulu. Ini sebuah kemajuan! Sekarang ia bisa tertawa bangga di hadapan si kancil genit. Karena Diego sudah bertekuk lutut padanya. Walaupun tadi suara lelaki itu terdengar seperti sedang merasa lelah.

Oh, apa seberat itu Diego merindukannya?  Lory terkikik geli pada pemikirannya sendiri.

“Hei, Lory,” tegur Jenna sambil mengguncang lengan Lory yang menggenggam ponsel. “Telepon dari siapa?”

Seketika itu juga Lory langsung kembali berpijak di atas lantai retoran cepat saji. Ia mengerjap, lalu menyunggingkan senyum. Tidak ada ruang bagi perasaan jengkel karena Jenna membuyarkan lamunan indahnya.

“Diego,” jawab Lory berusaha sedatar mungkin. Tidak ingin memperlihatkan perasaan senangnya. “Dia ingin bertemu denganku.”

“Tapi setelah ini kita, kan, ada kuliah? Kalian bisa bertemu nanti di kelas,” ucap Jenna. Ini Senin. Awal pekan diawali dengan kuliah dari dosen yang hobi memberi ujian dadakan.

Sharon hanya diam memerhatikan kedua gadis di hadapannya. Ia sudah hafal benar sifat Lory yang tidak menerima protes. Seolah dunia ada di bawah kakinya. Ia tahu benar. Karena ia juga memiliki sifat itu. Walaupun sudah tidak setajam dahulu. Entah apa yang mengubahnya. Mungkin karena waktu. Atau karena ada orang lain seperti Lory yang merasa lebih berkuasa darinya.

“Cuma sebentar. Sepertinya ada urusan penting,” jawab Lory acuh tidak acuh. Lalu ia bangkit dari kursinya. “Dia akan menemuiku di sini. Tidak akan mengganggu waktu kita, girls.”

“Sekarang kau mau ke mana?”

Lory memutar matanya. “Ke toilet. Sebentar.”

Tadi di telepon Diego berkata bahwa ia sedang berada di dekat sini. Jadi, Lory tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di toilet. Ia hanya menghapus dan memulas ulang lipstiknya. Serta menambahkan pemerah pipi agar wajahnya tampak segar. Tidak lupa, ia menyisir rambut pirangnya yang kemarin baru dicat ulang.

Saat kembali, ia melihat Diego sudah berdiri di dekat mejanya. Penampilan lelaki itu tampak sedikit lusuh daripada yang selama ini diingatnya. Tetapi kantung mata hitam dan pipi yang tirus bukan masalah besar bagi Lory. Karena ia lebih memerhatikan ekspresi Diego yang mengeras saat berbicara kepada kedua temannya. Ada sesuatu yang tidak beres, pikir Lory. Apalagi sepertinya Diego tidak datang sendiri. Dua orang gadis berpenampilan membosankan berdiri di kedua sisi Diego. Seperti pengawal dan pelayan.

Maka, Lory mempercepat langkahnya untuk segera bergabung. Ia tidak bisa membiarkan Diego terus berada di bawah pengaruh negatif seperti itu.

“Hei, sudah lama menunggu?” Lory menyela jarak antara Diego dan gadis di sisi kanan lelaki itu. Ia menampilkan senyum sambil mengamit lengan Diego. Tanpa peduli pada gadis berkacamata yang terhuyung ke samping.

Beruntung, gadis yang satunya lagi sigap menangkap lengan temannya. “Kau baik-baik saja, Liza?”

Gadis yang dipanggil Liza itu mengangguk kikuk. Ia membetulkan letak kacamatanya lalu berujar, “Terima kasih, Anna.”

“Kau duduklah,” ucap Diego dingin.

Kening Lory mengernyit. Ia melepaskan lengan Diego. “Kukira kita akan mengobrol di tempat lain.”

Diego menggeleng. “Di sini saja.”

