Kamis, 21 Juli 2016

Purple Maple (Sembilan)


KALILA melangkah memasuki area kampus dengan earphone yang menyumbat telinga, melantunkan musik-musik penuh semangat. Beberapa kali ia hampir tidak kuasa menahan diri untuk tidak menggerakkan tubuhnya. Ia ingin menarikan suasana hatinya yang saat ini sangat bertolak belakang dengan langit mendung di atas sana.

Mungkin saja itu adalah efek dari telepon dari Diego yang menderingkan ponselnya pagi ini. Lelaki itu mengajaknya pergi makan siang lagi hari ini. Kalila sudah mencoba menolak. Tetapi lelaki itu lagi-lagi mengingatkan janji Kalila untuk melakukan-apa-pun-demi-menebus-perasaan-bersalahnya. Jadi, yah, apa oleh buat. Ia tidak punya pilihan lain selain setuju, kan?

“Pagi, Kal,” sapa Erin sambil menyejajarkan langkahnya dengan Kalila.

“Pagi,” Kalila balas menyapa sambil melepas earphone-nya. Senyum lebar terlihat jelas di wajahnya. Tidak ada bayang-bayang topi yang menutupi sebagian wajahnya. Hari ini ia memilih untuk mengenakan sweter rajutan bertudung untuk membungkus sebagian kepalanya. “Oh, ya, sekali lagi aku minta maaf karena pulang lebih dulu. Lelaki itu tidak melakukan hal buruk padamu, kan?”  

Erin bisa melihat raut sesal dan khawatir berkelebat di sepasang mata cokelat terang itu. Tetapi ia tidak peduli dan hanya menggeleng. “Dia hanya semacam bajingan pengecut,” katanya sambil tertawa kecil.

“Syukurlah,” ucap Kalila sambil ikut tertawa. Ia lega semuanya baik-baik saja. Bagaimanapun, gadis ini sudah melindunginya kemarin. Jadi, seharusnya bisa dipastikan Erin juga bisa menjaga dirinya sendiri. “Kau juga ada kuliah pagi?”

Erin menggeleng. Anting dengan hiasan berbentuk bintang yang menyembul keluar dari sela-sela rambutnya yang dicat cokelat ikut bergoyang. “Aku juga mau ke kelasmu dan mengantarkan ini untuk Elliot,” jawabnya sambil mengangkat sebuah tas kecil berwarna biru serupa rok biku-biku yang dikenakan gadis itu.

Kalila tersenyum senang hingga menyentuh matanya. “Wah, kau pacar yang sangat perhatian rupanya.”

Alis Erin terangkat. Apa Kalila bermaksud menyindirnya? Hubungannya dengan Elliot terus saja jalan di tempat karena gadis ini tidak menyukai kedekatan mereka. Dasar hipokrit!

“Pagi, teman-teman,” sapa seseorang yang bergabung bersama mereka saat hendak menaiki tangga menuju lantai dua.

“Pagi, Val,” balas Kalila dan Erin nyaris bersamaan. Mereka menoleh dan mendapati Valeria tersenyum ramah. Sebuah jepit berhiaskan bunga krisan bertengger di kepalanya.

Erin bersiul samar. “Rambut baru, Val?”

Valeria tampak tersipu sambil memainkan ujung rambut berpotongan bob-nya. “Iya. Aku memotongnya sedikit. Cocok atau tidak?”

“Cocok, cocok. Kau terlihat lebih segar,” puji Erin  lantas menepuk bahu Kalila yang berjalan di tengah. “Iya, kan, Kal?”

Kalila mengerjap sekali, melenyapkan kerutan di antara alisnya. Ia mengangguk setuju pada pendapat Erin. Ia masih tertegun pada sesuatu yang mengusiknya. Hanya perasaannya saja atau parka biru dongker yang dikenakan Valeria memang mirip dengan miliknya yang berwarna terakota?

Valeria tersenyum simpul. “Sudah lama, ya, kita tidak pernah berkumpul bertiga seperti ini?”

Kepala Erin menganggut-anggut setuju. “Benar, benar. Apa kita perlu menjadwalkan makan siang bertiga hari ini?”

“Ide bagus,” sahut Valeria setuju.

“Oh, sepertinya aku tidak bisa. Aku sudah telanjur membuat janji lain,” tolak Kalila sambil meringis masam.

“Wah, sayang sekali,” desah Valeria kecewa.

