Senin, 27 Maret 2017

Purple Maple (Dua belas)


LANGIT di hari Jumat ini berwarna biru terang. Hanya sedikit gumpalan awan yang mengapung di atas sana seperti gulali tipis. Tidak cukup banyak untuk menghalangi sinar matahari yang juga tidak terlalu terik.

Tidak seperti biasanya, hari ini Kalila datang mengendarai mobilnya. Ia akan pergi ke pusat perbelanjaan seusai kuliahnya hari ini. Sepertinya ia membutuhkan beberapa potong pakaian untuk menunjang penampilannya. Karena besok ia akan bertemu dengan Diego. Tepat di hari ulang tahunnya. Sesuai janjinya tempo hari.

Setelah menutup pintu mobilnya, Kalila menekan tombol pada kunci mobil yang digenggamnya. Membuat kendaraan berwarna kecubung itu berbunyi tanda pintunya sudah terkunci.

Sekitar dua atau tiga langkah meninggalkan mobilnya, ia berpapasan dengan Erin yang terlihat berbeda hari ini. Kedua matanya tampak sembab. Dan juga penampilannya yang didominasi warna abu-abu. Kecuali antingnya yang berbentuk bintang. Warnanya serupa langit siang ini.

Mengabaikan itu semua, Kalila lantas memasang senyum dan tangannya melambai ringan.

“Hai, Erin.”

“Hai, Kal,” balas Erin sambil memaksakan semangat dalam suaranya. Kemarin ia bertengkar hebat dengan Elliot. Dan setelah menangis sepanjang malam, ia menyadari kesalahannya. Elliot benar. Ia tidak berhak—belum berhak—ikut campur apa pun yang menjadi urusan lelaki itu. Jadi, ia berniat menemui Elliot untuk meminta maaf.

Elliot dan Kalila memang memiliki jadwal kuliah yang sama. Erin tahu itu. Ia tahu segala hal tentang Elliot. Tetapi kenapa ia harus bertemu Kalila dalam penampilan seburuk ini? Apalagi gadis itu tampak menawan dengan coat panjang berwarna abu-abu. Senada dengan warna  penampilannya sendiri. Tetapi entah mengapa, Kalila terlihat sempurna.

Ah, benar juga. Pantas saja Elliot lebih tertarik pada

“Tumben kau lewat jalan ini,” sambung Erin cepat. Sekaligus untuk menghentikan pikiran buruknya. Sebelum ia benar-benar kehilangan kadar kepercayaan dirinya yang sudah menipis.

“Hari ini aku bawa mobil,” ucap Kalila sambil menunjuk melewati bahunya.

Erin mengikuti arah yang ditunjuk Kalila. Sebuah mobil mungil yang tampak sederhana. Tetapi ia tahu benar bahwa harga mobil itu tidak sesederhana penampilannya. Dan sepertinya itu edisi terbatas yang hanya diproduksi sebanyak 77 unit di dunia.

“Oh, kukira kau tidak bisa menyetir.”

Kalila tertawa kecil. “Biasanya aku malas bawa mobil. Sulit mencari tempat parkir.”

Terpaksa, Erin ikut tertawa. “Ya, ya. Kau benar.”

“Kalau begitu, aku ke kelas dulu, ya,” pamit Kalila sambil mulai kembali mengambil langkah.

“Oke, oke. Selamat kuliah, Kal.”

“Terima kasih,” balas Kalila sambil tersenyum.

Setelah Kalila pergi, Erin masih tertegun. Cantik, pintar, dan kaya raya.  Jika melihat Kalila, rasanya segala hal membanggakan yang dimiliki Erin menjadi tidak berarti apa-apa. Siapa yang bisa menandingi gadis itu? Ia dan juga Lory tidak akan sebanding dengan Kalila. Kecuali kalau gadis musim gugur itu lenyap.

