Jumat, 17 Maret 2017

Green Eyed - Chapter 11


ELENA POV
Aku tak akan mampu menerima keyataan bahwa Evan meninggalkanku. Aku terduduk lemas menatap dokter yang sedang berusaha mendapatkan Evan kembali. Aku merasa seperti berada dalam mimpi, suara riuh di sekitar tempatku berdiri pun tak mampu ku dengar,  seolah tuli dan bisu di saat yang bersamaan.

“… Lena… Elena…” Suara Nico perlahan merebut perhatianku. “Apa kau baik-baik saja?”

Aku menatap Nico, berusaha mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. “Apakah kakak akan baik-baik saja?”

“Tentu, kami sudah mendapatkannya kembali, Elena. Kau tidak perlu khawatir.” Sahut Andre yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Wajah lelaki itu tampak letih dengan dahinya yang berkeringat.  “Tapi tenang saja, kau tak perlu berterima kasih padaku. Aku adalah dokter terbaik di rumah sakit ini, kau bisa percaya padaku.”

Mau tak mau aku pun menyunggingkan sedikit senyumku pada dokter yang sangat percaya diri ini. “Tentu saja aku akan mempercayaimu.”

“Bagus. Emm... Elena, aku ingin mengajakmu makan malam, malam ini. Apa kau keberatan?” Ujar Andre sambil melirik Nico.

“Tentu saja dia keberatan. Kupikir kau cukup cerdas untuk memahami situasi ini. Bukankah kau bilang kau dokter terbaik di rumah sakit ini?” Sahut Nico dengan suara tegas.

Aku menatap Nico yang mengerutkan dahinya hingga membuat alis tebalnya nyaris menyatu. Aku segera menurunkan senyumku karena firasatku mulai memburuk.  Aku bergantian menatap Nico yang semakin meruncingkan pandangannya dan Andre yang menyeringai.

“Maafkan aku, tetapi kau tahu situasinya seperti apa sekarang, bahkan untuk makan saja aku tak berselera. Aku meminta pengertianmu.” Ujarku mencoba memecahkan keheningan yang mencekam ini. “Mungkin lain kali saja.”

“Tentu. Aku akan menghubungimu nanti.” Andre mengedipkan sebelah matanya padaku dan aku yakin hal itu membuat Nico semakin gusar.

“Untuk apa kau bilang lain kali? Seharusnya kau katakan saja kalau kau juga ingin makan denganya!”

Ku tatap Nico yang sedang menggerutu sambil melirik tajam ke arahku. Aku sedang tidak dalam kondisi yang cukup tangguh untuk mendebat pembicaraannya. Aku menghela nafasku lelah, menyisipkan rambutku ke belakang telinga, kemudian berbalik menuju ke ranjang tempat Evan tertidur.

Wajahnya tampak pucat degan lebam-lebam biru di sekitar wajahnya. Dahi, tangan dan kaki kanannya terbalut perban yang cukup tebal. Aku yakin itu akan membuatnya tak nyaman. Kugenggam tangan kirinya yang terasa dingin. “Bangunlah, kak, bukankah kau bilang kau masih akan melindungiku?”

Ingatkanku kembali melayang pada saat kami duduk di sekolah dasar. Saat itu teman-teman kami berkumpul di halaman belakang sekolah. Mereka bersorak, saling mendukung jagoan mereka. Bisa kupastikan mereka tengah beradu untuk memenangkan sesuatu. Hal itu membuatku bersemangat untuk bisa mendukung salah satu dari mereka.

“Ayo kita lihat, Silvia.” Seruku sambil menyeret Silvia yang ada bersamaku. 

“Tunggu… tunggu… Jangan, Len, aku takut. Kita bilang saja pada bu guru.” Tolak Silvia takut. Aku tahu bahwa perempuan yang memiliki tahi lalat di sudut matanya itu memang anti kekerasan. Dia begitu lembut hingga terkadang membuatku tak bisa mengajaknya untuk menemaniku di saat seperti ini.