Walaupun masih merasa bingung, Lory menurut. Ia kembali duduk di antara Jenna dan Sharon. Tepat di hadapan mangkuk saladnya yang masih tersisa setengah.

“Perkenalkan, ini temanku Anastasia dan Elizabeth. Mereka akan menanyakan beberapa hal mengenai kegiatan kalian di akhir pekan kemarin,” ucap Diego begitu ia duduk di hadapan Lory, diapit Anna dan Liza.

“Sebelumnya, boleh aku memotret kalian?” tanya Anna sambil mengangkat kamera yang tergantung di lehernya.

“Apa ini semacam wawancara majalah?” tanya Lory dengan nada antusias.

Diego melirik ke arah Anna. Lalu ia mengangguk. “Ya. Kau bisa menganggapnya begitu.”

Mendengar itu, Jenna dan Lory berpose sebaik mungkin. Bahkan Lory bersyukur tadi ia sempat memperbaiki riasannya. Tetapi berbeda dengan Sharon yang justru tertunduk tidak nyaman.

Lantas Lory menyikut lengan temannya itu. “Sharon, kenapa kau tidak tersenyum?”

Perhatian Diego tersentak saat mendengar nama itu. “Sharon?” gumamnya sambil berusaha menggali ingatan. Tatapannya melekat pada wajah Sharon yang canggung. Selama ini, Diego memang tidak peduli. Tetapi setelah apa yang terjadi pada Kalila, ia jadi memerhatikan hal sekecil apa pun. Termasuk ingatannya pada masa lalu.

Dan Diego yakin, Sharon yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang sama dengan Sharon teman SMA-nya. Atau lebih tepatnya, salah seorang di geng Kalila yang sering menyebutnya sebagai pengecut. Kali ini, ia tidak akan melepaskan perhatiannya dari gadis itu. Tidak lagi.


“Jadi, apa yang kalian lakukan di akhir pekan kemarin?” tanya Liza memulai tugasnya.

“Seperti biasa saja. Kau tahulah, kegiatan para gadis di akhir pekan,” jawab Jenna lantas terkekeh.

Lory mengangguk setuju. “Kami pergi ke salon, menonton film, dan belanja.”

“Apa ada kontak yang bisa dihubungi untuk memastikan bahwa kalian benar-benar pergi ke tempat-tempat itu?”

Kening Lory mengernyit. Ini mulai terasa tidak seperti wawancara untuk majalah. Tetapi ia tetap menarik keluar ponselnya. “Ada. Kalian bisa menghubungi salon langganan

“Kalian yakin tidak melakukan sesuatu yang buruk?” potong Diego dengan tidak sabar. Ia mengangkat dagu dan melipat tangannya ke atas meja. “Misalnya... menyabotase mobil orang lain?”

Ketiga gadis di hadapannya saling melempar tatapan tidak mengerti.

“Apa maksudnya?” tanya Jenna bingung.

“Waktu itu kalau aku tidak salah dengar, bukannya kalian mau melakukan sesuatu yang buruk pada mobilku?”

Lory hanya meringis masam saat memahami perkataan Diego. “Waktu itu aku hanya kesal karena ada seseorang yang tidur di mobilmu. Tapi aku tidak akan melakukan hal melanggar hukum. Aku hanya berpikir menyiramkan seember tarkecoa atau sedikit mencoret-coret. Tapi itu tidak kulakukan karena aku tidak mau melakukan hal buruk pada mobilmu.”

“Lalu akhirnya kau memutuskan untuk menyabotase mobil orang yang tidur di mobilku itu?”

Lory mengerutkan kening. Begitu juga dengan kedua temannya. Ia bahkan tidak tahu si kancil genit punya mobil. “Apa, sih, maksudmu, Diego? Aku tidak mengerti.”

“Mengaku sajalah!” Suara Diego meninggi. Emosinya menjadi mudah meledak karena sudah hampir tiga hari dirinya belum terlelap. “Kalian, kan, yang menyabotase mobil Kalila hingga membuat dia mengalami kecelakaan!” Ia nyaris saja berdiri dan menarik kerah baju Lory, kalau saja Anna tidak segera menahan bahunya. Dan Liza yang dengan sigap mengusap punggungnya untuk membuat ia lebih tenang.

