Selasa, 11 April 2017

Green Eyed - Chapter 12


NICO POV
Aku terus memikirkan apa yang dikatakan oleh Evan beberapa hari yang lalu. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Andre? Sejak Evan keluar dari rumah sakit, kupikir dia akan berhenti menghubungi Elena. Tetapi ia tetap saja memenuhi janjinya untuk terus merebut hati Elena. Ini sedikit membuatku gusar. Kupikir bukan sedikit, tapi sangat.

Aku teringat kejadian kemarin sore ketika aku mengantar Elena untuk mengemas pakaian Evan di rumahnya. Sebuah sedan mewah berwarna hitam yang mengkilat terparkir di halaman rumah Elena. Elena melayangkan pandangan penasaran kepadaku dan kubalas dengan menaikkan bahu sebagai pertanda bahwa akupun tak mengetahui pemilik mobil itu.

“Apa kau keberatan jika kau turun untuk melihat siapa itu?” Tanya Elena gugup. Aku yakin pikirannya berkecamuk sambil menebak-nebak siapa pemilik mobil itu, mengingat statusnya yang sedang berada dalam pelarian. Aku mengangguk, membuka pintu mobil dan segera berlari kecil untuk mendatangi seseorang yang terlihat tengah memencet bel berkali-kali.

“Ada yang bisa kubantu?” Tanyaku pada seorang lelaki yang mengenakan kemeja bergaris vertikal berwarna biru gelap yang masih sibuk memandangi pintu kayu bercat putih yang tak kunjung terbuka itu.

“Ah… Aku ingin…”

“Apa yang kau lakukan di sini?” Sungguh suatu kejutan yang tak pernah ku harapkan. Aku tak tahu bagaimana bisa dokter sialan itu bisa sampai ke sini. Aku penasaran apakah dia semacam lelaki sinting penuh obsesi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Elenaku.

“Bertemu dengan Elena. Memangnya apa yang kau harapkan dengan kedatanganku kemari?” Tukasnya santai sambil menyisir bagian atas rambutnya dengan jari-jarinya.

Mataku menelisik si sinting di hadapanku. Memang dengan pakaian rapinya ia tak tampak sedang melakukan kunjungan pasien. Tetapi kenyataan bahwa ia datang untuk mengunjungi gadisku, itu membuatku geram.

“Elena tidak ada di rumah. Sebaiknya kau pulang, sialan!”

Lelaki itu memiringkan kepala, pandangan matanya beralih ke suatu tempat sambil menaikkan alisnya. “Sepertinya Elenamu itu ingin bertemu denganku.” Mata licik lelaki itu kembali terfokus padaku.

“Dokter Andre. Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Elena yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

“Aku ingin melakukan kunjungan pasien. Apa kakakmu di rumah?”

Apakah dia sedang bermain-main denganku? Sekarang dia mengatakan bahwa kedatangannya untuk kunjungan pasien?

“Wah, kurasa baru kali ini ku lihat ada kunjungan pasien seperti ini.” Elena memasang senyuman manisnya, membuatku semakin kesal. Elena menyadari bahwa jariku terkepal kuat saat ia mencoba menyentuh tanganku.

“Nick, bersabarlah.” Bisik Elena. Aku berusaha mati-matian untuk menahan diri agar tidak terbawa emosi lebih dalam lagi dari ini. Jika tidak, aku yakin akan berakhir menjadi seorang kriminal karena menghabisi nyawa lelaki itu.

“Tentu saja, karena Evan adalah salah satu pasienku yang penting. Apa kau tidak akan mengizinkanku untuk masuk?” Nada suara penuh percaya diri itu membuatku muak. Elena meremas tanganku, tampaknya mencoba meminta persetujuan.

“Sebaiknya kau pulang sebelum aku benar-benar akan menghajarmu dan…”

“Maaf, tetapi aku sedang meminta izin pada Elena. Kurasa tuan rumah lebih berhak menentukan.”

“Kakakku tidak ada di rumah.”

“Kalau begitu, izinkan aku menikmati secangkir kopi sebentar. Aku sudah jauh-jauh datang kemari, Elena.”