Erin masih tenggelam dalam pikirannya. Hingga ia melihat seseorang turun dari mobil berwarna silver stone.
***

Wow.
Ia berdecak kagum saat melihat salah satu mobil yang terparkir di sana. Mobil itu memiliki bentuk yang tidak pasaran. Sehingga langsung bisa menarik perhatian di antara jajaran mobil lainnya. Tanpa harus bersusah payah untuk tampil mencolok.
Tempat parkir fakultas dipadati berbagai jenis mobil. Tetapi sepi dari sebagian besar mahasiswa yang saat ini sedang menempuh kuliah di jam siang ini. Ia sudah memperhitungkan itu. Dari balik salah satu mobil berwarna hitam, ia bersembunyi untuk mengamati. Bahkan lengannya yang membawa kamera teracung, membidik pada mobil yang dikaguminya. Mobil itu milik Kalila, tentu saja. Ia mengambil beberapa kali jepretan. Kalau sudah seperti ini, ia benar-benar merasa seperti stalker.
Ia mungkin saja mampu membeli ponsel seperti milik Kalila. Sedangkan mobil... rasanya sedikit mustahil. Kalila benar-benar seperti tokoh dalam negeri dongeng yang selalu diimpikan oleh gadis di dunia nyata. Tetapi setidaknya ia bisa memiliki foto mobil itu. Sambil berandai-andai suatu hari nanti bisa memilikinya.
Tepat saat itulah seseorang memasuki area bingkai bidikannya.
Ia merundukkan tubuhnya, menyembunyikan lebih banyak sosoknya. Tetapi ia masih mengintip melalui lensa kamera sakunya di antara celah mobil yang bersisian. Apalagi tadi ia memang sudah mengambil posisi paling pas. Cukup jauh untuk bersembunyi. Sekaligus cukup dekat untuk memerhatikan.
Keningnya mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat orang itu sebelumnya.

Oh, bukankah itu orang yang pernah dilihatnya bersama Kalila?

Orang itu tampak gelisah sekaligus waspada. Beberapa kali ia menoleh ke sekeliling. Seolah takut ada yang mengikuti atau mengawasinya.

Kedua tangan orang itu yang dibalut sarung tangan menyentuh kap mobil Kalila. Perlahan, sambil tetap memerhatikan sekitarnya. Hingga akhirnya ia tiba di samping pintu pengemudi. Sesaat, orang itu menunduk, mengintip ke dalam mobil. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di dalam, ia melakukan sesuatu pada pegangan pintu mobil. Dan tidak sampai lima menit kemudian, pintu itu terbuka.

Si stalker terperangah. Hampir saja kameranya terjatuh dari genggaman. Saat melihat itu semua. Ia lantas menekankan telapak tangannya ke mulut. Mencegah dirinya sendiri untuk memekik. Sementara tangannya yang lain berusaha tetap menekan tombol rekam dan menangkap gambar.

Ia tidak tahu apa tujuan orang itu membobol mobil Kalila. Tetapi entah mengapa, ia merasakan firasat buruk. Yang membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ia harus segera memperingatkan Kalila. Karena ia tidak mau gadis itu dalam bahaya!
***

Setidaknya ada tiga potong skinny jeans, tujuh potong blus, dan lima jenis blazer yang berpindah dari maneken pajangan toko ke dalam kantung kertas yang Kalila bawa pulang ke indekosnya. Bukan bermaksud boros. Tetapi tadi ia benar-benar tidak bisa memutuskan dengan benar. Semua pakaian itu tampak cantik di matanya.

Sudah lama ia tidak berbelanja sebanyak ini. Dan sekarang ia melakukan itu hanya demi penampilan terbaiknya di hadapan seorang Diego.

Sungguh. Lelaki itu memberi dampak buruk bagi dompetnya.

Baru saja dipikirkan, panggilan lelaki itu membunyikan ponsel Kalila. Tepat saat ia baru saja turun dari mobil dengan sekumpulan tali kantung belanja menggantung di kedua genggamannya.

Kalila membebankan seluruh bawaannya ke tangan kanan. Sementara tangan kirinya menyusup ke dalam tasnya. Meraih ponselnya yang masih terus membunyikan ringtone khusus yang dipilih Kalila untuk menandai panggilan dari Diego.

“Halo?” sapa Kalila begitu ponselnya menempel di telinga.

Bagaimana? Kau merindukanku sekarang?

