Kamis, 26 Mei 2016

Purple Maple (Tiga)



MUNGKIN, ada baiknya Kalila pergi memeriksakan dirinya ke dokter. Akhir-akhir ini, ia memang merasa kurang sehat. Seolah ada beban yang menekan tengkuknya kuat-kuat. Hingga membuatnya kehilangan selera makan. Bahkan ia kesulitan berkonsentrasi di ruangan kuliah yang nyaman. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin walaupun suhu di sekitarnya disejukkan pendingin ruangan.

Kalila merasakan sentuhan ringan di bahunya. Astaga, apa ia tertidur di kelas? Pikiran itu membuatnya panik dan langsung mengangkat kepalanya. Akibatnya, kepalanya malah pening luar biasa.

Tetapi apa yang dilihatnya, bukanlah wajah dosen killer  yang bersiap menegurnya. Melainkan wajah Elliot yang tengah menunduk memerhatikannya. Kalila bisa melihat suasana kelas yang sudah lengang di balik punggung lelaki itu. Hanya tersisa mereka berdua di kelas.

Kalila mengerang dalam hati. Keningnya mengernyit tajam, membuatnya tampak menakutkan. Sejak kapan kuliah berakhir tanpa sepengetahuannya?

“Kal, kau mau makan siang denganku hari ini?” tanya Elliot dengan hati-hati. Entah mengapa lelaki itu terlihat takut. Seolah Kalila adalah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. “Ada yang ingin kubicarakan.”

Mendengar ajakan makan siang itu, sontak membuat perut Kalila membisikkan raungan kecil. Ia menyentuh perutnya sambil melirik jam tangan ungu yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sebelas siang. Dan ia langsung teringat mango smootie dari Rainbow Cafe kemarin siang adalah kudapan terakhir yang mengisi perutnya.

Ah, pantas saja Kalila merasa seburuk ini. Ia tidak ingin jatuh sakit yang akan mengganggu kuliahnya. Secepatnya ia harus menjejalkan makanan apa pun ke dalam perutnya yang kosong. Tetapi tentu saja tidak bersama Elliot.

“Maaf, Elliot. Tapi... aku sudah ada janji siang ini,” elak Kalila cepat karena menyembunyikan kebohongan. Tangannya juga tidak kalah cepat membereskan alat tulisnya dari atas meja. Kemudian kakinya melangkah tergesa meninggalkan kelas.

Tetapi apa yang menyambutnya di luar kelas, membuat jantung Kalila melompat naik ke tenggorokan. Sementara langkahnya terhenti menyisakan bunyi berdecit di lantai. Ia berjingkat ngeri mundur selangkah ke belakang.

“Hai, Lil Princess,” sapa lelaki itu sambil menampilkan senyum lebarnya. Seolah itu sudah terbiasa dilakukannya untuk Kalila. “Mau menemaniku makan siang?”

Mendengar suara Diego yang membelai telinganya, membuat jantung Kalila langsung merosot jatuh ke kakinya. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit. Sementara tubuhnya berbalik di atas tumitnya. Dan berhadapan langsung dengan Elliot yang baru saja keluar dari kelas. Tanpa pikir panjang, ia mengamit lengan Elliot dan menyeretnya menjauh. Tidak peduli pada sorot kebingungan di wajah lelaki itu.
***

“Sebenarnya kita mau ke mana, Kal?”

Suara itu langsung mengembalikan akal sehat Kalila. Buru-buru, ia menarik tangannya kembali dengan canggung. Sementara kepalanya celingukan, memastikan tidak ada Diego di sekitarnya.

“M-maaf,” ucap Kalila sambil menarik turun topinya untuk menutupi wajahnya yang memerah karena malu. “Maaf, sudah menarikmu begitu saja.”

“Tidak apa-apa. Aku justru merasa senang.” Elliot tersenyum menampilkan lengkungan di pipinya. “Kukira kau marah padaku.”

“Kenapa harus marah?” tanya Kalila bingung. Ia menatap Elliot melalui bulu matanya yang lentik.

Hem, karena aku terlihat tertarik dengan temanmuErin,” jawab Elliot sambil meringis masam. Terdengar sedikit keraguan dalam suaranya. “Kukira kau... cemburu.”

Mulut Kalila langsung ternganga seketika. Ada tawa dan perasaan tidak menyangka yang bergelayut di sana. Keningnya mengernyit heran. Bagaimana bisa lelaki ini memikirkan kemungkinan seperti itu?