Aku diam menatap Elena yang tampak bingung. Ia menatapku seakan meminta izin, namun aku hanya membuang muka. Aku merasa geram. Jika saja Elena mengiyakan mungkin aku akan benar-benar marah.

“Hanya sebentar, karena aku akan pergi bersama Nico.” Aku bisa mendengar getaran pada suara Elena. Aku yakin dia tahu dia telah membuat keputusan yang salah. Elena menatapku sejenak sebelum melangkah menuju rumahnya. Seulas senyum yang tersungging di bibir lelaki sialan itu, berganti menjadi seringaian saat Elena telah masuk ke dalam rumah.

Sialan!
***
ELENA POV
Aku melihatnya duduk di kursi makan, diam tak acuh sambil memainkan game di ponselnya. Aku sadar aku telah membuat keputusan yang salah, dan aku bertaruh saat ini Nico benar-benar marah padaku. Aku meletakkan segelas air dingin dan sepiring apel kupas, namun ia sama sekali tak menatapku.

“Nick…” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Aku menghela nafas, kemudian aku meraih sebelah tangannya yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Kau marah padaku?”

Hening.

Nico hanya melirikku sejenak, melepaskan genggamanku. Kemudian ia menelan sepotong apel dan mendorongnya dengan air dingin yang telah kusiapkan di sebelahnya. Aku memutar sedikit kursi yang ada di sampingnya, lalu memerhatikannya yang makan tanpa memedulikan kehadiranku. Aku benci diabaikan. Kucoba menguasai diri, kemudian bangkit dari kursi dan kurasakan kakiku tersandung kaki meja hingga membuatku terjungkal.

“Elena.”  Teriak Nico yang akhirnya memerhatikanku. Aku tersenyum senang, namun senyum itu buru-buru kuhilangkan sebelum Nico melihat wajahku yang tertutupi oleh rambut. Ini bukan kulakukan dengan sengaja, aku sungguh-sungguh. Mungkin karena perasaan kesalku membutakan mata kakiku.

“Sudahlah aku tak apa. Kau lanjutkan saja permainanmu, tak perlu memedulikanku. Aku akan menemui Andre sebentar.”

Sengaja. Itu adalah bentuk protes karena sikap Nico yang tak acuh padaku. Tapi sesaat kemudian kurasakan genggaman Nico pada bahuku semakin mengeras sampai akhirnya ia melepaskanku dan segera berdiri. “Aku akan mengemas pakaian Evan.”

Lagi-lagi aku menyesal dengan keputusanku. Seharusnya aku tahu bahwa kata-kataku keluar di saat yang tidak tepat. Aku bangkit menggunakan lengan, lalu mengusap lututku yang terasa sakit.

“Apa yang terjadi, Elena?” Suara seseorang membuatku berjingkat kaget.

“Ah, tidak, hanya sedikit kecelakaan kecil.”

“Apa kau baik-baik saja?” Andre memasang raut wajah khawatirnya sambil melangkah mendekatiku.

“Sungguh aku baik-baik saja. Dokter, aku harus mengemas barang. Jadi aku tak bisa menemanimu menghabiskan kopi.” Aku melempar senyum palsu. Aku sangat berharap lelaki itu menyadari betapa aku terganggu atas kedatangannya. Gara-gara dia, Nico pun mengabaikanku.

“Ngomong-ngomong, di mana Evan? Bukankah dia harusnya beristirahat?”

“Dia ada di rumah Nico.”

Lelaki itu mengernyit bingung. “Kenapa? Bukankah di sini cukup nyaman?” Ujar Andre melempar pandangan ke sekeliling rumah.

“Ada suatu alasan yang membuat dia tidak berada di sini. Aku rasa hal itu tak perlu dijelaskan, dokter. Maafkan aku, tapi aku harus bergegas. Kau bisa pergi setelah menghabiskan kopimu.”

Kutatap raut kecewa yang terpasang pada wajah Andre. Aku yakin aku telah menyakitinya, tetapi aku tak peduli. Dia sudah menggangguku. Mengganggu ketenangan kami.

“Baiklah jika aku mengganggu.” Andre menghela napas. “Aku akan datang lain kali saat kau tidak sibuk Elena.”