“Ya sudah kalau takut, aku akan melihatnya sendiri.” Aku meninggalkan Silvia. “Awas, beri jalan, princess mau lewat!” Teriakku membelah keramaian teman-teman yang bergerombol.

“Giant… Giant… Giant!!!” Seru sebagian besar siswa yang bertaruh untuk kemenangan Giant, yang kutahu adalah nama panggilan salah seorang siswa senior bertubuh besar. Kemudian samar-samar kudengar minoritas suara menyerukan nama Evan untuk bertahan sehingga membuatku semakin kuat untuk menerobos tubuh-tubuh yang jauh lebih besar dariku.

Mataku terbelalak saat kulihat Evan tersungkur kesakitan. Akupun semakin kuat mendorong kerumunan itu hingga aku sampai tepat di belakang Giant. Aku melepaskan sepatuku dan melempar kepala Giant dengan sepatu.

“Hei, bocah gendut! Apa yang kau lakukan pada kakakku?” Teriakku setangguh wonder women.

“Wah… Princess kita sudah datang teman-teman. Hei, kau itu anak perempuan. Jangan ikut-ikut dengan masalah laki-laki. Nanti kau kena pukul.” Giant memperingatkan.

“Kau memukul kakakku, akan kulaporkan kau pada bu guru.” Teriakku sambil melempar sebelah sepatuku pada wajah Giant. Aku berlari menghampiri Evan, membantunya untuk berdiri. “Kakak kenapa tidak membalas? Ayo berdiri.”

Saat aku hendak membantu Evan berdiri, tiba-tiba seseorang mendorongku hingga aku terjerembap ke tanah. Saat itu Evan bangkit dan segera melempar tinjunya pada Giant.

“Kenapa kau melukai perempuan? Jangan ganggu adikku atau aku akan menghajarmu!”

Aku mengingatnya dengan jelas saat aku menangis keras karena lututku berdarah. Guru kemudian datang dan membubarkan gerombolan. Sedangkan Evan yang panik bergegas menggendongku yang sedang menangis meski aku merasakan bahwa kakinya sendiri terluka.

“Meski mama dan papa tidak ada, aku akan selalu melindungimu, Elena. Aku berjanji.”
***

NICO POV
Dia memejamkan matanya yang tampak mengeluarkan air mata. Mungkin ia tengah bermimpi buruk dalam tidurnya. Aku memerhatikan kakak beradik yang tampak saling melindungi itu. Terkadang aku berpikir, jika saja adik perempuanku masih hidup, dia akan tumbuh seperti Elena. Mungkin akupun akan melindunginya semampuku, sama seperti aku melindungi Elena.  

Terkadang sendiri membuatku sangat kesepian. Ibu dan adikku meninggalkanku bertahun-tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan mobil. Sempat pada suatu ketika aku menyesali kehidupanku. Hingga sampai saat ini aku penasaran, apa yang membuatku tetap hidup, sedangkan kecelakaan itu merenggut orang-orang yang kusayangi, ibu dan adikku.

Mereka bilang kita dapat merubah nasib, tapi tidak dengan takdir. Namun bagiku, apapun yang telah kita lakukan, itulah takdir kita. Meski saat itu aku berusaha menyelamatkan ibu dan adikku, tak akan ada yang berubah. Pada akhirnya aku tetap akan sendiri. Di saat seperti inilah, aku tahu betapa pentingnya orang terdekat yang akan mendampingi kita.

Jemari Evan perlahan bergerak dan membangunkan Elena yang telah tertidur cukup lama.

“Kakak…” Elena berseru girang, kemudian memencet tombol yang berfungsi untuk memanggil perawat. Dalam hitungan detik, seorang perawat memasuki kamar dengan terburu-buru disusul oleh seorang... dokter.