“Tidak,” jawab Kalila. Ia terkikik mendengar keceriaan Diego yang mulai meredup.

Kalau begitu, bisa kita bertemu sekarang?” tanya Diego seolah tidak peduli dengan apa pun jawaban Kalila.

“Tidak bisa,” tolak Kalila dengan tegas.

Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu

“Sekali tidak, tetap tidak.”

Kau tidak penasaran dengan apa yang ingin kukatakan?

“Katakan saja sekarang,” ucap Kalila sambil berhenti sejenak di ujung tangga lantai dua. Ia membenahi letak kantung-kantung belanjanya yang sedikit merosot. Kemudian ia menapaki anak-anak tangga yang akan membawanya ke lantai tiga.

Tidak bisa. Aku harus mengatakannya langsung di hadapanmu.

“Kalau begitu, katakan sajaapa pun itusaat bertemu denganku besok.”

Untuk beberapa detik tidak adajawaban. Tetapi kemudian terdengar embusan napas berat tanda menyerah. “Sudah kuduga. Kau tetap tidak bisa dirayu. Dasar keras kepala.

Saat menyetujui ajakan Diego tempo hari, Kalila mengajukan syarat. Bahwa mereka tidak akan bertemu sampai hari ulang tahunnya di tempat yang disebutkan Diego. Ia juga melarang Diego menemuinya di kampus. Bahkan ia juga tidak mau lelaki itu menjemputnya. Ia akan datang dengan mengendarai mobilnya sendiri.

Bagaimanapun, ia belum memercayai Diego sepenuhnya. Ia tidak tahu bentuk perhatian lelaki itu didasari perasaan apa. Memang benar waktu-waktu yang mereka jalani bersama selalu menyenangkan. Tetapi justru Kalila merasa takut. Takut untuk berharap tetapi berujung kecewa. Jadi, ia harus menjaga jarak yang cukup untuk itu.

“Bukan keras kepala. Tetapi aku memegang teguh pendirianku,” koreksi Kalila pada kalimat Diego.

Teserah kau saja, Lil Princess,” sahut Diego pasrah. “Jadi, sekarang apa yang sedang kau lakukan?

“Tidak ada yang istimewa,” jawab Kalila sedatar mungkin. Ia mempercepat langkah agar segera tiba di kamarnya.

Diego mengembuskan napas. Terdengar kecewa. “Kukira kau sedang melakukan perawatan di salon. Atau membeli beberapa pakaian baru.

Kalila mengerjap mendengar itu. Tuduhan Diego tepat sasaran. Ia baru saja berbelanja. Dan nanti sore ia sudah mengatur jadwal untuk melakukan perawatan di salah satu salon kecantikan. Apa semudah itu pikirannya terbaca? “U-untuk apa aku melakukan itu semua?”

Karena besok kau akan menghabiskan waktu bersamaku. Di tempat yang sangat indah. Sampai-sampai kau merasa sedang berada di alam mimpi.

Kalila tertawa kecil. “Tidak mungkin ada tempat se

Pintu kamarnya sedikit terbuka. Kamar 307. Kalila terpaku.

Kalila menggelengkan kepala. Ia mencoba menekan jauh ketakutan yang dirasakannya. Ada seseorang di kamarnya. Dan bagaimana jika orang itu mencoba melakukan hal buruk padanya?

Menyadari perubahan itu, Diego mencoba menggugahnya melalui suara. “Ada apa, Lil Princess?

Kalila mundur beberapa langkah. Ia menangkupkan telapak tangan untuk menutupi bibirnya. Lalu ia berbisik pada ponselnya. “Sepertinya ada seseorang di kamarku.”

Hawa dingin menjalari tengkuk Diego. Ia hafal sifat Kalila. Gadis itu pasti tidak akan mau menunggu seseorang untuk melindunginya. Ia tahu kata-katanya tidak akan didengar. Tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba. “Tunggu! Aku akan ke sana sekarang! Jangan masuk sendirian! Setidaknya carilah bantuan! Pemilik kos atau temanmusiapa pun!” seru Diego dengan panik.

