Jumat, 14 April 2017

Green Eyed - Chapter 13


NICO POV
Mobilku melaju dengan kecepatan sedang, menghabiskan waktu dengan berputar-putar mengelilingi kota. Beberapa saat kemudian, kemudiku menuntun ke sebuah kafe dengan dominasi warna warni layaknya pelangi. Seorang waitress yang menggunakan pakaian sewarna pelangi itupun menghampiriku yang duduk di samping jendela.

“Silahkan menunya.” Ujar gadis itu sambil menyodorkan sebuah daftar menu.

“Coffe latte.” Aku memesan tanpa menyentuh daftar menu yang ia bawakan.

“Baiklah, silahkan tunggu sebentar.”

Selagi menunggu aku mencoba untuk menghubungi Evan. Aku perlu memastikan Elena tidak keluar rumah meski hanya selangkah. Kepalaku masih tak cukup dingin untuk menemui gadis keras kepala itu. Aku mengirimkan pesan singkat pada Evan untuk memastikan kebeadaan Elena dan segera memperoleh balasan.

From : Evan
Aku baru saja melihatnya, dia masih menangis di kamar.

Setidaknya itu lebih baik daripada dia pergi menemui Trisia dengan keras kepalanya itu. Jam tanganku telah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit saat waitress meletakkan coffe latte pesananku.

“Apakah anda ingin memesan yang lainnya?” Tanya waitress itu lagi. Aku menggeleng, membuatnya kembali meninggalkanku sendiri.

Aku melempar pandanganku ke luar jendela, memerhatikan lalu lalang orang-orang di sekitar kafe. Elena masih terus saja berlarian di pikiranku. Dari sekian banyaknya manusia di muka bumi ini, mengapa Elena harus bertemu dengan gadis itu?  Aku menghela nafas panjang sambil memejamkan sejenak mataku yang terasa lelah.

Pandanganku kembali memerhatikan pemandangan yang dibingkai oleh jendela kaca yang cukup besar. Tanpa sengaja aku memerhatikan sebuah mobil yang menurunkan seorang gadis yang tampak tak asing. Aku mengernyit, mencoba mengingaat-ingat lagi, namun masih saja tak kutemukan jawabannya.

Aku membelalakkan mata saat seorang lelaki menghampiri gadis berpakaian merah yang terlebih dahulu turun dari mobil berwarna hitam tersebut. Harry. Aku ingat betul wajah lelaki itu. Selain dia adalah rekan bisnis yang sempat kulupakan wajahnya, tetapi kecelakaan tempo hari membuatku sangat mengingat wajah lelaki itu.

Jantungku berdetak hebat saat menyadari kemungkinan bahwa gadis keras kepala itu akan termakan jebakan Harry dengan menggunakan Trisia sebagai umpan. Bergegas aku menghubungi nomor Evan. Aku menghentak-hentakkan kakiku tak sabar karena Evan tak kunjung mengangkat telponnya.

“Sialan!”

Evan tak juga mengangkat telponnya, sehingga membuatku menghubunginya kembali. Beberapa detik kemudian, tersengar suaranya menggantikan nada tunggu.

“Evan, tolong jangan biarkan Elena pergi dari rumah. Aku sekarang ada di Rainbow Café, aku melihat Harry dan Trisia. Aku khawatir jika Elena bertemu Trisia di Rainbow Café, Harry mungkin saja memiliki rencana untuk menangkapnya.”

Butuh beberapa detik bagi Evan untuk menanggapi penjelasanku barusan hingga ia terdengar kembali suaranya. “Aku sudah memastikan Elena. Dia sedang tidur di kamar.”

Aku merasa tak yakin bahwa Elena benar-benar akan tertidur, mengingat betapa keras kepalanya gadis itu. “Apa kau sudah mengecek bawa yang berada di atas ranjang itu adalah benar-benar Elena?”

Lagi-lagi Evan membutuhkan sedikit waktu hingga akhirnya menjawab petanyaanku. “Sekarang aku berada di hadapan Elena yang tertidur. Apa perlu kubangunkan jadi kau bisa bebicara dengannya?”

Menyadari akulah yang terlalu berlebihan dalam mengkhawatirkan Elena, akirnya aku dapat bernapas lega mendengar gadis itu masih berada di dalam rumah. Pandanganku kembali menyaksikan kedua orang yang masih berada di sisi mobil. Hary tampak mengatakan sesuatu yang disambut gelengan oleh Trisia. Kemudian lelaki itu menunduk untuk menatap gadis di hadapannya kedua tangannya menggenggam bahu Trisia. Mungkin ia sedang meyakinkan sesuatu.