“Tenang, tenang. Kita bisa pergi lain kali,” ucap Erin lantas tertawa menenangkan. “Kau ada jadwal kuliah pagi juga, Val?”

“Eh? Oh, tidak. Aku akan ke... perpustakaan,” jawab Valeria sedikit tergugu.

Kening Kalila mengernyit. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh tepat. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum kuliah dimulai. “Tapi perpustakaan masih tutup jam segini.”

“T-tidak apa-apa, aku akan menunggu,” jawab Valeria lantas tersenyum rikuh. Kemudian punggungnya menegak ketika teringat sesuatu dan langsung merogoh tasnya. “Kal, aku ingin mengembalikan ini.”

Kalila menatap tangan Valeria yang terulur padanya. Tangan itu menggenggam topi yang sejenis dengan topi yang biasa dikenakan pemain bisbol. Ia menerima kembali benda itu. Topi miliknya yang pernah dibawa oleh Valeria tempo hari.

“Terima kasih, Val,” ujar Kalila sambil tersenyum.

Valeria menatap heran hingga kedua alisnya terangkat. “Kau tidak marah padaku, Kal?”

Kening Kalila berkerut bingung. Ia menoleh sekilas meminta petunjuk dari Erin. Tetapi gadis itu hanya mengangkat bahu dan menggeleng. “Kenapa harus marah?” tanyanya kemudian.

Yah, kupikir kau akan marah karena aku merebut topimu waktu itu,” jawab Valeria lirih.

Kalila menepuk akrab bahu Valeria seraya tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Lagi pula kau sudah mengembalikannya,” tukas Kalila lantas mengangkat topinya. “Sudah, ya. Aku ke kelas dulu.”

Valeria hanya mengangguk patuh. Ia menatap Kalila dan Erin yang berjalan menjauh ke arah koridor yang berlawan arah dengan tujuannya. Sementara jemarinya perlahan bergerak dan menyentuh bahunya yang tadi ditepuk Kalila.  
***

Elliot sedang berdiri di dekat jendela kelas yang mengarah langsung pada taman kampus di bawah sana. Ia memerhatikan suasana yang cukup lengang pagi ini. Titik-titik embun yang menggantung pada dedaunan membantu ia untuk bernapas sedikit lebih lega. Lalu, seolah memiliki radar di atas kepalanya, ia menoleh bersamaan dengan Kalila yang memasuki kelas.

Elliot berputar untuk langsung menyambut Kalila. Tidak lupa, ia memasang senyum terbaiknya pagi ini. “Pagi, Kal.”

“Pagi,” sahut Kalila seraya membalas senyum Elliot.

“Itu... aku sudah menyiapkan tempat duduk untukmu,” kata Elliot sambil menunjuk kursi di baris ketiga yang selalu menjadi posisi teraman. Tidak terlalu di belakang hingga dikira bermalas-malasan, tetapi juga tidak terlalu di depan hingga harus selalu menjadi sasaran dosen.

Kalila melirik sekilas pada tempat yang ditunjuk Elliot. Tas lelaki itu tergeletak di atas salah satu meja yang bersisian.

“Terima kasih, tapi aku ingin duduk di depan hari ini,” elak Kalila lantas menempati kursi yang paling dekat dengan meja dosen. “Omong-omong, ada yang menunggumu di luar.”

Kening Elliot mengernyit. “Siapa?”

“Temui saja langsung,” jawab Kalila sambil menggerakkan dagu untuk menunjuk ke arah pintu kelas yang terbuka. Bibir gadis itu mengulum senyum simpul.

Elliot menurut. Ia melangkahkan kaki ke luar kelas dan langsung mendapati Erin yang bersandar pada dinding koridor. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.   

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Elliot begitu mereka berdiri berhadapan.

Erin mengangkat tas berisi kotak bekal yang dibawanya. “Aku ingin mengantarkan sarapan untukmu.”

Elliot menatap tas itu lantas tersipu, mengundang senyum lebar di wajah Erin. Hingga tiba-tiba saja lelaki itu menarik lengannya menuju ujung koridor dan berbelok pada tangga darurat.

“Kau tadi datang bersama Kal?”

Erin mengangguk membenarkan fakta yang ditanyakan Elliot.

“Sudah kubilang, kan, jangan terlihat terlalu dekat denganku kalau ada dia

“Memang kenapa?” potong Erin cepat. “Apa pentingnya sih perasaan Kal untukmu?”