Lelaki itu memutar langkahnya setelah melempar senyumnya padaku. Kutatap kepergiannya hingga ia menghilang dibalik pintu yang ditutup dengan sedikit keras. Aku menghela napas lega, kemudian menyusul Nico yang tengah berada di kamar Evan.

Kakiku membawaku menaiki tangga secepat yang aku bisa. Pintu itu sedikit terbuka, sementara lelaki itu merebahkan tubuhnya dengan sebelah tangan yang menutupi kedua matanya.

“Nick…” Aku mendekati ranjang dan mencoba mengusik ketenangannya. Nico tidak menengok. Lagi-lagi ia mengabaikanku.

“Nico!” tegurku dengan nada suara yang seoktaf lebih tinggi. Aku merasa jengkel karena sikap Nico yang kuanggap kekanak-kanankan.

Nico melirikku dengan tajam sebelum ia duduk, “Kenapa kau ke sini? Bukannya kau punya tamu yang seharusnya kau urus?”

Aku tahu lelaki itu sedang cemburu. Tetapi bagaimanapun aku mencoba berpikir dengan kepala dingin, kecemburuannya tetap saja membuatku kesal. “Aku mengusirnya.” Aku menekankan dua kata itu untuk memperjelas keadaan.

Aku beranjak, membuka lemari dua pintu milik Evan dan memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam sebuah tas berukuran besar. Mataku menatap cermin yang terpasang di lemari, pantulan wajah Nico yang tampak kesal terpantul pada cermin itu. “Dan kau, apa yang kau lakukan? Seingatku kau mengatakan padaku untuk mengemas pakaian kakak.”

“Aku tidak tahu apa saja yang dibutuhkan Evan. Jadi aku beristirahat dulu. Apa kau menikmati waktumu bersama dokter sialan itu?”

Sejenak seringaian tipis dari bibirku melintas di pantulan cermin. “Apa kau cemburu?”

Nico terdiam.

“Nick, mataku bisa saja menatap lelaki lain, mulutku bisa saja tersenyum pada lelaki lain. Aku tetap saja manusia biasa seperti perempuan pada umumnya. Tetapi di luar itu semua aku bersungguh-sungguh tak satupun laki-laki yang akan menggantikan posisimu, Nick.”

Nico mencebik, berusaha menyembunyikan senyumnya. “Apa kau bisa mempertanggung jawabkan kata-katamu itu?”

“Tentu saja, sayang.”

Selagi aku sibuk melipat pakaian Evan, Nico mendekatiku, melingkarkan kedua tangannya kepada tubuhku. Kurasakan nafas hangatnya menyisir puncak kepalaku. Aku berbalik dan pandangan kami saling bertemu. Satu tangannya terangkat untuk menangkup pipiku, kemudian menarik kepalaku hingga wajah kami mendekat satu sama lain. Perlahan bibir lembutnya mendarat dengan lembut di bibirku. Ia menciumku dengan lembut, membuat jantungku berdebar hebat.

NICO POV
“Firasatku aneh.” Ujar Evan saat aku menceritakan tentang kedatangan dokter itu tempo hari ke rumahnya.

Aku mengusap wajahku gelisah. Untuk kesekian kalinya aku menggeram dan meremas rambutku dengan kasar mengingat percakapan kami semalam mengenai dokter sialan itu. Aku menggapai-gapai ponselku di atas nakas, Jari tanganku kemudian menghubungi salah satu kontak. Nomor seseorang yang sedari tadi terpikir olehku.

“Halo.” Sapa seseorang setelah telepon terhubung.

“Dani, apa kabar?” Sapaku kepada Dani, orang kepercayaanku sejak aku menggantikan jabatan ayah di perusahaan.

“Baik. Apa yang bisa kubantu?” Tanya Dani langsung. Ini memang sifatnya. Dani bukanlah orang yang suka bertele-tele. Ia adalah orang yang langsung, cepat tanggap, akurat dan rapi. Karena itulah aku selalu mempercayainya sebagai tangan kananku.

“Aku ingin kau mencari tahu tentang spesialis saraf bernama Andre yang bekerja di Ravenia Hospital. Tolong secepatnya kau beri tahu tentang segala yang kau temukan tentang lelaki itu.”