“Apakah ada perkembangan, Elena?” Tanya dokter sialan itu sambil menyentuh tubuh Evan dengan stetoskopnya.

“Jarinya bergerak.”

“Kenapa kau di sini?” Entah mengapa kehadiran lelaki itu membuatku sangat kesal, bahkan hanya mendengar namanya membuatku ingin memuntahkan lahar panas.

“Kau harus percaya padaku. Sudah kubilang, bukan, bahwa aku ini adalah dokter terbaik. Kakakmu sekarang berada dalam kondisi stabil. Sebentar lagi dia akan membuka matanya. Kondisinya akan pulih dengan cepat.” Lelaki itu menyentuh bahu Elena tanpa memedulikan pertanyaanku.

“Kurasa kau harus memperbaiki saraf di telingamu.” Aku benci melihat mereka melakukan kontak fisik. Tidak, ini bukan karena aku cemburu berlebihan. Tetapi kurasa dokter sialan itulah yang berlebihan. Dia hanya dokter. Di mana ada dokter yang megajak adik pasiennya kencan, padahal dengan jelas ia tahu adik pasiennya itu bersamaku. Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku.

“Apa kau sedang mengatakan sesuatu?” Dokter sialan itu akhirnya mulai mendengarku.

“Aku bertanya padamu apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku melakukan tugasku sebagai seorang dokter terbaik di rumah sakit ini.” Nada suaranya terdengar mengejek, ditambah dengan tatapan menghina yang melukai harga diriku. Jika saja situasi ini menguntungkanku, aku akan menghajar lelaki ini hingga dia yang akan terbaring di ranjang menggantikan Evan.

“Jika kau merasa menjadi yang terbaik, maka lakukanlah segalanya dengan baik, termasuk jadilah dokter yang profesional.” Aku meraih tangan Elena, menariknya menjauh dari lelaki itu.

“Tawaranku masih berlaku, Elena. Aku akan menghubungimu jika saatnya sudah tepat.” Lelaki itu menatap Elena dengan senyuman yang hangat, kemudian senyuman itu berganti seringaian saat dia menatapku sebelum meninggalkan kamar Evan.

Jemariku mengepal dengan erat, menahan amarah yang rasanya semakin sulit ku bendung. Elena menyentuh jemariku, berusaha untuk mengurai kepalan tangan yang membuat buku-buku jariku memutih. Aku yakin ia tak menyadari betapa marah diriku saat ini. Aku mengacak rambutku, menoleh lemas ke arahnya dan menyandarkan kepalaku yang terasa sangat berat di bahu Elena.

“Tenanglah, aku tak akan memedulikannya. Aku hanya membutuhkannya untuk penyembuhan Evan. Hanya itu.”

“Aku tahu. Aku yakin padamu. Tetapi tingkah lelaki itu membuatku sangat kesal. Mungkin sebaiknya kau pulang, aku akan menjaga Evan.”

Elena menggeleng. “Bagiku kau dan Evan adalah orang-orang yang penting, aku tak akan meninggalkan kalian.” Usapan tangan kecil Elena di punggungku membuat amarahku sedikit demi sedikit mereda. “Apalagi kau tak akan bisa menjamin keamanan dan kedamaian di kamar ini jika kau bertemu dengan dokter Andre.” Lanjut Elena terkekeh.

Elena POV
Wajah lusuh dan kemeja kusut itu membuat penampilannya tampak berantakan. Lelaki itu tampak sangat lelah karena beberapa hari ini ia hampir tak pernah tidur di rumah. Ia selalu datang ke rumah sakit sepulang kerja dengan alasan ia tak ingin melihat dokter Andre menggodaku saat ia tak bersamaku.

Hari sabtu pagi yang seharusnya disambut dengan cuitan ceria burung gereja justru disambut dengan percikan air hujan yang membasahi kaca jendela kamar Evan. Sudah lebih dari dua jam hujan tak kunjung reda. Dinginnya udara di luar membuat Nico enggan bergerak dari dalam selimut hangat yang  membuatnya meringkuk seperti bayi.