Elliot menghela napas lalu mengembuskannya kuat. “Bukan perasaan Kal yang kupikirkan, tapi perasaanmu. Aku tidak ingin merusak pertemanan kalian.”

Mata Erin memicing sangsi mendengar suara Elliot yang hanya terdengar seperti basa-basi. “Kau bohong!” dakwa Erin sambil menatap kedua mata yang dipujanya itu. “Kal bukan temanku. Dan sebaiknya kau mengaku saja jika memang menyukai Kal. Jangan berputar-putar seperti ini.”

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”

“Kau menyukai Kal. Itu yang kulihat selama ini.” Erin menyilangkan tangannya di depan dada. Ia melempar pandangannya sejenak ke arah lain sebelum kembali menatap kedua mata Elliot. “Tapi sebaiknya kau menyerah. Kal sudah punya pacar.”

Alis Elliot terangkat, merasa tertarik dengan informasi yang baru didengarnya. “Pacar? Siapa?” desisnya sambil berharap Erin sedang berbohong. Karena jika itu memang benar, berarti kesempatannya untuk mendekati Kalila akan tertutup.

Erin menunduk ragu menatap kukunya yang dicat serupa warna langit. Mungkin bisa dikatakan ini adalah pengkhianatannya kepada Lory. Tetapi mulut Erin sudah tidak bisa dihentikan. Lagi pula mereka berdua memang tidak pernah bersumpah setia sehidup semati.

“Siapa, Erin?” tanya Elliot lagi karena gadis di hadapannya masih bergeming.

Tidak ada jalan lain. Ini satu-satunya bidak yang harus digerakkan Erin untuk membuat Elliot menyerah dan berpaling padanya. Ia akan menyebutkan nama cecunguk yang dicintai Lory itu kepada Elliot.

“Diego. Namanya Diego.”
***

Tidak semudah itu Elliot memercayai kata-kata Erin.

Maka, setelah kuliah pertama selesai, Elliot memilih untuk tidak terlalu menempel pada Kalila. Ia membiarkan Kalila bergerak bebas. Tetapi ia tetap berada cukup dekat untuk memerhatikan gadis itu.

Tidak ada yang istimewa dari aktivitas Kalila. Ia pergi membeli kopi, meminjam buku di perpustakaan, dan duduk menghabiskan waktu di taman kampus tanpa lelaki mana pun yang bisa dicurigai sebagai pacarnya. Gadis itu juga menjawab panggilan di ponselnya dengan wajar. Tanpa kata-kata mesra atau sikap sok manis yang memuakkan.

Hingga tiba-tiba saja Kalila bangkit dari kursi taman dan berjalan menuju sebuah mobil hitam yang baru saja berhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap keluar dari mobil itu lalu saling melempar senyum dengan Kalila. Lelaki itu bergerak memutar dan membukakan pintu untuk Kalila.

Tanpa menunggu lama, Elliot bergerak dari balik pintu kaca gelap yang menjadi persembunyiannya. Ia bergegas menuju mobilnya di tempat parkir, berniat mengikuti mobil itu.

Ternyata lelaki itu tidak membawa Kalila pergi terlalu jauh. Mobil sedan sport itu berhenti di area parkir sebuah kafe bernuansa pelangi. Elliot memilih untuk menghentikan mobil di seberang jalan untuk memerhatikan. Kalila dan lelaki itu memilih duduk di teras kafe yang diteduhkan kanopi warna-warni. Dari dalam mobilnya, Elliot bisa melihat mereka berdua tampak asyik berbincang dan tertawa.

Elliot mencengkeram roda kemudinya untuk menyalurkan emosi negatifnya. Bagaimana bisa ia kecolongan seperti ini? Ini tidak boleh dibiarkan!

Sekali lagi, Elliot melempar tatapannya pada Kalila yang tersenyum pada pramusaji yang mengantarkan buku menu ke meja mereka. Kemudian ia memutar kuncinya dengan kasar lalu menjalankan mobil yang mesinnya meraung.
***

Bunyi decitan mobil yang lewat di depan kafe langsung menarik perhatian para pengunjung. Termasuk Diego dan Kalila. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, menyayangkan sikap ugal-ugalan pengemudi hatchback berwarna silver stone itu. Seharusnya orang-orang menjalani tes psikologi terlebih dahulu sebelum mendapat surat izin mengemudi.