“Ya, kau tahu, maksudku,” ucap Elliot terpatah-patah, merasa sudah mengucapkan sesuatu yang salah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kemarin kau pergi, maksudku, pergi begitu saja setelah aku berkenalan dengan Erin. Tapi itu sama sekali bukan seperti

“Kau salah mengira, Elliot,” sela Kalila sambil melepaskan tawa kecilnya. “Aku sama sekali tidak marah. Malah aku senang kalau kalian bisa bersama.”

“Benarkah?” tanya Elliot tidak percaya. “Kau sungguh tidak marah padaku?”

Kalila mengangguk meyakinkan. Ia menepuk ramah bahu lelaki itu lalu berujar, “Omong-omong, terima kasih sudah bersedia kuseret seperti tadi.”

“Tidak masalah.” Elliot menggidikkan bahunya. “Sempat kukira tadi kau mau mengajakku makan siang.”

Sekali lagi, Kalila tertawa kecil menanggapi perkiraan Elliot. “Tapi aku ada kuliah lagi setelah ini.”

Elliot ingin mengejar Kalila yang langsung pergi begitu saja. Tetapi ia mengurungkan niatnya dan malah terkekeh kecil karena sadar sudah ditolak.
***

Setelah meninggalkan Elliot yang sudah membantunya untuk kabur dari Diego, Kalila terus melangkahkan kakinya menuju bagian timur gedung fakultas. Hingga akhirnya, matanya menangkap pemandangan pintu perpustakaan. Pintu itu terbuka lebar, seolah sengaja hendak menyambutnya.

Langkah kaki Kalila menghentak antusias. Lapar di perutnya menguap begitu saja. Berpindah ke otaknya yang lapar akan pengetahuan. Lagi pula ia harus mengejar keterlambatannya karena sama sekali tidak mendengarkan kuliah Ekonomi Mikro tadi.

“Hai, Kal.”

Terdengar sapaan ringan dari seorang gadis di belakang punggung Kalila. Gadis itu menepuk kuat bahunya. Saking kuatnya hingga membuat ia limbung dan nyaris tersungkur. Beruntung, kakinya masih cukup kokoh menopang tubuhnya.

“Ohhai, Val.” Kalila balas menyapa sambil membalikan tubuhnya. Walaupun sebenarnya ia enggan. Gadis itu lagi-lagi mengenakan pakaian berwarna cerah dengan motif floral yang mencolok. Tetapi ada yang berbeda dari penampilan Valeria kali ini.

“Mau ke perpustakaan juga, Kal?” tanya Valeria dengan sepasang mata yang melebar penasaran. Sepasang mata yang berlapis lensa kontak berwarna cokelat terang.

Kalila terdiam sejenak penuh pertimbangan. Takut salah menjawab dan membuatnya terjebak dalam keadaan yang sangat dihindarinya.

“Tidak juga. Hanya kebetulan lewat. Aku mau ke” Mata Kalila bergerak cepat mencari korban bagi kebohongannya. “Turun lewat tangga.”

“Oh.” Bibir Valeria membulat kecewa melihat ke arah yang ditunjuk Kalila. Tetapi begitu matanya memandang sekilas pada kaki Kalila, dengan cepat kekecewaan itu tergantikan oleh senyuman. “Sepatumu bagus. Sepertinya aku juga punya yang seperti itu. Kapan-kapan kita bisa janjian memakainya bersama.”

“Benarkah?” sahut Kalila berpura-pura tertarik. Padahal ia sama sekali tidak menyukai gagasan itu. Lagi pula bukankah sepatu ini dibuat khusus untuknya? Kalila yang mendesainnya secara pribadi.

Valeria mengangguk senang. “Aku mau mengembalikan buku. Kalau kau mau menunggu sebentar, kita bisa pergi makan siang bersama.”

Kening Kalila berkerut. Entah mengapa, sepertinya hari ini semua orang tertarik mengajaknya makan siang bersama. Memangnya ia terlihat seperti singa kelaparan?

Hem, tapi aku sudah ada janji,” kata Kalila sambil memasang wajah menyesal.

“Ah, sayang sekali.” Valeria sama sekali tidak menyembunyikan kekecewaannya. “Kalau begitu, aku masuk dulu, ya.”

Kalila mengangguk cepat, mempersilakan Valeria hilang dari hadapannya. Sementara ia sendiri langsung memacu kakinya menuju tangga di samping perpustakaan. Sebaiknya ia cepat-cepat pulang dan mencari sesuatu yang bisa dimakan.

