Kamis, 02 Juni 2016

Purple Maple (Empat)


KAU yakin tidak apa-apa, Lil Princess?” tanya Diego cemas begitu mereka sudah duduk kembali di dalam mobil sedan abu-abu gelapnya.

Kalila mengerjapkan matanya beberapa kali. Butuh lebih dari sepuluh detik sebelum akhirnya ia mencerna pertanyaan yang diucapkan Diego. “Ya. Aku tidak apa-apa.”

“Kau mabuk?”

Tiba-tiba Kalila tertawa renyah mendengar pertanyaan itu. Matanya terpejam. Telapak tangannya menepuk-nepuk lengan Diego. “Yang benar saja! Mana mungkin aku mabuk hanya karena segelas wine.”

“Seingatku kau memang lemah pada minuman seperti itu,” ucap Diego heran. “Lalu kenapa hari ini—“

“Sudah. Tidak usah berdebat. Cepat antar aku pulang,” sela Kalila sambil tertawa-tawa kecil. Tangannya bergerak bingung. Kesulitan memasangkan sabuk pengamannya.

Diego menggeleng-gelengkan kepala melihat pipi Kalila memerah. Sekelumit tawa juga tertular padanya. Lelaki itu menunduk, melingkarkan sabuk pengaman ke tubuh Kalila.

“Jadi, ke mana aku harus mengantarmu pulang?”

“Ke sana,” jawab Kalila sambil mengangkat telunjuknya tidak tentu arah. Sebaris tawa terpatah-patah kembali menghiasi bibir gadis itu.

“Kalau kau tidak bisa menunjukkan jalan dengan benar, aku akan membawamu pulang ke apartemenku,” ucap Diego sambil melipat lengan di depan dada.

“Ayo, ayo kita pulang ke apartemenmu,” sahut Kalila sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Detik berikutnya, gadis itu sudah menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Dan dalam sekejap terdengar dengkuran halus memenuhi seisi mobil.

Diego melirik sekilas ke arah Kalila. Ia mulai menjalankan mobilnya, melaksanakan apa yang diminta gadis itu. Sementara sudut bibirnya menarik seringai tanpa bisa ditahan.
***

Pintu apartemen itu tertutup dan mengunci secara otomatis di belakang punggung Diego. Lelaki itu melepas sepatunya sambil tetap memapah Kalila. Begitu sepatunya terlepas, ia menggendong Kalila seolah tidak ada beban berarti. Ia membawa gadis itu memasuki ruang tamu dan menurunkannya di atas sofa berwarna serupa bilberry.

Diego menyalakan lampu duduk di samping sofa. Kemudian lelaki itu menutup rapat gorden khaki-nya. Seolah mencegah cahaya luar memasuki apartemennya. Atau menghindari seseorang melihat ke dalam. Sehingga kini ruangan itu temaram oleh cahaya yang berpendar kekuningan dari balik kap lampu.

Diego duduk di atas meja mahoni di ruang tamunya. Sepasang matanya menelusuri sosok Kalila yang tertidur pulas di hadapannya. Napas gadis itu begitu teratur. Begitu tenang seperti malaikat.

Di bawah penerangan minim di ruangan itu, pandangan Diego terpaku pada wajah Kalila. Alisnya sehitam arang, bulu matanya yang lentik, dan bibirnya merah alami seperti stroberi. Semua itu seperti dilukis khusus di atas kulit pucatnya. Rambut berpotongan bob menyentuh lembut pipinya yang jauh lebih tirus daripada terakhir kali Diego melihatnya.

Entah apa sebabnya, tetapi Diego memang merasa gadis itu sedikit berubah. Rona wajah gadis itu berubah tampak muram. Senyumannya tidak pernah lagi terlihat tulus. Seolah cahaya sudah terenggut paksa dari sepasang mata yang selalu mengisi benak Diego selama ini.

Tiba-tiba Diego mengerang tertahan. Rasa sakit itu datang lagi. Ia merasakan bekas luka di kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Lelaki itu memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal kuat, mencoba menenangkan dirinya. Hal semacam ini memang sering terjadi. Jika ia terlalu sering memikirkan gadis yang membuatnya terluka. Memikirkan gadis yang kini terlelap di atas sofanya.