“Apa kau kenal orang itu, Lil Princess?”

“Siapa?” Kalila balas bertanya tanpa mengalihkan perhatian dari buku menu.

“Lelaki yang mengendarai mobil tadi.”

Kening Kalila mengernyit saat benaknya mencari sosok yang familier dengan mobil itu dalam benaknya. Tetapi kemudian, ia menggeleng untuk menjawab Diego.

“Memang kau tidak pernah melihat mobil seperti itu di area parkir fakultasmu?”

“Entahlah.” Kalila menggidikkan bahu. “Aku tidak pernah naik mobil ke kampus. Jadi, jarang bertemu seseorang di area parkir. Memang kenapa, sih?”

“Tidak apa-apa.” Diego menggeleng. “Kukira dia temanmu. Karena cara menyetirnya sama buruknya denganmu.”

“Apa maksudmu?” Kalila mengangkat satu alisnya karena tersinggung. “Aku tidak pernah menyetir hingga membuat ban berdecit seperti itu.”

Diego menumpukan sikunya pada meja, memandang kekesalan yang berkelebat di mata cokelat terang itu. Sepasang mata yang semakin hari semakin ekspresif. Seperti diri gadis itu tiga tahun lampau.

“Memang tidak pernah,” aku Diego membenarkan. “Tapi kau selalu membuat mobil melompat pada gerakan pertama.”

Kalila tergeragap. Alisnya mengernyit kesal. “Itu kan... karena kau terus-terusan membuatku kesal. Seperti sekarang!”

“Kalau begitu, lain kali jangan membuat mobil melompat saat sedang kesal. Kau saja yang melompat padaku.” Diego menyeringai jenaka sambil membuka lebar kedua lengannya. “Aku akan selalu siap menangkapmu.”

Kalila melipat lengannnya di atas meja. Senyum manis terlukis di bibir gadis itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Diego yang duduk di hadapannya. “Dalam mimpimu!” ucapnya tajam dengan mata yang memelotot. Senyum palsunya beberapa detik lalu juga  lenyap.

Diego terkekeh geli mendapat tanggapan seperti itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kalila begitu mudah digoda seperti ini. Kalau tahu begini, seharusnya ia melakukannya sejak dahulu.

Bibir Kalila mencebik setiap kali derai tawa Diego membelai telinganya. Bagaimana lelaki ini bisa begitu tidak berperasaan? Apa Diego tidak mengerti jika setiap gurauannya selalu menghadirkan debaran samar yang mengguncang rongga dada Kalila?

Merasa jengah, Kalila bangkit dengan cepat. Terdengar bunyi berderak saat ia mendorong kursi dengan bagian belakang lututnya. Diikuti lenyapnya suara tawa Diego.

“Hei, jangan pergi, Lil Princess!” cegah Diego panik dan langsung mengundang senyum samar berkedut di bibir Kalila.

“Bukan urusanmu! Dan berhenti memanggilku seperti itu!” balas Kalila galak.

“Tapi kau belum menyebutkan pesananmu.”
***

“Sial. Kenapa tadi kita ke kafe ini, sih?” Lory bersungut-sungut. Ia mengacak-acak Rainbow Cake di hadapannya seolah kue itu sudah melakukan kesalahan yang membuat ia kehilangan minat.

Jenna tertawa kecil lalu menyesap teh lemon hangatnya. “Aku tidak menyangka. Ada juga lelaki yang tidak bisa kau taklukkan.”

“Apa maksudmu, huh?” Lory mencebik kesal. Ia setengah membanting garpunya ke atas piring hingga terdengar bunyi berdenting. Komentar yang dilontarkan Jenna malah membuat hatinya semakin panas.

“Kau kesal karena pemandangan di teras kafe, kan?” tebak Jenna sambil menunjuk ke dinding kaca yang menampilkan bagian luar kafe. Pemandangan yang dimaksud Jenna tampak sangat jelas dari tempat duduk mereka di tengah bangunan kafe.

“Tidak,” elak Lory tanpa merepotkan diri menoleh pada arah yang ditunjuk Jenna. “Kue ini rasanya mengerikan.”

Jenna menahan gelaknya atas kebohongan Lory. Itu Rainbow Cake khas Rainbow Cafe yang selalu berhasil menggagalkan diet Lory. Memang semengerikan apa rasanya sekarang hingga membuat gadis itu cemberut begitu?