Tetapi baru tiga anak tangga yang dituruninya, Kalila teringat pada topinya yang disita Valeria tempo hari. Ia berbalik cepat dengan perasaan bimbang. Apa harus ia menagih hal semacam itu di perpustakaan?

Saat itulah tiba-tiba keningnya menghantam sesuatu dengan kuat. Kalila tersentak dan langsung kehilangan keseimbangannya. Sebelum sempat menyadari apa yang di tabraknya, kaki kirinya tergelincir dari pijakan yang memeleset di tepi anak tangga. Tubuhnya terhuyung ke belakang.


Kalila lantas memejamkan mata, mempersiapkan diri untuk hal terburuk yang bisa terjadi. Ia merasa tubuhnya terguncang. Tetapi kepalanya tidak menghantam lantai. Tubuhnya tidak jatuh berguling-guling di tangga. Ia sama sekali tidak merasa kesakitan.

Begitu Kalila membuka mata dan mengangkat kepalanya. Matanya langsung melebar karena terkejut. Sementara napasnya tercekat saat menyadari wajahnya berada dekat dengan dada bidang seseorang yang tadi dihindarinya.

Astaga, bagaimana bisa ia terperangkap dalam pelukan lelaki ini?
***

Sepasang mata cokelat terang itu terbelalak menatapnya. Kening Diego mengernyit saat mencoba mengartikan berbagai macam ekspresi yang berkelebat di mata gadis itu. Ia menangkap banyak ekspresi terkejut sekaligus bingung. Juga sedikit amarah dan ketakutan.

Tiba-tiba gadis itu meronta dalam pelukannya, menarik Diego dari pikirannya. Beruntung, ia masih cukup waktu untuk berpikir sebelum menuruti keinginan Kalila. Ia tidak mungkin melepaskan gadis itu begitu saja. Sebelum memastikan kedua kaki cantik dalam sepatu berbahan suede itu berpijak dengan benar.

Diego berdeham pelan lalu bertanya, “Kau baik-baik saja, Lil Princess?”

“Lepaskan aku!” seru Kalila yang kembali meronta.

“Tapi kau akan terjatuh.” Diego berbisik begitu dekat di telinga Kalila. “Aku tidak ingin melihat pacarku terluka.”

“Akan lebih baik jika aku jatuh,” tukas Kalila tidak mau kalah.

Diego terdiam sejenak. “Baiklah, kalau itu maumu,” gumamnya sambil berangsur melonggarkan pelukannya di pinggang Kalila.

Merasa tidak sabar, Kalila mendorong dada Diego agar cepat menjauh. Tetapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Tubuhnya malah terpental dan limbung ke belakang. Kali ini, ia pasti akan benar-benar celaka. Terjerembap bersama tumpukan gengsi yang akan menimpanya.

Dengan cepat Diego mengulurkan tangan dan menahan siku gadis itu. Tubuh Kalila tersentak keras kembali ke arahnya. Kecuali topi yang menutupi kepala cantik itu. Topi itu lepas dan melayang jatuh ke atas undakan anak tangga.

“Pelan-pelan saja, Lil Princess.” Diego mengembuskan napas panjang. Untung saja tadi ia memutuskan untuk mengikuti gadis ini. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi.

Tepat seperti dugaannya, Kalila langsung menarik lengannya secepat mungkin dari pegangan Diego. Mata gadis itu menatapnya tajam. Kali ini, penuh kecurigaan. “Apa maumu?”

“Tadi sudah kukatakan padamu. Tapi kau malah lari bersama lelaki lain,” ucap Diego sambil menggidikkan bahu. “Siapa itu? Pacar gelapmu? Apa semudah itu kau menduakan aku?”

“Dia Elliot. Teman sekelasku,” bantah Kalila cepat. Suaranya nyaris meninggi. “Dan aku tidak pernah menyetujui kembali menjadi pacarmu.”

“Tapi kau pasti tidak akan menolak lagi ajakan makan siangku sekarang,” ujar Diego penuh percaya diri. Ia membungkuk dan mengusap pipi Kalila dengan ibu jarinya. “Kau terlihat seperti Lil Zombie dengan wajah pucatmu.”

Kalila masih menatapnya galak. Kening gadis itu berkerut mengerikan. Persis seperti zombie yang siap merobek otak mangsanya.