Aku  melambaikan tangan pada waitress saat kurasakan perutku mulai bergemuruh. Kemudian memesan Australian Beef Striploin. Aku sengaja memesan menu tersebut. Itu mengingatkanku pada Elena karena ia selalu akan memesan itu pada setiap restoran yang menyediakannya dalam daftar menu.

ELENA POV
Aku tahu baru saja Evan mendapatkan telpon dari Nico. Aku yakin lelaki itu ingin memastikan bahwa aku memang masih di rumah. Aku meraba ponsel di bawah bantalku. Aku dan Trisia memiliki janji pukul tujuh malam, dan saat ini jam di ponselku menunjukkan pukul enam lebih empat puluh menit. Setelah kudengar Evan menutup pintu kamar, aku bergegas mengganti pakaianku dengan skiny jeans warna biru tua dengan kaos polos berwarna putih. Setelah membubuhkan sedikit make up dan menguncir rambut, kuraih jaket yang kugantungkan di belakang pintu.

Perlahan kubuka jendela kamarku. Tanpa menimbulkan suara, aku melompat keluar jendela dan menutupnya kembali. Dengan langkah mengendap-endap, aku berhasil keluar dari rumah Nico tanpa seseorang yang melihatku.

“Maafkan aku, kak Evan, Nick. Aku akan segera kembali.” Gumamku yang kemudian aku berlari menjauh dari rumah itu setelah melakukan kiss bye.

Rainbow café merupakan kafe tempatku dan Trisia menghabiskan waktu beberapa waktu yang lalu. Kali ini pun Trisia memilih kafe tersebut sebagai tempat pertemuan kami. Beruntung kafe tersebut tak begitu jauh dari rumah saat aku menyadari bahwa aku tak membawa dompet dan sepeser pun uang. Aku menelpon Trisia, dan mengatakan bahwa aku akan sedikit terlambat.

Pukul tujuh lebih dua belas menit aku sampai di halaman kafe dengan terengah-engah. Beberapa pasang mata menatapku yang masih mencoba mengatu napas. Aku tahu apa yang mereka perhatikan, bukan rambutku yang berantakan, bukan napasku yang terengah-engah, tapi aku yakin mereka memerhatikan sepasang sandal rumah berkepala kelinci dengan bulu yang lebat.

Tak ada pilihan lain. Jika aku memburu untuk mengenakan sepatuku yang ada di rak depan, sangat besar kemungkinan aku tak dapat bertemu dengan Trisia malam ini. Aku menghembuskan napas besar, sebagai tanda bahwa debaran jantungku sudah mulai normal akibat berlarian. Kaki jenjangku mulai menuntunku untuk menuju ke dalam kafe.

Tanpa perlu mengedarkan pandanganku, mataku segera tertuju pada seorang gadis berpakaian merah yang melambaikan tangannya padaku. Trisia. Akupun balas melambaikan tanganku dan segera menuju ke meja yang berada dekat kasir.

“Maafkan aku terlambat.” Aku menatap segelas lemon tea yang esnya mulai mencair sehingga membasahi meja kayu yang memiliki ukiran di tiap sisinya.

“Tidak masalah, Elena. Aku juga belum lama berada di sini. Kenapa kau tampak terengah-engah?” Tanya Trisia memerhatikan.

Aku melempar senyum pada gadis itu, “Aku lupa tidak membawa dompet, jadi aku berlari kemari.”

Seketika waja gadis itu membelalak tak percaya. “Kau lari dari rumahmu kemari?”

“Tidak.” Aku menggeleng sambil mengibaskan tanganku. “Bukan begitu, aku tinggal bersama seseorang. Jadi aku berangkat dari rumahnya yang tak jauh dari sini.”

“Seseorang? Apa itu pacarmu?” Tanya Trisia penuh selidik yang kuiyakan dengan anggukan. “Seandainya Leo masih hidup, dia juga sempat mengajakku tinggal bersama. Tetapi Tuhan tidak menghendaki.” Senyum tipis Trisia dikhianati oleh mata sendunya.

Aku terperangah dengan ucapan Trisia. Lidahku kelu kendati aku ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur Trisia. Aku menarik napas, meraih tangannya yang masih terkepal kuat.