Begitu rasa sakit itu perlahan meninggalkan dirinya, Diego mendesis. Ia membuka mata dan mengatur napasnya yang terputus-putus. Ini tidak baik. Diego harus mengalihkan perhatiannya dari Kalila, atau rasa sakit itu akan membunuhnya perlahan.

Diego berlutut dan melepaskan sepatu yang membungkus kaki Kalila. Penuh kehati-hatian, ia memosisikan kaki gadis itu ke atas lengan sofa. Tetapi saat ia bangkit, tiba-tiba ujung jemari kanannya disentuh dan ditarik oleh genggaman lemah. Saat menoleh, ia melihat Kalila sedang menatap redup padanya.

“Kau mau ke mana?” tanya Kalila dengan suara parau.

“Menyimpan sepatumu di rak,” jawab Diego ringan sambil menunjukkan sepatu yang menggantung di ujung jemari kirinya.

“Jangan pergi,” pinta Kalila sambil beranjak duduk.

“Aku hanya sebentar.”

“Aku mohon jangan pergi.” Kalila merengek dengan suara serak. Gadis itu bangkit dan duduk bersandar pada sofa. Kepalanya terkulai putus asa. “Jangan tinggalkan aku, My Hero Diego.”

Diego mengernyit dan tersenyum secara bersamaan. Ia meletakkan kembali chukka boots milik Kalila ke lantai, kemudian memosisikan diri duduk di sisi gadis itu.

“Maafkan aku, Diego.” Kalila terisak lantas memeluk Diego. Ia mengubur wajahnya di lekukan leher lelaki itu. “Maaf, aku melarangmu pergi.”

“Tidak apa,” sahut Diego bingung akan ucapan Kalila yang melantur. Ia mengulurkan lengannya mengelus lembut kepala gadis itu. “Aku akan menemanimu di sini.”

“Padahal dulu aku... ya, Tuhan... aku meninggalkanmu malam itu.” Tangis Kalila mulai pecah menjadi isakan-isakan menyayat hati. “Ini semua salahku. Aku sudah meninggalkanmu. Aku meninggalkanmu....”

Kening Diego mengernyit mendengar ratapan Kalila. Tetapi lelaki itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya membiarkan telapak tangannya bergerak teratur membelai rambut Kalila. Bagaimanapun, entah mengapa, hatinya seperti diiris-iris saat melihat gadis itu menangis.

“Aku... aku sudah membuatmu terluka. Kau terluka karena aku.” Kalila masih terus menyalahkan dirinya sendiri di tengah air matanya yang mengalir deras. “Semuanya gara-gara aku.”

Diego mempererat pelukannya. Sementara tangannya berpindah ke punggung Kalila, mendaratkan tepukan ringan yang mencoba menenangkan. Ini pertama kalinya ia berhadapan dengan Kalila yang histeris.

“Aku akan lakukan apa pun untuk menebus kesalahank—” Suara Kalila tertelan oleh tangisannya yang seolah tidak berujung. Ia mendongak dan menatap langsung ke arah Diego.

Diego hanya bisa meringis masam. Sepasang mata cokelat terang itu milik gadis itu dibasahi air mata dan dilumuri perasaan bersalah yang pekat.

“Apa pun itu?” tanya Diego. Sepasang matanya berkilat senang. “Kalau begitu, mulai sekarang kau akan melakukan apa saja untukku. Dan setelah itu baru aku akan memaafkanmu.”

Kalila mengangguk pasrah. Sedetik kemudian gadis itu kembali menyurukkan kepalanya di dada Diego. Isakannya sudah mereda. Walaupun air matanya masih terus mengalir.

Tetapi rupanya Diego tidak lagi ingin membiarkan gadis itu tenggelam dalam air mata. Maka, ia menangkup kedua pipi Kalila, membuat gadis itu kembali menatap langsung padanya. Seulas seringai yang mengandung beribu makna terbit di bibir Diego. Seperti yang diminta Kalila, ia akan melakukan apa saja. Mungkin hal pertama yang harus dilakukannya adalah mengklaim gadis itu menjadi miliknya.