Merasa keutuhan otaknya terancam, Diego cepat-cepat mengeluarkan pengalih perhatian dari tasnya. Ia menyodorkannya ke hadapan Kalila. “Tapi sebelum itu, kau perlu bahan bakar supaya kuat berjalan.”

Mata Kalila mengerjap sekali. Tenggorokannya bergerak susah payah, mencegah agar air liurnya tidak menetes. Sandwich ayam yang disodorkan Diego padanya, sontak membuat perutnya bersorak senang.
***

‘Apa tidak ada tempat lain?’ tanya Kalila dengan suara terdengar cemas. Seharusnya ia mendengarkan Diego tadi. Tempat itu terlihat berbahaya.

Ruben menggelengkan kepalanya. ‘Pohon maple sulit tumbuh di iklim seperti ini. Hanya bukit ini yang memiliki suhu udara dan tanah yang cocok.’

‘Tapi... entah kenapa tiba-tiba aku merasa takut,’ ujar Kalila dengan sepasang mata yang tidak bisa lepas dari sosok Diego.

‘Kenapa? Kau meragukan kemampuan si pengecut itu?’ timpal Sharon yang ikut masuk dalam obrolan.

‘Tenang saja. Aku juga pernah memajat pohon itu sebelumnya,’ dusta Ruben sebelum Kalila kalap dan merobek bibir Sharon. Ia memang tidak punya cukup keberanian untuk melakukan itu. Tetapi ia ingin tetap terlihat hebat di mata kedua gadis di hadapannya. ‘Lihat, dia sudah berhasil memanjat.’

Seperti yang dikatakan Ruben, Diego sudah berhasil memanjat pohon itu seperti seekor kucing hutan. Siapa yang menyangka kaki kerempeng itu ternyata mampu memijak dengan kokoh.

Kalila menjalinkan kesepuluh jemari tangannya di depan dada. Matanya terpejam. Dalam hati ia merapalkan banyak doa. Berharap agar Diego Sang Pahlawan Kesatrianya akan kembali ke pelukannya segera.

Tetapi kemudian Kalila mendengar Sharon memekik keras bersama gadis-gadis lain yang ada di sana. Ia membuka matanya dan mendapati pijakan Diego yang tidak tepat pada salah satu dahan. Lelaki itu kehilangan keseimbangan dan meluncur cepat mengikuti gravitasi bumi. Tubuhnya berguling-guling di tepi dinding tebing yang dipenuhi bebatuan. Beberapa temannya yang berdiri di dekat situ, malah menjauh mundur.

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Kalila. Bibir gadis itu hanya menganga lebar dengan panik. Ketakutan yang nyata membanjiri sekujur tubuhnya yang menegang. Dan setitik amarah membara tepat di belakang kepalanya saat mendengar seseorang melarang Ruben—yang memegang ponsel dengan tangan gemetar—untuk menghubungi siapa pun. Mereka akan terlibat masalah jika ada orang lain yang tahu.

Demi Tuhan, ini bukan saatnya bersikap egois. Diego terjatuh dan pasti terluka parah. Tetapi tidak seorang pun yang bergerak untuk menolongnya. Tidak seorang pun dari para lelaki yang selalu mengumbar kehebatannya di hadapan Kalila. Tidak seorang pun dari para gadis yang selalu berkata bahwa mereka adalah sahabat sejati.

Dengan berlinang air mata, Kalila akhirnya bisa menggerakkan tubuhnya. Ia berlari menghampiri kegelapan tempat di mana Diego terjatuh. Tetapi tiba-tiba ia disilaukan cahaya senter yang diiringi derap langkah.

‘Hei, apa yang kalian lakukan di sini?!’

Tanpa komando dari siapa pun, semua orang menghambur berlari kabur agar tidak tertangkap dan mendapat masalah. Apalagi mengingat jabatan orang tua masing-masing yang berada di kelas atas. Mereka tidak akan sudi mencoreng martabat keluarga. Sekalipun nyawa seseorang menjadi taruhannya.

Tiba-tiba Ruben menarik paksa lengan Kalila. Menyeret gadis itu untuk ikut melarikan diri. Tetapi ia mencoba meronta. Memaksa hendak kembali dan memeriksa langsung keadaan Diego.

Tetapi Ruben berbisik dan menyuruhnya untuk tetap berlari. Atau hukuman di sekolah dan di rumah akan siap menantinya. Kabarnya, akhir-akhir ini memang ada rumor beredar tentang sekumpulan remaja yang sering berpesta minuman keras di daerah sepi seperti ini.