Evan tersenyum memandangi Nico yang sesekali mengigau meski jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Seharusnya dia bisa menghabiskan akhir pekannya dengan beristirahat di rumah.”

“Semalam aku menyuruhnya pulang, tetapi tetap saja dia menolak karena khawatir mengenai dokter Andre.”

“Aku juga merasa janggal dengan cara dokter itu menatapmu. Mungkin dokter itu memiliki perasaan kepadamu, dan aku yakin hal itu akan membuat Nico gusar.”

“Di pagi yang dingin seperti ini, rupanya kalian sudah membuatku panas dengan membicarakan lelaki itu ya.” Ujar Nico yang mulai beranjak dari sofa tempatnya tidur.  Nico berusaha membuka matanya yang mungkin masih terasa berat.

“Tidak sayang, cepatlah mandi, lihat kau sama sekali tidak keren.” Aku mencoba menggoda lelaki tampan yang tampak menolak segala kegiatan apapun di pagi yang dingin ini. Namun tanpa perlawanan, langkah malas lelaki itu menuntunnya menuju toilet, setidaknya untuk membasuh wajahnya.

Tepat setelah pintu toilet tertutup, pintu kamar terbuka, seorang dokter umum penanggung jawab Evan dan dua orang suster datang untuk mengecek kondisi Evan. Tak lama kemudian seseorang dengan kemeja keemasan yang tampak cocok dengan kulit putihnya masuk ke dalam kamar.

“Selamat pagi dokter Andre.” Sapa dokter umum yang ku ketahui bernama dokter Rio tersebut.  Lelaki itu tak menggunakan jas putih kebesarannya kali ini, sehingga ia tak tampak seperti seorang dokter, justru seperti seorang artis yang mengesankan.

“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanya dokter Andre pada Evan.

“Sangat baik. Aku justru berharap agar bisa pulang hari ini juga.”

“Tentu saja, jika kau merasa lebih baik, dokter Rio akan mengeluarkanmu dari sini secepat mungkin.” Ujar dokter Andre dengan senyuman menawannya. “Elena, aku ingin bicara denganmu, bisa keluar sebentar?”

Aku mengernyitkan dahi, mencoba menerka hal sepenting apa yang akan dikatakan oleh dokter Andre hingga ia memintaku untuk bicara secara pribadi. Aku memilin-milin jemariku gugup, entah karena apa. Mungkin karena Nico. Entah apa yang akan Nico pikirkan jika saat ia keluar dari toilet aku tak berada di sana, dan entah apa yang akan dilakukannya jika ia tahu bahwa aku pergi bersama lelaki ini.

“Hmm…” Andre berdehem, memecah keheningan yang tercipta saat kepalaku bergulat dengan pemikiran tentang Nico.  “Tampaknya pacarmu itu setiap hari berada disini ya.” 

Aku mengangguk pelan. Lelaki itu menghela nafas, senyum miring di bibirnya seolah ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah tentang keberadaan Nico. “Apa ada yang salah dengan itu?”

“Tidak, hanya saja aku ingin mengatakan bahwa selama ini aku menyukaimu.”

“Selama ini? Kurasa delapan hari kakakku dirawat di rumah sakit ini bukanlah waktu yang cukup untuk kau bisa memutuskan bahwa kau menyukaiku, dokter Andre.”

“Tidak, bukankah sudah kubilang aku sering melihatmu di rumah sakit ini sebelumnya? Dan lagi aku tak perlu membutuhkan waktu lebih lama dari delapan hari untuk dapat memutuskan bahwa aku menyukaimu.”

“Terima kasih atas perasaanmu kepadaku, tetapi kau tahu, aku menyukai orang lain.”