Seperti dugaan Diego, Kalila mengabaikan peringatannya. Gadis itu melangkah cepat dan membuka lebar pintu kamarnya dalam satu dorongan.
***

Awalnya, ia ingin mendatangi Kalila dengan cara yang lebih baik. Tetapi gadis itu tidak menjawab satu pun panggilannya. Maka ia memutuskan untuk langsung datang ke rumah indekos Kalila. Tetapi berapa kali pun ia mengetuk pintu, gadis itu tidak juga membuka pintunya.

Ini aneh. Karena seharusnya hari ini Kalila tidak ada kegiatan lain selain mengikuti satu mata kuliah.  Maka ia mengeluarkan duplikat kunci miliknya dan masuk ke dalam kamar yang sudah sangat dikenalnya itu.

Ia harus melakukan ini secepat mungkin. Karena ia tidak tahu kapan Kalila akan pulang. Yang perlu dilakukannya hanya menyelesaikan urusannya lalu pergi. Tadinya ia berencana akan menyimpan video yang direkamnya ke dalam flashdisk. Tetapi ia ragu Kalila akan penasaran dan membuka data dalam benda itu. Maka ia mencetak tiga lembar foto untuk diletakkan ke atas meja belajar Kalila. Foto yang menampilkan seseorang yang membobol mobil Kalila. Memang tidak terlalu jelas karena diambil dari jauh. Tetapi ia yakin Kalila pasti mengenali seseorang di foto itu.

Tetapi tiba-tiba ia tersentak saat terdengar bunyi gagang pintu yang membentur dinding dengan keras. Punggungnya menegang. Dan secara spontan ia meremas lembaran foto yang belum sempat menyentuh meja di hadapannya. Lalu menyurukkannya ke dalam saku coat panjangnya. Coat yang mirip seperti yang dimiliki Kalila.

Ia berbalik dan mendapati Kalila berdiri di ambang pintu. Menghujamnya dengan tatapan tidak percaya.

“Valeria?” Kalila menyebut namanya. Kedua mata gadis itu membelalak. Dan raut wajahnya tampak terluka seakan merasa terkhianati. Nada suaranya menajam. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”

Um, K-kal...”

Kalila tidak memberi Valeria kesempatan untuk bicara. Tatapan gadis itu memelesat pada kunci yang masih terpasang di pintu. Ia mencabut kunci itu lalu mengulurkannya kepada Valeria.

“Kunciku... dari mana kau mendapatkan kunci ini?”

Valeria tergeragap. Udara di sekelilingnya mendadak sulit dihirup. Ia meremas-remas ujung pakaiannya.

“Jawab, Val,” desak Kalila. Gadis itu masih tidak habis pikir. Untuk apa Valeria menyusup ke dalam kamarnya. Tidak ada barang berharga yang bisa dicuri. Tetapi karena perbuatannya,  Kalila sampai harus kehilangan waktu istirahatnya yang berharga karena terus merasa gelisah. Dan untuk itu, ia membutuhkan penjelasan.

“Wa-waktu itu... kau menabrak seseorang di kantin,” mulai Valeria dengan suara gemetar. Kepalanya menunduk. Matanya masih melirik takut-takut pada Kalila. “Kau menjatuhkan kuncimu. A-aku memungutnya

“Kenapa kau tidak langsung mengembalikannya padaku?” potong Kalila tidak sabar.

“Aku sudah mencoba mengikumengejarmu. Tapi kau melangkah terlalu cepat.”

Kalila menggeleng. “Itu bukan alasan yang bagus, Valeria.”

“Ja-jadi aku menduplikat kuncimu. Lalu menyuruh seseorang untuk berpura-pura menabrakmu dan menjatuhkan kunci asli milikmu. Sebelum kau menyadari kalau kuncimu hilang.”

Kalila ingat hari itu. Hari di mana ia menabrak Diego di kantin. Lalu seorang gadis memakinya habis-habisan. Dan Elliot yang terus berusaha mendekatinya. Oh, dan juga ada seseorang lain yang menabraknya. Orang itu menunduk dalam berkali-kali hingga mau tidak mau Kalila melihat ke lantai dan menemukan kunci indekosnya tergeletak di sana. Ia pikir kuncinya terjatuh saat ia bertabrakan dengan lelaki berkacamata itu. Tetapi ternyata ia salah menduga.