Mata ketiga gadis itu membelalak. Mereka kembali saling melempar pandangan.

“Diego, aku tidak mungkin melakukan itu,” ucap Lory dengan wajah memucat.

“Kau tidak bisa menuduh kami sembarangan,” tambah Jenna.

“Lantas siapa? Selama ini kalian, kan, yang selalu mencari masalah dengan Kalila. Hanya gara-gara dia menumpahkan kopi padaku,” ucap Diego sambil menudingkan jarinya ke wajah Lory. “Asal tahu saja, hari itu aku yang sengaja menabrak Kalila. Agar dia menyadari keberadaanku.”

Kata-kata itu seperti sebuah tamparan keras di wajah Lory. Selama ini ia selalu berusaha keras mendapatkan perhatian diego. Tetapi lelaki itu malah menginginkan perhatian dari orang lain.

Sial. Lory menelan ludah. “Sepertinya... aku tahu siapa...” ucapnya setengah meragu. Ia tidak tahu tindakannya ini bisa disebut pengkhianatan atau tidak.

“Siapa?” tanya Diego dengan nada tajam.

Sebenarnya, siapa pun bukan masalah asal bukan dirinya. Tetapi ia tidak bisa membiarkan Jenna dan Sharon ikut tertuduh. Karena kedua temannya itu adalah saksi untuk alibinya.

“Jawab!” desak Diego tidak sabar.

Persetan. Lagipula tidak pernah ada perjanjian sehidup semati di antara mereka berdua.

“Erin.” Lory akhirnya membisikkan nama yang menggantung di ujung lidahnya.
***

Erin tidak menyangka Lory yang meneleponnya. Tadi ia secara refleks langsung menjawab panggilan yang masuk tanpa melihat nama di layarnya. Karena sejak pagi ia memang sedang menunggu seseorang meneleponnya. Bukan Lory, tentu saja. Melainkan Elliot.

Kalau saja Erin tahu itu tadi Lory, ia tidak akan menjawab. Karena ia sudah tidak ingin lagi berurusan dengan Lory. Kalila sudah bukan lagi masalah baginya. Elliot sudah berpaling kepadanya. Bahkan lelaki itu berjanji akan menjemputnya pagi ini. Walaupun sampai matahari meninggi, Elliot tidak juga datang atau pun memberi kabar. Tetapi Erin tidak memedulikan hal itu. Ia masih bisa bersabar.

Pintu kaca restoran cepat saji itu otomatis terbuka begitu Erin mendekat. Dengan mudah, ia menemukan Lory bagitu kakinya melangkah masuk. Gadis itu duduk diapit dua dayang-dayangnya yang setia. Tetapi mereka tidak sedang menyantap apapun. Juga tidak terlihat seperti sedang membicarakan sesuatu. Mereka seperti benar-benar sedang menunggu. Persis juri yang menunggu peserta audisi memasuki ruangan.

“Hai, cepat juga kau datang,” sapa Lory.

Erin hanya membalas dengan senyum tipis sambil duduk di kursi yang berseberangan dengan Lory. Tentu saja cepat. Karena sejak pagi ia sudah bersiap. Tadi ia hanya perlu memperbaiki riasannya sedikit.

“Kau mau pesan sesuatu?” tanya Lory berlagak ramah.

“Langsung intinya saja, Lory,” ucap Erin sedikit ketus.

Mata Lory lantas mendelik. Sebelumnya Erin tidak pernah bersikap seperti itu padanya. Kalau begitu, ia juga tidak perlu bersikap manis. “Ck. Bukan aku yang punya urusan denganmu. Tapi dia,” ucap Lory sambil menggerakkan kepalanya ke kanan.