“Ikhlaskan dia Trisia, jika dia masih hidup, dia tak akan senang melihatmu seperti ini. Mulailah hidupmu yang baru, biarkan dia tetap berada dalam kenanganmu.” Ada luka menganga di dalam hati yang seolah kugarami sendiri. Mataku terasa berair saat menatap wajah sedih gadis di hadapanku.

“Ah, sudahlah. Aku memintamu kemari karena ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Aku sangat mengingat janji ‘hanya lima belas menit’ ku pada Nico namun siapa sangka percakapan kami justru telah memakan waktu empat puluh menit. Meski hanya sebentar, pada akhirnya aku mengatakan pada Trisia bahwa aku harus segera pulang. Untungnya Trisia mengerti, sehingga akupun tak perlu menjelaskan lebih panjang lagi.

“Aku berharap bisa bertemu lagi denganmu, Elena.” Ujar Trisia.

“Tentu. Aku akan menunggu kabarmu lagi nanti.”

Aku pun melangkan setengah berlari. Aku harus sampai di rumah sebelum Nico sampai atau semuanya akan menjadi semakin rumit. Aku melewati satu meja ketika seseorang mencengkeram tanganku, membuat tubuhku mendadak terasa kaku.

NICO POV
“Apa yang kau…” Teriakan gadis itu terhenti saat menyadari tangan siapa yang mencengkeramnya dengan kuat. Matanya terbelalak tak percaya, seolah hendak keluar dari tempatnya. Tubuh tegang gadis itu pelahan mulai melemas.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Elena.”  Mataku menatap tajam gadis keras kepala yang kini berada tepat di hadapanku. Gadis ini benar-benar membuatku jengkel. Beberapa saat yang lalu aku masih menikmati makanku dengan tenang hingga aku terperangah menatap seorang gadis yang datang dan mencuri perhatian hampir semua pengunjung kafe.

Aku bergeming, mencoba mencari tahu apa yang akan dilakukan gadis itu sehingga ia berani menantangku dan kabur dari rumah. Kuperhatikan gadis itu berjalan mendekati seorang gadis yang melambaikan tangan padanya. Trisia. 

Aku mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka, namun aku tahu itu tidak mungkin mengingat meja kami yang berjarak cukup jauh. Kutatap lekat-lekat kedua gadis itu, mencoba mereka-reka apa yang sedang mereka bahas. Sebentar menangis, sebentar tersenyum, sebentar bersedih. Membuatku tak mampu menebak apa yang sedang mereka bicarakan.

Kuperhatikan pasangan yang berada di dekat tempat duduk gadis-gadis itu, melangkah meninggalkan mejanya, sehingga dengan cepat akupun berpindah tanpa membuat gadis-gadis itu memerhatikanku. Aku mendengar mereka menyebut nama Leo dan percakapan canggung sayup-sayup terdengar di telingaku. Cukup lama aku mencuri dengar pembicaraan mereka, akhirnya kudengar Elena berpamitan untuk segera pulang.

Kini aku menatap penampilan gadis itu lekat-lekat. Perhatianku terpusat pada sepasang sandal berkepala kelinci yang menjadi pelindung kakinya. Dari situ aku bisa memutuskan bahwa gadis itu telah kabur tanpa sepengetahuan Evan.

“Katakan padaku, apa kau bersungguh-sungguh ingin aku memecahkan kepalamu itu, Elena?” Aku menghela napas untuk mencoba meredakan amarahku yang meletup-letup.

“Maafkan aku, Nick.” Gumam gadis itu lemah. Ia menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Tangannya berusaha memberontak, membuatku menggenggam peregelangan tangannya dengan semakin erat.

“Kurasa kau menyakitinya, bro.” Seseorang menepis tanganku, membuatku menengadahkan kepala dengan peasaan yang kian membara. Wajah itu kembali. Wajah yang paling membuatku muak.

“Ini bukanlah uusanmu, brengsek!” Dia selalu saja membuat segalanya semakin keruh. Bahkan emosi yang sengaja kubendung sejak beberapa waktu yang lalu, kurasa benar-benar akan meluap detik ini juga.

“Tentu saja ini urusanku, kau menyakiti gadis yang kusukai.” Nada suara tegasnya bagai menggodam kepalaku. Aku tidak habis piker bagaimana bisa lelaki itu begitu agresif pada gadis yang jelas-jelas telah menolaknya. “Jika kau, menyakitinya, aku benar-benar akan membuatnya menjadi milikku.” Imbuhnya.