Sengaja, Jenna menyenggol lengan Sharon dengan sikunya. Tetapi gadis di sampingnya itu bergeming. Matanya seolah terkunci pada sosok pasangan yang menghancurkan mood baik Lory siang ini.

Tiba-tiba saja gadis bersweter salem itu bangkit dari duduknya. Tampak ada sedikit perdebatan kecil dengan lelaki yang duduk bersamanya. Tetapi kemudian gadis itu berbalik melangkah memasuki kafe.

Saat itulah, Sharon menyentuh tangan Lory di atas meja. Begitu matanya bersitatap dengan sepasang mata Lory yang bertanya, ia hanya menjawab dengan lirikan mata yang maknanya langsung dimengerti Lory.
***

Kendalikan dirimu, Kalila!

Kalila menepuk-nepuk kedua pipinya seolah ingin membantu dirinya sendiri agar tersadar. Ia tidak boleh terus-terusan seperti ini. Terus-terusan mudah terpancing oleh semua gurauan Diego. Atau ada baiknya setelah ini ia menyarankan mereka untuk bertemu di perpustakaan saja? Seperti tiga tahun yang lalu. Mungkin dengan begitu, lelaki itu akan lebih jinak dan mudah dihadapi.

Terdengar suara pintu terbuka saat Kalila membungkuk dan menyalakan keran wastafel dan membasuh tangannya. Melalui ekor mata, entah mengapa ia merasa seseorang yang baru masuk itu sengaja berdiri mengintimidasi di dekatnya. Ia memilih untuk tetap menunduk pura-pura tidak mengerti. Atau berharap tatapan tajam itu bukan ditujukan untuknya. Walaupun nyatanya, hanya ada mereka berdua di sini.


“Sekarang mengaku saja kalau kau tertarik pada Diego.”

Kalila menoleh sekilas ketika mendengar nama Diego disebut. Tetapi sedetik kemudian ia malah mengeringkan tangannya di bawah uap panas yang berembus secara otomatis. Sama sekali tidak memedulikan gadis loudspeaker yang bersandar pada dinding toilet sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Hei, aku bicara padamu!” Gadis pirang palsu itu menyentak kasar bahu Kalila hingga kini mereka berdiri berhadapan. “Jadi benar, kan, kau tertarik pada Diegoku?”

“Apa maksudmu?” sahut Kalila sambil ikut menyilangkan tangannya defensif.

“Aku lihat akhir-akhir ini kau sering bersama Diego. Sejujurnya ada hubungan apa di antara kalian?”

“Apa pun hubungan kami, kurasa aku tidak harus menjelaskan padamu.”

“Jangan membuatku kesal, ya.” Suara gadis itu sarat akan ancaman. “Aku paling tidak suka dengan Kancil genit sepertimu yang senang merayu pacar orang.”

“Tunggu.” Kalila mengangkat telapak tangannya ke depan wajah gadis yang tiba-tiba melabraknya itu. “Apa kau yang bernama Lory?”

Sesaat kening gadis itu tampak berkerut bingung. Mungkin ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kalila memiliki sedikit informasi tentang dirinya.

“Ya,” jawabnya angkuh. Seolah sudah sewajarnya jika semua orang mengenalnya. “Dari mana kau tahu?”

“Oh.” Bibir Kalila membulat konklusif. “Diego yang mengatakannya padaku dan dia bilang tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian.”

Ekspresi Lory mengeras. Otaknya seolah membeku di ujung kalimat Kalila. “Itu hanya karena dia malu.”

“Maksudmu, dia malu punya pacar sepertimu?”

Lory mengerjap beberapa kali. Mulutnya ternganga menerima serangan balasan yang tidak terduga. “Lupakan saja. Memang kau sendiri punya hubungan apa dengan Diego?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Kalila enteng.

“Kalau begitu jangan dekat-dekat lagi dengan Diego.”

Kalila mendengus geli. “Kalau untuk itu, bilang saja langsung pada orangnya. Karena selama ini dia yang selalu mendekatiku lebih dulu.”

“Jangan sombong dulu, ya.” Lory memperingatkan Kalila sambil mengangkat telunjuknya. “Apa menurutmu Diego yang menyukaimu? Diego memang baik pada semua orang. Jadi jangan salah paham.”

“Mungkin saja kau yang salah paham pada sikap baik Diego,” sahut Kalila sambil menyurukkan kedua tangan ke dalam saku sweternya.