Lama mereka saling terkunci dalam tatapan. Perlahan, Diego menunduk lebih dekat. Ibu jarinya terulur, mengusap lembut bibir merah stroberi yang membisikkan namanya.
***

Suasana begitu hening dan tenang. Perlahan, Kalila membuka matanya. Tidak ada cahaya yang menyilaukan. Hanya seberkas cahaya keemasan yang menelusup dari balik tirai kamar. Beberapa detik berlalu, ia hanya terdiam, menikmati lingkungan asing yang mengelilingnya.

Kalila tidak tahu ia berada di mana. Yang jelas ini bukan kamar indekosnya. Kendatipun begitu, ia merasa hangat dan nyaman di atas tempat tidur ini. Tetapi ia tidak boleh terus terlena. Ia harus segera mencari tahu di mana ia berada. Dan bagaimana bisa ia ada di sini.

Kalila memosisikan dirinya duduk di tepi ranjang. Ia terdiam sejenak saat kepalanya terasa pening. Matanya melirik ke arah nakas di samping tempat tidur. Ada segelas air yang tampak berkilau di bawah remang-remang cahaya bulan. Tanpa pikir panjang, ia langsung meneguk habis air itu untuk membasahi tenggorokannya yang seperti dipenuhi duri.

Ingatan samar menyapu benak Kalila. Sejak kejadian malam itu, Kalila membenci keramaian. Ia tidak suka berada di tengah banyak orang yang seolah memandangnya penuh penghakiman. Belum lagi ketika sekumpulan orang yang menyebutnya teman, mulai pergi meninggalkannya yang nyaris gila. Bagaimana tidak, ia mendengar Diego terluka parah. Kabarnya, lelaki itu mengalami gegar otak dan mendapat beberapa jahitan akibat luka yang didapatnya.

Berulang kali, ia ingin menjenguk Diego. Ingin melihat sendiri bagaimana keadaan lelaki itu. Tetapi niatnya selalu runtuh begitu saja membayangkan bahwa tidak akan ada maaf untuknya.  Mendapati kenyataan itu, Kalila hanya bisa menyembunyikan diri dalam kegelapan seperti ini. Bahkan memandang dirinya sendiri di cermin sudah membuatnya muak. Ia hanya bisa meringkuk berlumur air mata hingga jatuh tertidur.

Kalila kehilangan semua yang dibanggakannya selama ini. Selera makannya menurun drastis. Nilai-nilainya di sekolah memburuk. Kedua orang tua Kalila yang tidak tega melihatnya menderita, akhirnya memindahkan ia ke kota asal ibunya. Sebelum anak gadis mereka jatuh sakit karena tertekan.

Setitik air matanya nyaris jatuh saat telinga Kalila menangkap sayup-sayup bunyi piano dari luar kamar. Sebuah bisikan merdu tentang kesedihan. Seolah melodi ini menjadi pengiring perasaannya. Atau justru refleksi perasaan dari yang memainkannya.

Seperti anak-anak kecil yang terpikat bunyi seruling di Hamelin, Kalila bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat itulah ia baru menyadari bahwa ia tidak mengenakan sepatu dan parka yang tadi dikenakannya. Tetapi ia tidak peduli. Kalila lebih penasaran dengan irama yang membelai telinganya. Mungkin ini karya Beethoven atau Mozart, ia tidak terlalu yakin. Karena ia sendiri tidak begitu mengerti musik klasik. Walaupun musik ini cukup familier di telinganya.

Kalila keluar dari kamar yang beraroma kayu-kayuan itu. Pencahayaan di luar kamar itu tidak jauh berbeda. Semua tampak temaram dihiasi cahaya yang mengintip kekuningan. Kalila melangkah perlahan menyusuri koridor yang menuntunnya ke sebuah ruangan besar.

Di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada sebuah piano grand hitam mengilap. Sumber dari melodi yang memenuhi udara. Ia terus mendekat dan mendapati seorang lelaki duduk di balik piano itu. Jemari yang ramping menari di atas tuts piano.


Kalila akhirnya ingat. Musik ini sama seperti musik yang mengalun dari dalam kotak musik yang pernah diberikan Diego padanya. Lelaki itu tidak menyadari kehadirannya. Terlalu tenggelam dalam kesedihan yang disuarakan tuts di ujung jarinya. Memainkan nada demi nada  Fur Elise.