Entah setan apa yang merasukinya kala itu, Kalila menuruti saran menyesatkan itu. Tetapi bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan Diego begitu saja.

‘T-tolong selamatkan dia!’ teriak Kalila pada orang-orang yang mengejar mereka. Suara gadis itu sarat akan perasaan frustrasi. ‘Ada seseorang yang terluka di bawah pohon maple! Kumohon tolong selamatkan dia!’

Pria-pria bertubuh tambun itu menghentikan pengejaran mereka saat mendengar kata-kata Kalila. Mereka langsung mengarahkan senter ke bagian bawah pohon maple. Dan benar saja. Kalila dapat melihat sosok Diego yang tergeletak tidak sadarkan diri. Kepala dan jaket lelaki itu dipenuhi bercak darah.

Kalila tertegun dan menghentikan langkahnya. Ia harus segera kembali dan memastikan keadaan Diego baik-baik saja. Tetapi seseorang kembali menarik lengannya, mengingatkannya untuk terus berlari.

Malam itu, Kalila terus berlari. Sementara perasaan bersalah bergelayut erat di punggungnya. Tidak terlihat memang. Tetapi ia selalu bisa merasakannya. Dan Kalila menyadari benar bahwa ia tidak termaafkan.
***

Selera makan Kalila menguap bebas tidak berbekas. Begitu juga dengan rasa lapar yang sejak tadi meraung dalam lambungnya. Ia hanya memutar-mutar garpunya pada spaghetti yang terhidang di hadapannya. Tanpa satu pun suapan mendarat ke mulutnya.

Bukan karena makanan itu tidak menarik. Aromanya saja pasti mampu membuat siapa pun meneteskan air liur. Tetapi entah mengapa ia merasa mual ketika teringat hari-hari yang ia jalani dengan dihantui rasa bersalah. Dan kini pusat dari penyesalan itu muncul di hadapannya tanpa peringatan.

Haruskah ia meminta maaf sambil bersujud? Atau menangis tersedu-sedu menyatakan betapa ia sangat menyesal?

“Ada apa, Lil Princess?” tanya Diego yang mulai terlihat sebal. Lelaki itu menghentikan kegiatan makannya. Nada bicaranya berbalut sindiran tajam. “Apa restoran ini terlalu murah? Tidak sesuai dengan kastamu? Atau kau enggan makan bersama lelaki kurang populer sepertiku?”

Kalila mendorong piringnya menjauh. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Selama beberapa detik kepalanya terangkat menatap langit-langit restoran yang berwarna seperti lavendel.

“Katakan, apa maumu?” tanya Kalila begitu sepasang matanya bersitatap dengan mata gelap lelaki yang duduk di hadapannya.

Diego menggidikkan bahunya. “Kau sudah menuruti mauku. Itulah kenapa kita ada di sini.”

Astaga, sampai kapan lelaki ini mempermainkannya? Kalila berdecak kesal mendengar jawaban palsu seperti itu. Ia yakin bahwa lelaki ini memiliki tujuan lain dengan mendekatinya.

“Begini,” ucap Kalila mencoba membuka pintu untuk pembicaraan yang serius. “Kalau ada niatmu untuk balas dendam——”

Tiba-tiba tawa lepas lelaki di hadapannya itu memotong ucapan Kalila. Menghadirkan kerutan dalam di antara alisnya. Memang apa yang lucu?

“Astaga, Lil Princess,” gumam Diego di tengah gelaknya. Lelaki itu menyembunyikan sebagian wajahnya di balik telapak tangan, berusaha meredam rasa geli pada otot wajahnya. “Dari mana kau mendapat pikiran seperti itu?”

“Karena, yah, kau tiba-tiba berada di dekatku,” jelas Kalila terbata diliputi kebingungan di setiap kata. “Kau seperti sengaja mengejarku, kau tahu, atas apa yang pernah kulakukan padamu dulu.”

“Kutegaskan padamu, Lil Princess. Kau tidak sepenting itu bagiku,” balas Diego ketus. Jelas-jelas bernada menyakiti. “Dan aku tidak ‘tiba-tiba’ berada di dekatmu. Aku sendiri tidak tahu jika kita diterima di universitas yang sama. Pertama kali aku melihatmu saat masa orientasi. Dan aku menyapamu dengan sebotol air mineral. Siapa tahu kau lupa. Mengingat betapa banyak lelaki yang dengan mudahnya tertarik padamu.”