“Tentu.” Ujar Dani yang kemudian memutus sambungan telpon.

Aku kembali menghempaskan tubuhku saat kudengar seseorang mengetuk pintu kamar. Tanpa persetujuanku, seseorang membuka pintu dan mengintip ke dalam. Aku tak dapat menahan senyum ketika mendapati seseorang yang bersembunyi di balik pintu dengan mata genitnya yang berkedip-kedip.

“Apa yang kau lakukan? Masuklah, Elena.”

Elena hanya bergeming. Dari raut wajahnya, aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu. Aku menunggu beberapa saat, namun tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Mata Elena mengerjap sejenak, kemudian ia memasang senyum ramah. Hal itu membuatku sedikit bingung, karena ia tak kunjung membuka mulutnya.

“Ada apa?” Sekali lagi aku bertanya karena tak mendapatkan jawaban apapun dari mulut Elena.

“Trisia mengajakku bertemu nanti malam,” Ujar gadis itu ragu. “Apa kau akan mengizinkanku pergi?”

“Trisia? Gadis yang pernah kutabrak waktu itu?” Nada suaraku yang sedikit meninggi disambut anggukan penuh keraguan oleh Elena. Aku menarik napas dalam, menyadari bahwa membentak Elena bukanlah pilihan yang tepat.

“Elena, sudah kukatakan berkali-kali, jangan pernah berhubungan dengan gadis itu. Kau lebih tahu seberapa beresikonya hubungan kalian. Situasi ini juga bukanlah situasi yang tepat jika kau berkeliaran di luar sana.”

“Ini tidak akan lama, Nick. Aku hanya membutuhkan waktu setidaknya tiga puluh menit, tidak, akan kuusahakan hanya lima belas menit. Dia bilang dia ingin bercerita tentang sesuatu padaku.”

“Sebaiknya kau ingat aku telah berkali-kali memperingatkanmu, Elena.”

“Tapi Nick….”

Brak!

Aku membanting pintu kamarku, meninggalkan Elena yang belum sempat menyelesaikan kata-katanya. Aku perlu mendinginkan pikiranku. Aku mempercepat langkahku menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin dari lemari es.

“Kau seperti akan memakan gelas itu. Apa yang terjadi?” Suara Evan yang berbaring di sofa sambil menonton televisi sempat mengagetkanku.

Setelah menghabiskan segelas air, aku kembali mengisi gelasku dan membawanya menuju tempat Evan berada. Kuhempaskan tubuhku ke sofa setelah meletakkan gelas di atas meja.

“Adikmu menjengkelkan!” Gumamku geram yang disambut senyuman oleh Evan.

“Apa dia melakukan sesuatu yang aneh lagi?” Kata Evan sambil memerhatikan seekor ular yang tengah menelan seekor kelinci di televisi.

“Benar. Dia berkata akan bertemu Trisia malam ini.”

“Atau Andre?” Sahut Evan terkikik yang kemudian membuatku melotot ke arahnya.

Bagiku, keduanya—baik Trisia maupun Andre—sama-sama memiliki resiko jika Elena mencoba bertemu dengan mereka. Seingatku, Dani pernah mengatakan bahwa kakak dari korban tabrak lari Elena masih berusaha mendapatkan tersangka yang membunuh adiknya. Jika Elena berada di sekitar Trisia, aku khawatir dia akan menyadari siapa Elena. Setelah itu terjadi, semuanya akan menjadi sangat buruk untuk Elena.

Begitupun lelaki sialan itu, keberadaannya akan membuat hubunganku dan Elena semakin renggang. Terlebih lagi sifat obsesifnya yang keterlaluan. Dia bisa berada di mana saja seperti seorang penguntit gila.

“Tutup mulutmu. Jangan pernah kau sebut lagi nama lelaki itu di hadapanku.”

“Apa kau sudah menyelidiki latar belakang lelaki itu? Aku sedikit khawatir. Aku ingat saat dia tiba-tiba masuk ke kamar dan memotret Elena beberapa kali. Lelaki itu menakutkan.”