Tubuh lelaki itu disinari cahaya hangat dari lampu yang berdiri di samping piano. Ekspresinya begitu rapuh dan kesepian. Dan Kalila mendengarkan dengan terpesona.
***

Entah sudah berapa lama Diego termenung di sofa itu. Ia hanya merebahkan diri setelah memindahkan Kalila ke kamarnya. Mata lelaki itu menatap nyalang pada langit-langit apartemennya. Tidak memedulikan ponselnya yang terus berkedip mengabarkan panggilan masuk.

Tadi itu nyaris saja. Diego hampir saja melakukannya. Bibirnya sudah begitu dekat dengan bibir Kalila. Sedikit lagi dan ia bisa mencecapi bibir yang memabukkan itu. Kalau saja gadis itu tidak jatuh terkulai dan terlelap berbantalkan bahunya.

“Kalila.” Diego meloloskan nama itu dari mulutnya. Seperti berbisik ke udara hampa. Hanya sebuah nama tetapi mengandung banyak makna untuknya. Hanya seorang gadis yang tidak bisa berhenti dipikirkannya. Apa pun wujud perasaan yang ada di hatinya.

Gadis itu masih tetap cantik. Masih mengandung magnet yang mampu menarik perhatian orang di sekelilingnya. Tetapi Diego tidak akan tertipu lagi. Bahkan ia tidak menganggap serius permintaan maaf yang tadi dilontarkan Kalila. Gadis itu licik dan munafik. Bekas luka yang dimiliki Diego adalah bukti nyata keculasan seorang Kalila.

Diego langsung meringis saat ia merasakan luka di kepalanya kembali berdenyut samar. Ini tidak biasanya terjadi. Tidak pernah sebelumnya terjadi sakit di kepalanya kambuh lebih dari tiga kali sehari. Ia mengatur napas perlahan, mencoba agar emosinya tidak meledak dan berakibat buruk.

Jemari Diego meraba bekas luka yang memanjang di atas kepalanya hingga ke dekat telinga kanannya. Beruntung, helai-helai rambutnya mampu menyembunyikan dengan baik. Tetapi ia tidak akan pernah bisa lupa sakit seperti apa yang pernah dirasakannya. Kalila tidak akan bisa lagi mengendalikannya. Sebaliknya, justru ia yang akan mengendalikan gadis itu untuk memenuhi keinginannya.

Diego tidak tahu sejak kapan hari sudah berganti malam. Tetapi ia tidak terlalu memikirkan itu. Lelaki itu beranjak dari sofanya dan melangkah menuju piano yang diletakkan dekat jendela. Mungkin sedikit musik bisa membantunya memperbaiki perasaan.

Benar saja, hanya perlu beberapa detik saja dan Diego sudah tenggelam dalam perasaannya. Melodi-melodi lembut mengalun perlahan. Menyelimutinya dalam sekat tidak kasatmata yang mengasingkannya dari dunia di sekitarnya. Sampai-sampai tidak menyadari seseorang yang tengah terpukau pada permainannya.

“Kau bisa bermain piano?”

Suara yang lembut itu menyapa pendengaran Diego begitu Fur Elise selesai dimainkan. Menyembunyikan rasa kagetnya, Diego lantas mengangkat wajah dan menampilkan seulas senyum.

“Hai. Apa tidurmu nyenyak, Lil Princess?”

“Aku baru tahu kau bisa bermain piano sehebat ini,” sahut Kalila masih terlihat takjub. Gadis itu menumpukan pandangannya pada tuts piano yang tadi disentuh jemari Diego.

“Tidak lagi sehebat itu.” Diego mengusap punggung tangan kirinya. “Malam itu, tanganku juga terluka parah.”

Kening Kalila mengernyit masam bersalut perasaan bersalah. Jantungnya seperti diinjak gajah saat menatap tangan Diego. Tetapi Kalila mengigit bibirnya, mencegah perasaan itu berubah wujud menjadi kata-kata.

“Duduklah di sini,” ujar Diego sambil menggeser duduknya. Memberi ruang untuk Kalila. “Aku akan memainkan satu lagu lagi untukmu.”

Kalila melirik sekilas ke arah tempat di sisi Diego. Tetapi entah mengapa ia merasa ragu untuk duduk di sana. “Omong-omong, kenapa aku bisa ada di sini?”