“Lalu apa sudah kau temukan apa yang kau cari?” tanya Kalila dengan ekspresi terluka.

Valeria menggeleng kuat menyadari tuduhan Kalila. Tetapi ia bukan pencuri. “Aku tidak mencari apa pun. A-aku hanya ingin tahu seperti apa kamarmu.”

“Sekarang kau sudah tahu seperti apa kamarku. Jadi, bisa kau pergi? Kau pasti sudah tahu di mana pintu keluarnya,” pungkas Kalila dengan dingin.

“T-tunggu, Kal,” ucap Valeria sambil mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Lalu ia bergerak seolah sedang mendorong udara di hadapannya. Dengan harapan emosi Kalila bisa mereda. “Aku ke sini untuk memberitahumu

“Lain kali saja, Val,” tolak Kalila. Kerutan dalam muncul di keningnya. “Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran dan melaporkan perbuatanmu sebagai tindakan kriminal.”

“Tapi, k-kau mungkin saja dalam bahaya

“Satu-satunya yang membahayakan bagiku saat ini adalah seseorang yang diam-diam masuk ke kamarku tanpa izin. Entah apa yang dilakukannya.”

Seketika itu juga, Valeria bungkam. Ia mengerti bahwa dirinyalah yang dimaksud Kalila. Tetapi ia bersyukur karena akhirnya ia bisa melihat sisi lain dari seorang Kalila. Ternyata gadis itu tidak sesempurna dalam bayangannya. Di saat seperti ini Kalila malah bersikap egois dan tidak mau mendengarkan orang lain.

Valeria meninggalkan kamar itu dengan langkah gontai. Tidak sepatah kata pun ia ucapkan. Tidak sedikit pun ia mengangkat wajah untuk melihat Kalilasosok yang selalu dipujanya. Setidaknya, sampai beberapa detik yang lalu.
***

Diego mendengarkan rangkaian percakapan itu dengan saksama melalui sambungan telepon yang belum terputus. Dengan geram ia mencengkeram roda kemudi mobilnya. Benaknya dipenuhi kekhawatiran. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Kalila.

Lelaki itu membelokkan setirnya memasuki jalan tempat indekos Kalila berada. Ia menghentikan mobilnya di depan rumah tiga lantai bercat krem itu. Lalu saat ia hendak meraih ponselnya dari jok di sampingnya, ia tertegun.

Seseorang keluar dari pagar rumah itu dengan wajah tertunduk muram. Untuk sedetik, Diego mengira itu adalah Kalila. Jika melihat dari gaya penampilannya. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa ia salah.

Diego mengambil ponselnya, mematikan mode loudspeaker, dan menempelkannya di telinga.

“Halo? Lil Princess?” panggilnya dengan suara sedikit lebih keras. Berharap gadis itu bisa mendengar suaranya.

Ya?” Suara gadis itu terdengar parau. “Kukira kau sudah menutup teleponnya.

“Kau mau aku menjemputmu sekarang?”

Tidak usah,” tolak Kalila. Walaupun jantungnya masih terasa melompat-lompat dalam dadanya. Seolah memompa banyak darah untuk memenuhi kepalanya. “Kita tetap bertemu besok. Sesuai rencana.

“Kau yakin?” suara Diego terdengar ragu-ragu. Ia memandang pintu rumah itu lekat-lekat.

Ya,” jawab Kalila mantap. “Kau sebutkan saja di mana lokasinya.
***

Setelah melakukan serangkaian prosesi memanjakan diri, Kalila akhirnya bisa merdeka dari otot-ototnya yang menegang. Malam itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Tentu saja setelah memastikan pintu kamarnya terkunci dengan benar. Ia berencana akan pindah ke tempat lain setelah hari ulang tahunnya besok.

Tepat saat pergantian hari, samar-samar ia mendengar ponselnya berdering. Tetapi bunyi itu hanya mampir ke dalam mimpinya sebagai lagu pengiring. Sama sekali tidak mengusik kualitas tidur terbaik yang sudah lama tidak didapatkan Kalila.