“Aku tidak memaksamu untuk balas menyukaiku, hanya izinkan aku untuk tetap menyukaimu. Dan aku akan senang jika kau memberiku kesempatan untukku agar selalu dapat bersamamu.”

Aku terkesiap mendengar pernyataan tiba-tiba itu. Meski Evan sudah memperingatkan padaku mengenai hal itu sebelumnya, namun aku masih tak ingin percaya. Bahkan aku sama sekali tak mengaggapnya serius.

Aku menarik nafas yang panjang, aku membutuhkan banyak tenaga dan oksigen untuk menanggapi percakapan canggung ini.  “Sebaiknya kau berhenti bercanda. Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kau ucapkan di lorong rumah sakit.”

“Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?”

“Tidak, bukan itu maksudku. Maksudku….”

“Elena.” Suara itu membuatku hampir terlonjak dari tempatku berdiri. Dengan cemas aku menoleh untuk menatap pemilik suara yang terdengar dingin itu. “Apa yang kau lakukan?” Tanyanya kemudian. Kutatap wajah dingin pria memesona yang berdiri di belakangku.

Aku menelan ludah, aura dingin yang dipancarkan lelaki itu tampak membuatnya begitu menyeramkan. “Tidak. Nick. Aku…”

“Tidak ada, dia tidak melakukan apapun. Aku hanya memintanya untuk memberi kesempatan padaku. tetapi dia menolakku.” Andre mencoba menjelaskan. “Tapi aku tak akan menyerah, aku akan berusaha lebih keras, Elena.” Lanjutnya.

Bisa kulihat dengan jelas bagaimana rahang Nico mengetat menahan amarah dengan tangan terkepal kuat, seakan hendak melayangkan tinjunya. Kilat penuh kebencian tampak jelas di mata gelap Nico.  Dengan sigap aku menarik lengan Nico sebelum perperangan terjadi, “Sudalah. Ayo bicara di dalam.”

“Kau… sudah kuperingatkan padamu untuk berhenti mendekati Elena. Aku akan membuat perhitungan denganmu!” Ancam Nico.
***
NICO POV
Di pagi yang dingin ini aku begitu merasa membara. Hanya sebentar saja aku meninggalkan Elena untuk mencuci wajahku, lelaki sialan itu telah mencuri Elenaku. Aku mengintip pada celah pintu yang terbuka, dan aku mendengarkan pembicaraan mereka.

“Terima kasih atas perasaanmu kepadaku,” Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang kudengar adalah suara Elena. “tetapi kau tahu, aku menyukai orang lain.” Lanjutnya.

Bagus, dasar pria tidak tahu diri. Aku sudah memperingatkannya berkali-kali untuk menjauhi Elena, tapi tampaknya dia sama sekali tak mengindahkan peringatanku. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, tapi dia terlalu terang-terangan untuk perasaannya.

Aku terus mendengarkan sejauh mana percakapan mereka tentang sesi pernyataan cinta ini.  “Sebaiknya kau berhenti bercanda. Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kau ucapkan di lorong rumah sakit.” Ujar Elena tegas.

Segera kuterobos pintu dan berdiri tepat di belakang Elena. Lelaki sialan itu menatapku sejenak dan memberikan seringaian untukku. “Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?”

“Tidak, bukan itu maksudku. Maksudku….”

“Elena.” Kupotong pembicaraan mereka sehingga tatapan mereka berdua terfokus ke arahku. “Apa yang kau lakukan?” Kutatap Elena dan lelaki itu bergantian. Lelaki itu melempar seringai penuh hinaan kepadaku. Sungguh aku ingin menghancurkan wajahnya saat ini juga.

“Tidak ada, dia tidak melakukan apapun. Aku hanya memintanya untuk memberi kesempatan padaku. tetapi dia menolakku.” Lelaki itu mencoba menjelaskan. “Tapi aku tak akan menyerah, aku akan berusaha lebih keras, Elena.”