“Astaga, kau tidak ingat?” tanya Diego tidak percaya. Alis lelaki itu berkerut kecewa. “Sungguh?”

Bingung. Kalila menggelengkan kepala.

“Setelah apa yang kita lakukan tadi?”

Kalila merasakan Diego menatapnya melalui bulu mata tebalnya. Dan entah mengapa suara lelaki itu berubah sedikit sensual. Memang apa yang sudah mereka lakukan? Astaga—oh, tidak! Mana mungkin itu bisa terjadi! Kaki Kalila berjingkat mundur ke belakang. Ia memeluk tubuhnya sendiri seperti ingin menutupi banyak hal. Dan wajahnya memerah karena pikirannya sendiri.

Diego terbahak keras melihat reaksi Kalila. Merasa senang melihat gadis itu masuk dalam perangkapnya. “Tadi kau menangis histeris dan memelukku dengan erat. Tidak ingin aku meninggalkanmu. Bahkan kau berjanji akan melakukan apa pun untukku.”

Samar-samar benaknya menampilkan ingatan seperti yang dikatakan Diego. Tetapi Kalila menolak untuk percaya. Ia menganggap itu hanyalah mimpi yang entah mengapa terasa nyata.

Seharusnya, Kalila pasti akan marah begitu sadar sudah dipermainkan. Tetapi itu tidak dilakukannya. Gadis itu malah tersenyum malu-malu melihat tawa yang dilantunkan Diego. Suasana ini terlalu baik untuk bersikap menyebalkan. Seperti yang dikatakan lelaki itu, mereka harus memperbaiki kembali hubungan yang pernah retak.
***

Seseorang tampak berjalan pelan-pelan melewati koridor lantai tiga sebuah rumah indekos. Matanya tampak awas memerhatikan tiga digit angka yang menempel di bagian atas daun pintu  masing-masing kamar. Rumah indekos ini bisa dikatakan cukup bebas tanpa aturan jam malam dan pengawas yang kelewat mengekang. Masing-masing penghuni indekos memiliki duplikat kunci gerbang dan pintu utama.

Malam ini, suasana tampak lengang. Entah karena banyak yang belum pulang, atau sudah terlelap di kamar masing-masing. Yang jelas ia bersyukur karena semuanya menjadi lebih mudah.

Lengkungan senyum melebar di wajah orang itu. Ia terlalu senang begitu menemukan kamar bernomor 307 yang dicarinya. Pintu kamar itu bercat cokelat gelap sama seperti kamar lainnya. Tetapi entah mengapa mata orang itu berkilat-kilat seolah baru saja menemukan harta karun tersembunyi.

Ia mencoba mengetuk pintu itu perlahan lalu menunggu selama beberapa detik. Tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya penghuni kamar ini sudah tidur atau bahkan belum pulang. Dan untuk memastikannya, ia memasukkan kunci dan memutarnya hingga terdengar bunyi klik. Ia menggenggam gagang pintu sambil menahan napas. Perlahan, ia membuka pintu itu sedikit untuk mengintip. Kamar itu gelap. Tetapi dengan bantuan cahaya dari luar, ia bisa melihat bahwa tidak ada seorang pun di kamar itu. Sepertinya keberuntungan sedang memihaknya kali ini. Kemudian setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang melihatnya, orang itu melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan sangat hati-hati.

Pertama-tama, ia meraba-raba dinding, mencari tombol sakelar lampu. Dan begitu lampu menerangi kamar itu, penglihatannya menatap liar, seolah pemandangan kamar itu bisa menjadi pemuas dahaganya selama ini. Selanjutnya, ia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya yang tersampir di pundaknya, lalu mulai memotret setiap sudut kamar itu.

Penuh semangat, ia bergerak membuka lemari pakaian. Baju-baju yang biasa dikenakan penghuni kamar itu tertumpuk dan tergantung rapi dalam lemari itu. Ia mengambil salah satu parka yang tergantung dan mengenakannya. Seringainya kembali muncul saat melihat pantulan bayangannya di cermin.

Setelah mengembalikan parka ke gantungan di lemari, ia memilih untuk berbaring di atas tempat tidur yang berbalut sprei bernuansa monokrom. Ia membenamkan wajahnya pada bantal yang biasa digunakan pemilik kamar ini. Memuaskan paru-parunya dengan aroma yang disukainya. Berusaha menghibur dirinya sendiri atas penolakan terhadap ajakan makan siangnya.