“Kenapa kau tak mengatakannya padaku? Seharusnya kau meneriakinya. Jika perlu kau hajar saja dia.” Karena jika aku menjadi Evan, sudah barang tentu aku akan memberi peringatan keras pada lelaki gila itu.

“Jangankan berteriak, berbicara saja aku tidak bisa. Saat itu hanya ada aku dan Elena, dan saat itu Elena tengah tertidur.”

Aku mencoba menebak-nebak, apakah Andre adalah semacam psikopat gila yang akan mengumpulkan foto gadis-gadis dengan ciri tertentu seperti yang kulihat dalam film-film. Ataukah Andre hanya lelaki biasa yang mengejar seorang gadis lantaran kecantikannya.

“Aku masih menyelidikinya. Kuharap kau bisa membujuk adikmu agar dia tidak memaksa untuk diizinkan pergi.”

“Kalau begitu bagaimana jika kau yang mengantar aku.” Ujar seseorang keras kepala yang membuat kepalaku semakin berdenyut.
*** 

ELENA POV
Aku bersikeras ingin menemui Trisia. Terakhir kali ia menelponku dengan menangis sesegukan, memintaku untuk bertemu sebentar.

“Aku tak memiliki siapapun untuk berbagi cerita. Aku sudah memendam ini terlalu lama.” Ujar Trisia saat berbicara di telpon.

“Bagaimana dengan Harry?”

“Tidak semua dapat kukatakan padanya, Elena. Aku tak pernah memiliki siapapun untuk berbagi setelah kepergian Leo. “

Tentu saja hal itu membuatku semakin merasa bersalah. Meski Trisia tak mengetahuinya, tetap saja akulah yang membuatnya kehilangan Leo. Rasa bersalah ini selamanya tak akan bisa kutebus. Aku sudah menghilangkan hidup seseorang dan membuat hidup orang lain berantakan. Kupikir setidaknya aku dapat sedikit meringankan beban orang-orang yang hidupnya berantakan akibat ulahku.

“Kalau begitu bagaimana jika kau yang mengantar aku?” Aku memang tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang pembangkang. Tetapi aku memang dilahirkan sebagai seorang yang keras kepala. Dan aku memilih untuk menjadi seseorang yang keras kepala saat ini. Setidaknya menemui Trisia saat ia membutuhkanku membuat hatiku sedikit tenang meski tak bisa mengurangi rasa bersalahku.

Kilat amarah di mata Nico membuat lututku terasa lemas. Tapi aku harus membujuknya. “Aku merasa sangat bersalah padanya, jadi aku harus menemuinya. Jika kau ragu, ikutlah denganku, sehingga kau bisa mengawasiku dengan kedua matamu, Nick.”

“Kenapa akhir-akhir ini kau selalu membuatku marah, Elena?” Nada suara Nico terdengar tenang dari luar. Namun aku tahu pasti jika situasi ini akan menimbulkan konflik, terlihat dari sorot tajam matanya yang tampak ingin menusukku.

“Elena, sudahlah.” Evan mencoba menengahi. “Ini bukanlah situasi yang tepat jika kau terus menjadi keras kepala. Kami hanya ingin melindungimu.”

“Tapi…”

“Hentikan, Elena. Jika kau terus saja bertingkah dengan kepala batumu itu, apakah aku harus memecahkan kepalamu saat ini juga?”

Aku terkejut mendapati lelaki yang kucintai itu melontarkan kalimat yang begitu kasar padaku. Ini pertama kalinya ia bersikap seperti itu. Lidahnya bagaikan sebilah belati yang menghujam jantungku. Aku bergeming di tempatku berdiri, mataku mulai terasa berair. Bukan mauku jika pada akhirnya akan begini. Secuil ketakutan mulai menyinggahi hati.  

Kutatap lelaki itu yang berjalan melewatiku begitu saja menuju pintu utama. Dia sama sekali enggan melihatku. Ingin rasanya aku menghentikan langkahnya, tetapi tubuhku berkhianat. Sementara air mataku lolos membasahi wajahku, debaman pintu seolah menjadi tamparan bagiku. Lelaki itu meninggalkanku.


Bersambung…

Stoples Cerita 
Eat. Read. Repeat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D