Tentu saja Kalila masih mengingatnya. Walaupun saat itu ia belum mengenali lelaki itu sebagai Diego. Lelaki itu seperti orang yang berbeda. Ia berubah dalam banyak hal.

“Karena kebetulan kita dipertemukan lagi setelah tiga tahun. Kurasa tidak ada salahnya mencoba memperbaiki hubungan kita berdua.”

Kalila mengangguk setuju. Walaupun tidak sedikit pun ia berani menatap langsung mata Diego. Perasaan malu menyiram deras wajahnya atas pikirannya yang sudah terlalu jauh. Diego benar. Jika lelaki itu berniat balas dendam, seharusnya ia membiarkan Kalila terjatuh dari tangga tadi. Itu akan jauh lebih mudah.

“Aku sengaja menyinggung masalah pacar hanya untuk memastikan seperti apa hubungan ini bagimu. Kita tidak pernah benar-benar bertemu untuk berpisah setelah kejadian itu, kau ingat?” lanjut Diego seolah menghakimi Kalila. Sepasang mata hitam lelaki itu berkilat-kilat tajam. “Tapi tadi kulihat kau dengan mudahnya menggandeng lelaki lain. Cukup jelas untukku sekarang, Nona Populer.”

“Sudah kukatakan, dia hanya teman sekelasku.”

“Permisi,” sela seseorang memotong perdebatan mereka berdua. Seorang lelaki berpakaian hitam dengan dua baris kancing berwarna merah yang tersusun rapi ke bawah ala seragam seorang chef. “Saya Julian, chef di restoran ini. Apa Anda ingin memesan minuman penggugah selera makan?”

“Uh, oh, sepertinya tidak—“

Kalila hendak menolak secara halus, tetapi tiba-tiba saja chef itu menunduk dan berbisik di telinganya.

“Ini spesial untuk Anda, Nona. Tapi tolong rahasiakan ini.” Julian semakin merendahkan suaranya. “Saya akan memberikannya secara gratis. Entah kenapa saya merasa terluka karena gadis secantik Anda belum menyentuh masakan saya sedikit pun.”

Kalila tergugu dengan wajah nyaris semerah tomat. Entah berapa kali lagi ia harus mempermalukan dirinya hari ini. Sementara Diego meremas kuat tepi meja restoran. Menahan kuat-kuat ledakan amarah dalam dadanya saat melihat sikap menggelikan dari chef berengsek itu.

“K-kalau begitu, saya mau segelas wine,” ujar Kalila akhirnya.

“Baiklah. Wine pesanan Anda akan segera diantar.” Chef itu menebarkan senyumnya yang sehangat matahari, sebelum meninggalkan Diego dan Kalila kembali berdua.

“Lihat, chef itu saja terpesona padamu,” gumam Diego sinis.

“Kau salah,” sahut Kalila mencoba menularkan rasa malunya. “Dia hanya menjalankan tugasnya.”

“Lagi pula untuk apa kau memesan wine? Semudah itu kau terpikat bisikan setan?”

“Seperti yang dikatakan chef Julian, aku perlu minuman pembangkit selera makan.”

“Silakan, wine Anda.”

Kali ini seorang pramusaji yang menghidangkan segelas wine ke meja Kalila. Warna kemerahan mendekati ungu pekat menggenang dalam mangkuk gelas bertangkai itu.

“Terima kasih,” ujar Kalila sambil tersenyum. Belum setetes pun wine itu menyentuh indera pengecapnya, tetapi perasaannya sudah lebih baik sekarang.

“Sini, biar aku minum dulu.” Diego meraih tangkai gelas mendekat ke arahnya. “Berjaga-jaga jika ada hal aneh yang dicampur ke dalamnya.”

Tetapi Kalila merenggut cepat gelas itu. Kemudian menghabiskan segelas wine itu dalam sekali teguk. Sama sekali tidak repot-repot menghirup aroma maupun menikmati aftertaste seperti seharusnya. Detik berikutnya, ia langsung menggenggam garpu dan mengantarkan beberapa gulungan spaghetti untuk mengisi perutnya yang kosong.

Sontak Kalila merasakan kepalanya terasa pening. Tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin cepat melupakan apa yang sudah terjadi. Tentang bagaimana ia mempermalukan dirinya sendiri di depan Diego dengan tuduhan tidak beralasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D