Tetapi berangsur-angsur kesadarannya berkumpul. Dan ia membuka matanya begitu menyadari ringtone itu menandakan panggilan siapa. Kalila menggapai-gapai ponselnya di atas nakas. Ia langsung menjawab panggilan begitu benda itu berada dalam genggamannya.

“Ha—lo?” gumam Kalila dengan kening berkerut dan mata tetap terpejam.

Kok gelap? Kau sedang ada di mana, Lily?

Kalila bangkit dan berjalan terseok-seok menuju saklar lampu. Dan begitu kamarnya dihujani cahaya, ia baru menyadari bahwa ponselnya sedang tersambung dengan sebuah video call. Layar ponselnya menampilkan wajah kedua orang tuanya.

“Bonjourlho? Tumben sekali kau sudah tidur? Jam berapa di sana sekarang?” tanya ibunya dengan bingung.

Kalila melirik jam dinding. “Jam dua belas malam. Lebih tiga menit,” jawabnya dengan suara parau.

Apa kau baik-baik saja, Sayang?” Kali ini, ayahnya yang bertanya.

“Ya. Tidak pernah lebih baik dari ini. Aku bisa tidur dengan nyenyak.”

Oh? Apa kami menganggu?

“Tentu saja tidak, Ma. Aku senang Mama dan Papa menelepon,” sahut Kalila lantas tersenyum untuk mendukung kata-katanya.

Bagaimana kuliahmu? Lancar?

Kalila menjawab dengan anggukan kepala.

Kedua orang tuanya tersenyum. “Bon anniversaire. Selamat ulang tahun, Lily,” ucap mereka serentak di sela embusan angin yang terdengar samar. Kemudian ibunya melanjutkan dengan nada menyesal. “Maaf, ya kami tidak bisa menemanimu di hari ulang tahunmu. Kau tahu, kan urusan bisnis di sini tidak bisa ditinggalkan.

Kalila mengangguk mengerti. “Asal memang benar untuk urusan pekerjaan, Ma. Bukannya bulan madu Mama dan Papa yang kesekian kalinya,” ucap Kalila dengan nada menyindir.

Kedua orang tuanya saling melirik malu satu sama lain. Wajah ibunya tampak merona. Di belakang mereka, menara Eiffel tampak bersinar terang berlatarkan langit malam.

Itu... Papamu yang merencanakan dinner romantis hari ini,” ucap ibunya dengan nada tersipu.

Bukan seperti itu,” sanggah ayahnya. “Mamamu yang meminta lebih dahulu. Katanya, ia jenuh dengan rapat dan

Jangan membual di depan Lily

“Ma, Pa. Kalau mau berdebat, tolong jangan libatkan aku.” Kalila menyela sambil menahan tawa. “Lanjutkan saja bulan madu kalian. Aku mau tidur.”

Baiklah, Sayang,” ujar ayahnya setuju.

“Bonne nuit, Lily,” timpal ibunya lantas mengerucutkan bibir untuk memberi ciuman virtual untuk anak perempuannya.

Dan video call itu terputus. Untuk sesaat, Kalila merasa hampa. Andai saja kedua orang tuanya bisa selalu berada di dekatnya.
***

Mereka sepakat untuk bertemu pukul tiga sore. Kalila dan Diego. Tetapi ketika jarum jam sudah melewati angka satu, Kalila masih belum selesai bersiap-siap. Ia menghabiskan banyak waktu untuk memandangi isi lemari pakaiannya dan hasil buruannya kemarin. Matanya bergerak dari satu baju ke baju yang lain.

Ia mengambil rok span hitam dari lemarinya dan mengenakannya bersama dengan blus putih dan blazer hitam yang kemarin baru dibelinya. Tetapi cermin menampilkan dirinya yang seperti tengah bersiap menjalani wawancara kerja. Kelewat formal. Maka ia melepasnya, dan menggantinya dengan sepotong mini dress hijau pupus dengan rangkaian mutiara di kerahnya.

Tetapi begitu kembali menghadap cermin, ia menggelengkan kepala. Penampilannya kali ini seperti hendak menghadiri sebuah pesta. Lagipula terakhir kali ia mengenakan rok, Diego mengolok-oloknya. Ia tidak mau itu terjadi lagi.