Pandangan Erin mengikuti ke arah seorang lelaki dan dua orang gadis yang menatapnya lekat-lekat dari seberang meja. Dan seketika itu juga ia merasakan dingin merayapi kulitnya. Tubuh Erin masih membeku bahkan saat teman duduknya sudah berganti.

Merasakan ada hal yang tidak beres, Erin sontak bangkit hendak meninggalkan tempatnya. Tetapi ia kalah cepat dengan gadis berambut sebahu di sisi kirinya. Gadis itu menahan pergelangan tangannya di atas meja. Sentuhan lembut, tetapi kuat. Membuat Erin tidak berkutik dan kembali duduk.

“Rileks saja,” ujar gadis lainnya yang berpenampilan lebih feminin. Senyum manis terpampang di wajahnya, tetapi entah mengapa Erin merasa ngeri. “Kami hanya ingin tahu apa kegiatanmu akhir pekan kemarin.”

“Itu b-bukan urusanmu!” bentak Erin, berusaha bersikap galak. Walaupun suaranya tetap saja gemetar.

“Kau pasti mengenal Kalila.” Kali ini Diego yang berbicara. Suaranya terdengar muram. “Apa kau tahu warna mobil Kalila?”

“Y-ya. Warna ungu.”

“Apa kau pernah masuk ke dalam mobil itu?”

Erin menggeleng kuat. “Aku hanya pernah melihatnya satu kali di parkiran kampus.”

“Hari Sabtu kemarin Kalila mengalami kecelakaan karena seseorang menyabotase mobilnya.”

“K-kau tidak bisa menuduhku tanpa bukti.”

“Barusan aku menerima telepon. Sebuah anting ditemukan terjatuh di dalam mobil Kalila. Setahuku, Kalila tidak pernah mengenakan anting dengan model seperti itu.” Mata Diego menyipit. Suaranya menggeram dan mendesis setiap kali ia menahan emosinya. Ia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan foto yang dikirim Jason padanya. Foto sebuah anting berwarna biru berbentuk bintang.

Mata Erin melebar. Itu... antingnya. Bagaimana bisa? Tetapi ia berusaha mengatur napasnya yang terasa beku. “A-aku rasa bukan hanya aku yang memiliki anting seperti itu.”

“Tapi menurut data yang kami punya, sidik jari pada anting itu, cocok dengan sidik jarimu,” tukas Diego sambil menunjukkan layar ponsel yang kini menampakkan foto identitas Erin dan foto sidik jarinya. Untuk saat seperti ini, Diego benar-benar bersyukur lahir di keluarga besar yang memiliki koneksi luas.

Dalam sekejap, Erin bungkam sejuta kata. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Tetapi ia harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ia tidak mau terkurung di penjara.

“Itu b-bukan aku!” ucap Erin nyaris berteriak.

Diego mendengus. “Masih mau mengelak?” Ia sedang tidak berada dalam suasana hati yang bagus untuk membiarkan orang yang mencelakakan Kalila untuk mengecohnya.

“Val!” Erin meneriakkan nama itu dengan panik. “C-coba cari dia!”

“Untuk apa? Bukti kuat mengarah padamu.”

“Itu fitnah! Pasti Valeria yang mencuri antingku dan menaruhnya. Sebelumnya dia pernah mencuri topi milik Kal.”

Amarah membakar punggung Diego. Ia pernah mendengar nama itu. Nama orang yang membobol kamar Kalila. Diego mengembuskan napas dengan kasar. Ia mendekat dan berdiri menjulang di hadapan Erin. “Bawa aku menemuinya sekarang juga.”
***

Dalam beberapa puluh menit yang berlalu, Sharon masih saja terkurung dalam pikirannya. Wajahnya sampai tidak mampu memutuskan harus memasang ekspresi seperti apa. Haruskah ia bersedih mendengar teman lamanya mengalami kecelakaan? Atau haruskah ia merasa senang karena rivalnya itu sedang dalam kondisi kritis?