Orang itu bangkit dan merapikan tempat tidur seperti sedia kala. Ia melanjutkan penjelajahannya dan memotret banyak hal. Jam beker ungu di atas nakas tempat tidur, rak buku di sudut kamar, juga jadwal kuliah di atas meja belajar. Itu tentu akan mempermudah jadwal berkunjung selanjutnya.

Di atas meja rias yang tampak sepi, ia menemukan sebotol parfum. Dengan senyum lebar yang sama sekali tidak surut, ia mengambil botol itu dan membuka tutupnya. Aroma lavendel bercampur vanila menguar cepat memanjakan indra penciumannya. Tidak berhenti sampai di situ, ia bahkan menyemprotkannya ke leher dan berharap aroma tubuh mereka menjadi sama. Ia memotret botol parfum itu, agar tidak kesulitan jika ingin membelinya nanti.

Setelah merasa puas, ia melangkah keluar dari kamar itu tanpa suara. Seringai di wajahnya sama sekali tidak bisa disembunyikan. 
***

“Aku tidak tahu kau bisa memasak,” puji Kalila sambil menumpukan sikunya di atas meja panjang yang langsung tersambung dengan dapur tempat Diego menyibukkan diri. Lelaki itu mengambil beberapa bahan makanan dari kulkas, lalu mencucinya dengan air yang mengucur dari keran.

“Banyak yang tidak kauketahui tentangku, Lil Princess.” Diego berbalik menghadap Kalila. Ia memandang sekilas dari bawah bulu matanya, lalu melempar senyum. Kemudian tangannya sudah sibuk bergerak memotong sayuran di atas talenan, menciptakan ketukan teratur.

“Memang apa lagi yang tidak kuketahui?”

Diego memilih untuk tidak langsung menjawab. Menikmati tatapan Kalila ke arahnya, sementara ia tetap melanjutkan pekerjaan dapurnya. Setelah memindahkan potongan-potongan wortel dan buncis ke mangkuk masing-masing, ia baru mengangkat wajah menatap langsung kepada Kalila. “Kenapa tidak coba mencari tahu sendiri? Aku tidak keberatan kaujelajahi.”

Entah mengapa, kedua pipi Kalila bersemu merah mendengar kalimat itu. Apa lelaki itu memintanya untuk menjelajahi apartemen ini sendirian? Mana mungkin, kan? Ia tidak bisa bersikap lancang seperti itu. Ataukah ia harus menjelajahi yang lain

“Kau bisa membaca buku jika merasa bosan. Ada beberapa koleksi bukuku di rak,” ucap Diego memutus pikiran Kalila. Lelaki itu tampak mengulum senyum geli yang sulit dimengerti Kalila.

Kalila sudah melihat rak besar yang menyimpan banyak buku di dekat ruang tamu. Kumpulan buku itu benar-benar membuatnya iri. Jauh berbeda dengan rak kecil di sudut kamar indekosnya. Tetapi kali ini, ia merasa buku tidak jauh lebih menarik daripada lelaki di hadapannya.

“Mungkin nanti. Sekarang aku lebih baik di sini saja.”

Sepasang mata Diego memandang jauh ke dalam mata Kalila. Seolah lelaki itu mampu melihat jelas pikiran lawan bicaranya. “Jadi, sekarang kau lebih suka membaca aku?”

Alis Kalila mengernyit bingung. Mengapa lelaki ini seperti hendak menjadikan dirinya sebagai objek dari setiap kegiatan yang dilakukan Kalila?

“Kau akan memasak apa?” tanya Kalila mengalihkan pembicaraan.

Diego menggidikkan bahu. “Sup ikan.”

Kalila memiringkan kepalanya. “Kenapa harus sup?”

“Tenang saja,” ucap Diego berusaha meredam tatapan ragu-ragu yang tertuju padanya. “Masakanku pasti jauh lebih baik daripada masakan koki yang memberimu wine dan membuatmu mabuk.”

Kalila mengernyit masam mengingat hal itu. Bagaimana bisa dengan bodohnya ia memesan minuman seperti itu? Apa karena embel-embel ‘gratis’ yang dibisikan chef tampan itu?