Kalila berpindah ke pilihan selanjutnya. Ia mengenakan skinny jeans dan blus peplum berkerah menyilang seperti kimono yang dihubungkan dengan pita di bagian pinggang kiri. Ketika bercermin, ia mengangguk puas. Perfecto. Tidak terlalu biasa saja sekaligus tidak berlebihan. Ia siap untuk acara apa pun yang disiapkan lelaki itu. Entah itu sebuah makan malam atau sekadar jalan-jalan.

Setelah ia memulas pipi dan bibir, ia melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Tergesa-gesa, ia menyambar kunci kamar dan mobil. Lalu mengenakan chukka boots kesayangannya alih-alih sepatu hak tinggi yang kemarin rencana akan dikenakannya.

“Gawat, gawat,” gerutunya sambil mengunci pintu kamar lalu bergegas meninggalkan rumah indekosnya.

Mobilnya memelesat ke arah selatan. Lalu lintas tidak telalu padat. Jalanan cukup sepi hingga membuat mobilnya melaju dengan lancar.

Kalila tidak bisa menahan senyum saat melewati salah satu bahu jalan yang tidak diaspal. Sebelum ini, ia pernah makan malam ‘romantis’ bersama Diego di sana. Dengan menu nasi goreng rendang dan nasi goreng cumi-cumi. Lengkap dengan dua gelas orange squash. Beralaskan atap mobil dan beratapkan langit penuh bintang.

Berbeda dengan langit kali ini yang tampak kelabu. Awan-awan tampak menggantung berat di atas sana. Dan detik berikutnya, butir-butir hujan sudah jatuh menyapa bumi. Membasahi jendela mobil dan membatasi jarak pandang Kalila.

“Oh, hujan sial,” gerutu Kalila sambil mengaktifkan penyeka kaca. Disusul ponselnya yang menyala dan menampilkan foto Diego dengan ekspresi menyebalkan.

Kalila memasang earphone ke telinganya, lalu menjawab panggilan itu. “Sebentar, aku masih dalam perjalanan,” ucapnya begitu mereka tersambung. Karena ia menduga lelaki itu menelepon untuk menanyakan lokasinya.


Oh, kukira kau belum berangkat,” ucap Diego sedikit kecewa. “Di sini hujan sangat deras. Tadi maksudku kau berangkat setelah hujan berhenti saja. Kau tahu, kan, jalannya agak sulit dan berkelok-kelok. Apalagi kalau hujan jalanan jadi licin.

Kalila tidak bisa tidak tertawa mendengar kekhawatiran Diego yang tergambar jelas dalam suaranya. “Tenang saja, ini bukan hari pertama aku menyetir.”

Seharusnya kau berangkat denganku saja.

Tetapi apa yang dikatakan Kalila, tidak sesuai dengan kenyataan. Saat ia berbelok ke kanan, tiba-tiba mobilnya lepas kendali. Ia menginjak-injak pedal rem tetapi mobilnya tidak juga melambat. Ia mencoba membanting setirnya ke kiri. Dan nahas, mobilnya malah menabrak pembatas jalan dan meluncur bebas ke arah lembah.

Kalila hanya bisa menjerit. Diikuti bunyi logam yang berderak, kaca yang hancur, dan ia merasakan tubuhnya berguncang. Mobilnya terus bergetar seolah hendak terkoyak. Hingga akhirnya ia merasakan mobilnya berhenti bergerak.

Kalila memejamkan matanya. Dan ia teringat pada semua orang yang sudah disakitinya. Pada Evelyn. Pada Diego. Jadi inikah balasan untuknya?

Detik berikutnya, samar-samar ia bisa mendengar suara Diego dari kejauhan. Lelaki itu memanggilnya dengan panggilan yang disukainya. Ia mencoba membalas. Walaupun mungkin itu hanya khayalannya. Tetapi tidak sedikit pun suaranya keluar.

Maka, ia memasrahkan dirinya pada kegelapan. Hingga yang tersisa hanya rasa sakit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D