Aku tak pernah memiliki kesabaran yang cukup untuk menghadapi lelaki ini. Aku pun mengepalkan tanganku dan bersiap untuk melemparkan tinju untuknya. Tetapi di saat yang sama, Elena menarik tanganku.

“Ayo bicara di dalam.” Seru Elena menarikku menuju ke kamar Evan.
***
Evan menatap kami penasaran, seolah ia memiliki daftar pertanyaan yang cukup panjang untuk kami. Elena membuka lemari es dan menuangkan segelas air dingin yang kemudian ia berikan padaku.

“Untuk apa?”

“Minumlah.” Kata Elena singkat. Aku tahu dari nada suaranya bahwa ia sedang kesal saat ini. Tapi aku yakin rasa kesalnya itu tak akan melebihi rasa kesalku melihat mereka berduaan di lorong tadi.

“Yang benar saja, pagi yang dingin ini kau menyuruhku meminum ini?”

“Aku yakin kau kepanasan. Apa perlu kau kudinginkan dengan air ini kusiramkan ke tubuhmu? “

“Elena, jaga bicaramu.” Sahut Evan. “Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Nico hampir saja memukul dokter Andre di depan tadi.”

“Karena aku tidak suka mereka memiliki sesi pernyataan cinta tanpa sepengetahuanku.” Aku yakin Evan akan berpihak padaku, mengingat kami dilahirkan dalam jenis yang sama. “Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?” Aku mencoba menirukan suara lelaki sialan itu.

Evan mengernyit, “Tunggu… Elena, apakah itu artinya kau sedang mencoba melakukan sesuatu dengan dokter itu?”

“Tidak kak, aku bersumpah.” Elena membela diri. “Nick, kenapa kau berkata seperti itu? Dia menyatakan perasaannya padaku, tapi aku menolaknya karena aku menyukaimu. Itu yang kukatakan padanya.”

“Lalu ada apa dengan makan malam bersama?” Tanyaku berpura-pura penasaran meski aku sudah mendengar hampir seluruh percakapan mereka.

”Saat itu aku sedang canggung dan tak tahu harus berkata apa. Lalu aku mengatakan padanya untuk tidak bercanda di lorong rumah sakit. Dan dia membalasnya dengan kata-kata seperti itu.” Elena menjelaskan dengan terbata-bata. Kulihat wajahnya mulai memerah dan air mata mulai membasahi matanya. Ia mengusap dengan cepat air matanya yang belum sempat menuruni pipinya. Dan hal itu membuatku sedikit melunak.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan memeluk tubuh Elena. Aku menyadari mungkin memang aku sudah keterlaluan. Aku tahu apa yang terjadi namun aku masih saja menuntut penjelasan dari gadis itu.

“Maafkan aku. Aku mempercayaimu, Elena.”

“Tapi tidakkah kau merasakan sesuatu yang aneh pada dokter itu?” Tanya Evan menyela. Aku mengernyit untuk mencari tahu maksud perkataan Evan. “Menurutku dia terlalu kentara dalam menunjukkan perasaannya. Maksudku, dia tampak sengaja membuatmu marah meski kau berada di dekat Elena. Aku tak tahu apa tujuan dia sebenarnya, tapi apakah kau yakin jika lelaki itu hanya menyukai Elena seperti kau menyukainya?”

“Aku tidak mengerti maksudmu, kak.” Elena yang tampak penasaran mulai membuka suara.

“Entahlah aku merasa memiliki firasat yang aneh. Aku tak menjanjikan itu buruk, hanya saja aku merasa dia sangat janggal.”

“Apakah itu semacam dia seperti dokter gadungan?” Aku semakin tertarik dengan topik ini.

“Tidak, bukan seperti itu, aku rasa dia memang seorang dokter tapi kupikir dia memiliki maksud yang lain. Entalah, sebaiknya kau waspada, Elena.”


Bersambung…..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D