“Seburuk apa aku ketika mabuk?” tanya Kalila sambil menggigit bibir bawahnya. Bingung harus menuruti perasaan malu atau rasa ingin tahunya.

“Sangat buruk,” jawab Diego tegas. Lelaki itu bahkan berhenti melakukan kegiatan memasaknya dan memusatkan perhatian sepenuhnya kepada Kalila. “Jangan berani-beraninya kau mabuk lagi. Apalagi jika kau sedang tidak bersama denganku.”

Bibir Kalila mencebik. “Memang kenapa?”

“Kau mau mencium sembarang lelaki di luar sana ketika mabuk?”

Kedua mata Kalila terbelalak seolah Diego baru saja menyiramnya dengan seember air dingin. Jemarinya menyentuh bibirnya dengan perasaan tidak percaya. “M-mana mungkin aku mencium... mu?”

Tetapi Diego hanya menghela napas berat. Sama sekali tidak berniat memberikan jawaban pasti kepada Kalila. Sekarang lelaki itu malah berbalik menghadap kompor, memasukkan potongan sayur dalam larutan kaldu di panci. Seolah sengaja membiarkan Kalila sibuk menduga-duga dalam ingatan samarnya.

Astaga, apa yang sudah ia lakukan? Mencium lelaki ketika sedang mabuk bukanlah kebiasaan Kalila. Apalagi ia tidak bisa mengingat apa pun dari insiden tersebut. Bahkan ia tidak berani membayangkan apa yang dipikirkan Diego tentang dirinya. Beruntung, lelaki itu sedang berdiri memunggunginya sehingga ia tidak perlu melihat wajah Kalila yang berubah serupa warna tomat di atas meja.

Diam-diam, Kalila memerhatikan sosok Diego. Ia tidak menyangka bahwa pubertas bisa mengubah banyak hal dari seseorang. Matanya menelusuri lekukan sempurna torso berbalut kaus hitam yang terhidang di hadapannya. Bahu tegap dan punggung yang gagah. Lengan yang bergerak tangkas di antara peralatan dapur. Membuat Kalila tanpa sadar menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri agar tidak berlari dan menghambur dalam pelukan lelaki itu.

Saat itulah, tanpa diduga Kalila, tiba-tiba Diego berbalik menghadap ke arahnya. Dan langsung menangkap basah wajahnya yang menatap penuh minat. Kalila tidak sempat mengubah ekspresinya saat seulas senyum pongah menarik sudut bibir lelaki itu.

“Senang dengan apa yang kau lihat, Lil Princess?” sindirnya sekilas. Kemudian lelaki itu sudah berbalik cepat dan kembali ke hadapan Kalila dengan semangkuk sup yang mengepul hangat. Lelaki itu meletakkan sendok ke samping mangkuk, diikuti secangkir teh jahe yang memanjakan indra penciuman Kalila.

Cepat-cepat Kalila menatap senang pada hidangan di atas meja. Berharap Diego akan berpikir bahwa tadi ia berwajah seperti itu karena lapar akan masakan beraroma menggoda ini. Tetapi sepertinya sia-sia saja. Lelaki itu malah menampilkan senyum congkak yang membuat Kalila tanpa sadar menahan napas.

Diego berbalik untuk mencuci peralatan masak yang baru saja digunakannya. Dan menampilkan profil sosoknya ke dalam area pandang Kalila. Hingga membuat gerakan tangan gadis itu terhenti sebelum menyentuh sendok.

“Apa besok kau ada kuliah pagi?” tanya Diego sambil menoleh sekilas ke arah Kalila.

Kalila memiringkan kepalanya mengingat-ingat jadwal kuliahnya. Tiga detik kemudian gadis itu sudah memberi jawaban lewat gelengan kepala. “Tidak ada,” jawabnya kemudian saat menyadari Diego tidak bisa melihatnya saat ini. “Hanya ada satu kuliah jam satu siang. Memang kenapa?”

“Baguslah kalau begitu,” ujar Diego sambil mematikan keran air. Ia mengeringkan tangannya dengan lap bermotif kotak-kotak, sambil berjalan menghadap Kalila yang menatapnya bingung. Ia tersenyum miring yang menyimpan banyak arti. “Berarti kita bisa menghabiskan waktu bersama sampai pagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D