Ia memerhatikan satu persatu orang di sekitarnya. Kedua temannya tampak resah. Jenna bahkan mengigiti kukunya karena gugup. Kedua gadis detektif itu tampak sibuk dengan ponsel dan catatan mereka. Erin tampak seperti hendak meremukkan ponselnya. Sepertinya ia kesulitan menghubungi orang bernama Valeria itu. Sementara Diegosi ulat yang sudah menjadi kupu-kuputampak menunggu dengan gelisah.

Kalila. Gadis itu selalu saja merebut apa yang diinginkannya. Guru-guru di sekolah lebih menyayanginya karena ia berprestasi. Padahal ayah Kalila hanya donatur nomor dua yayasan. Bukan donatur utama seperti ayah Sharon. Semua lelaki yang disukai Sharon, lebih menyukai Kalila. Tetapi gadis itu malah memilih berpacaran dengan si culun pengecut, Diego.

Semua spotlight selalu mengarah kepada Kalila. Tidak pernah kepada Sharon. Seolah ia hanyalah bayangan tidak kasatmata. Bahkan di saat seperti ini, semua orang merasa khawatir karena gadis itu. Sebagian mengkhawatirkan keselamatan Kalila. Sebagian lain mengkhawatirkan dirinya akan menjadi tersangka yang mencelakakan Kalila.

Dan Sharon benci itu!

Mungkin ini saat yang tepat baginya untuk bergerak. Sudah saatnya ia menjadi tokoh utama yang menggerakkan cerita. Dan ia butuh banyak pemain lain untuk bergabung dalam ceritanya.

“Sepertinya dia mengganti nomor ponselnya,” desah Erin lemas. Kalau seperti ini, ia akan terus menerus jadi yang tertuduh.

“Apa kau tahu di mana tempat tinggalnya?”

“Ya. Kurasa

“Ayo kita ke sana,” ucap Diego cepat. “Anna kau ikut aku. Liza kau urus yang lainnya. Hubungi aku—“

“Tunggu!” Sharon yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara keras. Hingga semua orang memusatkan perhatian padanya. Termasuk para pramusaji yang sejak tadi berpura-pura tidak mendengar obrolan mereka. Juga beberapa pelanggan yang berdebat dengan petugas keamanan di pintu restoran. Karena tadi Diego memang meminta tempat di sekitarnya untu disterilkan sementara.

“Aku rasa, ada satu orang lagi yang patut dicurigai,” ucap Sharon dengan nada dingin.

“Siapa?”

“Kau.” Tatapan Sharon tidak sedikit pun lepas dari Diego. “Kau sibuk mencurigai semua orang. Tapi siapa yang tahu kalau kau merencanakan semua ini. Kalian cukup dekat. Kapan saja kau bisa meminta Kalila datang ke suatu tempat dengan mobil yang sudah kau sabotase.”

Sial. Urat di kening Diego berkedut kesal.

“Apa yang kau katakan, Sharon?” desis Lory sambil merintang di antara Sharon dan Diego.

“Sejak lama kau mendekati Kalila. Rela melakukan apa pun, termasuk mengubah penampilan. Itu semua demi Kalila.” Pandangan Sharon tetap lurus. Seolah ia bisa menembus kepala Lory yang membatasi mereka. “Tapi begitu kau sadar Kalila tidak juga berpaling padamu, kau mencelakainya.”

Anna dan Liza menatap klien mereka dengan mata memicing.

“Oh, atau mungkin kau membalas dendam karena kejadian malam itu?” ucap Sharon sambil melipat tangan di depan dada. “Kau marah karena Kalila meninggalkanmu dalam keadaan terluka parah.”

“Tutup mulutmu, Sharon!” bentak Lory. “Diego tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”

“Dia benar, Diego. Kami juga harus memeriksa alibi dan motifmu,” ucap Anna.

“Silakan saja.” Suara Diego bahkan lebih dingin lagi sekarang. Matanya balas menatap ke arah Sharon. “Tapi setelah aku mendapatkan penguntit bernama Valeria ini.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D