Dalam detik itu juga tinjuku melayang tepat di wajahnya. “Brengsek kau! Aku akan membunuhmu!” Lagi-lagi tinjuku mendarat bertubi-tubi di wajahnya, disusul teriakan histeris yang menyeruak di udara. Aku sudah tak mampu lagi berpikir dengan jernih. Kepalaku telah dipenuhi oleh amarah yang bahkan tak bisa kukendalikan.

“Nick… Hentikan!” Suara melengking Elena mengembalikan pikiranku yang tenggelam oleh amarahku. Gadis itu menarik tanganku yang masih melayang di udara bersamaan dengan beberapa waitress yang mencoba melerai perkelahian kami.

Aku mencoba mengatur napasku yang terrengah-engah. Debaran jantungku terasa sangat kencang hingga seolah akan meloncat keluar dari tubuhku. Mata tajamku menatap lelaki yang kini berusaha berdiri sambil mengelap darah yang keluar dari hidungnya. Lelaki itu menatapku, melempar seringaian yang membuatku ingin kembali menghajarnya.

“Andre, apa kau baik-baik saja? Bagaimana ini? Apa yang harus ku lakukan?” Suara panik seorang gadis memberondongkan petanyaan pada lelaki sialan itu. “Tolong ambilkan P3K” Ujar gadis itu

“Aku baik-baik saja, Trisia.” Ujar lelaki itu pada gadis di hadapannya.

“Apa yang kau lakukan?” Bisik Elena geram. Aku hanya melirik Elena sejenak, kemudian fokusku kembali pada lelaki itu.

Aku menatap Trisia yang sedang berusaha menghentikan pendarahan pada hidung dokter sialan itu. Rupanya mereka saling mengenal satu sama lain. Semantara pikiranku masih berkutat pada kedekatan mereka berdua, tangan mungil yang melingkar pada lenganku mendorongku untuk pergi dari tempat ini.

“Maafkan aku, Nick, aku sudah mengkhianatimu. Tetapi seharusnya ini tak terjadi.” Ujar gadis itu saat kami berada di dalam mobil dan bersiap untuk meninggalkan Rainbow Café. Ragaku terasa lelah, bahkan untuk sekedar  membuka mulut.  Perjalanan kami hening, sehingga ku injak pedal gas lebih dalam agar perjalanan ini segera berakhir.

Mobilku terparkir sembarangan di halaman rumah. Sesegera mungkin aku membuka pintu mobil kemudian meninggalkan Elena sebelum ia bahkan membuka pintu.

“Ada apa, Nick?” Tanya Evan saat melihatku membuka pintu utama dengan kasar. Namun saat ini aku terlalu marah. Aku tak ingin berbicara pada siapapun, terlebih lagi pada Elena.

ELENA POV
Aku melangkah pelan, menggigit bibir bawahku sambil sesekali mengintip di balik pintu. Sebelumnya aku tak pernah melihat Nico berubah menjadi seseorang yang semenakutkan ini. Aku tahu aku sudah bersikap keterlaluan. Aku hanya mencoba melakukan sesuatu tanpa membuat masalah untuk siapapun, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku menghela napas panjang, merutuki semua kebodohanku hari ini.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Evan yang tanpa kusadari kini telah bersandar pada kosen pintu. Ia melipat tangannya, menatapku dengan penuh selidik.

“Aku… Em… Begini kak…”

“Kupikir sekarang kau ada di kamar.” Evan memotong kata-kataku.  “Satu jam yang lalu aku sedang melihatmu tidur nyenyak. Apa sekarang kau sedang membodohiku, Elena?” Imbuhnya.

Aku diam. Aku tak pernah berpikir untuk membodohi siapapun. Aku hanya berpikir bahwa aku dapat menebus sedikit saja kesalahanku pada Trisia.

“Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk membodohi siapapun, kak. Tapi kupikir aku bisa sedikit berguna untuk Trisia. Kau tahu pasti apa yang terjadi.”

“Apa karena itu Nico marah?”

Aku mengangguk. Tiba-tiba saja air mataku mengalir. Ini bukan mauku. Tetapi semuanya jadi berantakan. Air mataku terus mengalir hingga Evan mendekat dan memelukku. Ia mengusap punggungku dengan lembut, sementara tangisanku semakin menjadi-jadi.