Rasanya Lory selalu mati kata jika berhadapan dengan gadis ini. Tetapi ia tidak boleh kalah. Waktunya tidak tepat untuk itu.

“Apa kau menyukai Diego?” 

Kalila menatap tajam pada Lory. Ia mencoba menerka apa maksud dari pertanyaan yang dilontarkan padanya itu. Tetapi kemudian ia sadar. Untuk apa ia menjawab jujur tentang perasaannya pada gadis loudspearker di hadapannya? 

Maka, Kalila memilih untuk menggeleng dengan tegas.

Seringai kemenangan mulai berkedut di ujung bibir Lory. “Baguslah kalau kau tidak menyukai Diego. Jadi, menjauhlah.”

“Tidak mau.”

“Huh?”

“Aku tidak mau menjauhi Diego hanya karena orang sepertimu. Aku hanya akan menjauh ketika aku ingin menjauh atau Diego sendiri yang memintaku untuk menjauh. Yang jelas, keputusan bukan di tanganmu.”

Urat kekesalan mencuat jelas di kening Lory. Tetapi ia harus bisa mengendalikan diri di tempat seperti ini. “Menjauhlah. Selagi aku masih meminta baik-baik,” ucapnya dengan rahang terkatup rapat.

“Berhenti bersikap pengecut seperti ini.” Kalila melangkah maju dan berdiri bersisian dengan Lory hingga bahu kiri mereka bertemu. “Kalau memang merasa mampu, taklukkan hati Diego dan bawa dia menjauh dariku.”

Setelah berkata begitu, Kalila membuka pintu dan meninggalkan Lory yang terpaku. Benar-benar keterlaluan! Bagaimanapun gadis itu harus mendapat ganjarannya.
***

“Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

Kalila tersentak samar dan menolehkan kepalanya. “Hem?”

Diego mengangkat alis lalu kembali berkonsentrasi menjalankan mobilnya menuju indekos Kalila. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyanya sekali lagi.

Kalila mengangkat bahu. “Tidak ada.”

“Kalau begitu kenapa kau tidak mendengarkanku sejak tadi?” tuduh Diego. “Apa kau bertemu seseorang yang lebih menarik dariku di kafe?”

Tentu saja Kalila bertemu seseorang tadi. Tetapi itu sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkan Diego. Diam-diam, ia memandang wajah Diego dari samping. Sedikit-banyak ia mencoba mencari kebenaran tentang perkataan lelaki itu tempo hari. Atau haruskah ia bertanya sekali lagi?

Sedetik kemudian, Kalila sudah menggeleng kuat untuk mengusir keraguaannya. “Memang tadi apa yang kau katakan?”

Diego menoleh sekilas dengan alis berkerut. Kemudian ia berkata dengan nada enggan. “Kubilang, aku tidak sabar menunggu akhir pekan ini untuk mengajakmu makan malam. Bagaimana kalau malam ini?”

Belum sempat Kalila menyuarakan jawabannya, Diego sudah menyambung kembali kalimatnya.

“Tapi tadi kulihat sepertinya kau tidak tertarik dengan ajakanku, jadi mungkin lebih baik kubatalkan saja.”

Kalila tertawa kecil mendengar Diego merajuk. “Malam ini juga tidak apa-apa. Untuk apa menunggu akhir pekan?”

Diego mengerjap bingung. “Apa kau lupa? Akhir pekan ini, kan, ulang tahunmu.”

“Ah, benar juga,” ujar Kalila lantas tertawa. Bagaimana bisa ia lupa? “Jadi, jam berapa kau akan menjemputku nanti?”

“Jam setengah lima,” jawab Diego sambil menghentikan mobilnya di depan rumah indekos yang ditinggali Kalila. “ Jadi, aku bisa bersiap setelah kuliahku selesai jam tiga.”

Kalila melirik jam tangannya. Setidaknya tersisa tiga jam untuknya mempersiapkan diri. Ia mengangguk setuju yang langsung membuat Diego tidak bisa menahan senyumnya.

“Oh, iya,” ucap Kalila sambil melepas sabuk pengamannya. “Apa benar kau tidak berniat balas dendam padaku?”

Diego menyeringai geli mendengar pertanyaan yang tiba-tiba muncul kembali dari bibir gadis itu. “Kalau kau memang mengharapkan aku membalas dendam, maka aku akan melakukannya dengan sesuatu yang tidak akan terpikirkan olehmu,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D