“Lebih baik kau istirahatlah dulu. Biarkan Nico menenangkan dirinya. Berhentilah menangis, Elena.” Ujar Evan menenangkanku.
***

Aku membuka mataku saat sayup-sayup terdengar kicauan burung. Matahari masih belum terbit sepenuhnya. Kuraba ponselku untuk memastikan pukul berapa sekarang. Pukul empat lebih dua belas menit. Tak biasanya aku bangun sepagi ini. Terlebih aku baru saja menyadari bahwa aku baru saja menghabiskan dua jam waktuku untuk tidur.

Aku ingin membuka lebar-lebar mataku yang terasa mengganjal akibat menangis semalaman hingga tertidur. Memikirkan segala sesuatu yang terjadi semalam membuat hatiku mencelus. Sekelebat ingatan tentang Nico yang marah besar membuat air mataku kembali lolos.

Aku beranjak dari tempat tidurku, menuju kamar mandi hanya untuk sekadar mencuci wajah. Kemudian kakiku perlahan bergerak mengikuti permintaan hati, menuruni tangga tanpa membuat suara.  Aku berdiri tepat di depan pintu, dengan ragu aku memutar gagang pintu di hadapanku.

Aroma maskulin itu seketika menyeruak saat aku membuka pintu tersebut. Kulihat lelaki itu masih tertidur membelakangi pintu. Tubuhnya meringkuk tampak kedinginan, sedangkan selimutnya masih terlipat rapi di ujung ranjang. Kakiku menuntun untuk mendekatinya, menyelimuti tubuhnya yang sedingin es. Meski aku tak melihat wajahnya, aku yakin lelaki itu masih memendam kemarahan untukku. Lantas aku berbaring, melingkarkan lenganku pada tubuhnya, menempelkan dahiku di punggungnya.

“Maafkan aku, Nick. Ku mohon jangan marah padaku lagi.” Bisikku, seketika air mataku kembali menetes.

“Kau sungguh membuatku kecewa, Elena.” Suaranya yang terdengar serak mengejutkanku. Kemudian lelaki itu berbalik sehingga membuatnya dapat melihat wajahku yang sama sekali tak rupawan.

Kian merasa bersalah, aku mencoba untuk membela diri. “Tetapi aku sungguh tak ingin semua jadi seperti ini. Aku pikir aku bisa melakukan segalanya tanpa menyusahkan siapapun.”

Nico tertawa kering. “Tapi pada kenyataannya kau mengacaukan segalanya, Elena.”

Aku kehabisan kata-kata dan aku yakin Nico tak ingin lagi mendengarku mengucapkan kata maaf berkali-kali lagi. “Kumohon jangan membenciku, Nick. Aku memang bodoh. Kumohon maafkan aku. Aku sungguh tak ingin kehilanganmu, Nick. Aku…”

Nico menghela napas. Ia mengusap air mataku yang terus membasahi wajahku. “Akupun  tak ingin kehilanganmu, Elena. Aku mencintaimu. Tapi kuharap kau tahu bahwa ini tak akan mengubah apapun.” Ujar Nico yang semakin membuatku terisak.

“Berhentilah menangis. Aku tak suka melihatmu seperti ini, Elena.” Lelaki itu memelukku dengan erat, mengecup puncak kepalaku. Aku tahu lelaki itu masih menyayangiku, tetapi aku juga tahu bahwa ia masih kecewa padaku.

Beberapa saat kemudian, aku merasakan lelaki itu bergerak. Ia menjauhiku. “Nico, kumohon jangan tinggalkan aku.” Pintaku sekali lagi sambil menggenggam erat tangannya.

Lelaki itu hanya melemparkan senyum. Senyum yang bahkan tak sampai menyentuh matanya. “Aku tidak akan kemana-mana, Elena.” Ujar lelaki itu lembut, kemudian mencium puncak kepalaku. “Aku hanya masih membutuhan waktu untuk sendiri. Aku ingin berpikir dengan jernih, dan aku berjanji, besok semuanya akan baik-baik saja.” Imbuhnya.

Aku menatapnya yang berjalan menuju pintu. Otakku tak sanggup lagi berpikir jernih, terlebih setelah sosok Nico telah menghilang di balik pintu. Kali ini dia benar-benar meninggalkanku…

Bersambung…

Eat. Read. Repeat.

Stoples Cerita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D